Opini
APA KATA MASTER NASAB KELAS DUNIA TENTANG NASAB BANI ALAWI? Bagian II
APA KATA MASTER NASAB KELAS DUNIA TENTANG NASAB BANI ALAWI? Bagian II
Oleh: Habib Zahir Yahya, Ketua Umum Ahlulbait Indonesia
Kemudian saya beserta dua kandidat doktor yang menemani saya, yaitu Idrus al-Hamid dan Ali Syihab, menceritakan seputar isu viral akhir-akhir ini di Tanah Air. Setelah mendengar cerita kami, Ayatullah Sayyid Mahdi Raja’iy sebagai pakar nasab lalu menyampaikan klarifikasinya. Dalam ruangan dengan ribuan kitab yang berjejer apik di tempatnya, kami pun menyimak klarifikasi beliau dengan penuh antusias.
Di antara penjelasannya, beliau mengatakan
“Bani Alawi sebagai zuriyah Rasulullah adalah satu hal. Bani Alawi sebagai rumpun yang berasal dari Alawi putra Ubaidilah putra Ahmad putra Isa al-Muhajir adalah hal lain. Itu adalah dua proposisi berbeda dan tidak boleh dicampur-adukkan,” tegas sang nassabah (pakar nasab) itu.
Terus terang, bagi kami klarifikasi beliau terbilang amat mencerahkan. Seolah-olah benang kusut dan semua keruwetan seputar isu yang membuat gaduh seisi ruang publik itu mulai terurai satu demi satu. Duduk perkaranya juga makin terlihat di hadapan kesadaran kami.
Menurut Ayatullah Sayyid Mahdi Raja’iy, menetapkan ke-sayyid-an seseorang tidak identik dengan mengafirmasi seluruh detail nama yang terdapat dalam pohon (syajarah) nasabnya. Lebih jauh lagi, beliau menceritakan bahwa nassabah agung yang juga guru besar beliau, Alm. Ayatullah Syihabuddin al-Mar’asyi an-Najafi mengonfirmasi sejumlah keluarga sadah di berbagai daerah, kendati nama-nama dalam silsilah nasab mereka tidak disebutkan dalam berbagai buku nasab yang ada. Hal itu dikarenakan keberadaan syajarah nasab bukanlah satu-satunya bukti penetapan ke-sayyid-an.
Ketenaran (syuhrah) nasab seseorang di suatu negeri merupakan parameter penetapan nasab sesuai dengan dasar-dasar ilmu syariat dan ilmu nasab, serta disepakati oleh seluruh imam mazhab, baik Sunnah maupun Syiah, tanpa terkecuali. Artinya, boleh jadi tidak ada dua sosok adil atau ahli nasab yang secara khusus mengonfirmasi ke-sayyid-an seseorang. Kendati demikian, ke-sayyid-annya masih dapat ditetapkan melalui syuhrah yang menyebar di suatu negeri yang para penghuninya mengenali dia sebagai sayyid. Namun sekali lagi, hal ini terlepas dari apakah khalayak mengetahui/menyepakati detail nama dalam silsilah nasabnya atau tidak.
Luar biasa! Betapa legawa, rendah hati, dan akomodatif sekali pandangan seorang master nasab yang karya tulis dan penelitian ilmiahnya dalam bidang nasab memenuhi rak buku berbagai perpustakaan! Sebagai spesialis yang memahami betul seluk beluk ilmu nasab, beliau benar-benar mampu mengakomodasi, sekaligus mengapresiasi apa yang menjadi semacam konsensus informal di tengah masyarakat dalam mengidentifikasi ke-sayyid-an seseorang!
Sementara itu, nun jauh di negeriku, di daratan Jawa tercinta, entah bagaimana, tiba-tiba muncul seseorang ‘peneliti’ nasab. Padahal, namanya saja tidak dikenali oleh para pakar nasab dunia. Tapi dengan nada angkuh dan meledak-ledak, ia merobek-robek atmosfer keintiman hubungan antara kalangan yang selama ini dikenal sebagai ‘zuriyah’ dengan komunitas yang selama ini, dikenal sebagai ‘muhibbin para zuriyah’.
Gara-garanya hanya sepele. ‘Peneliti’ yang tidak punya “nasab keilmuan” tentang nasab Itu tak menemukan nama seseorang dalam beberapa literatur abad-abad terdahulu. Lalu, ia pun buru-buru menyimpulkan secara naif, karena nama yang dimaksud tidak ditemukan, maka ia tidak ada. Gubrak!
Berkenaan dengan keluarga Bani Alawi/Ba’Alawi yang tersebar di Nusantara dan juga di Hadramaut, Ayatullah Sayyid Mahdi Raja’iy meyakinkan kami bahwa, “Ada syuhrah ratusan tahun hingga saat ini, ditambah dengan keberadaan Dar an-Naqabah di beberapa negara yang mencatat nasab mereka.”
“Adapun kenapa silsilah mereka tidak tercantum dalam kitab-kitab referensi terdahulu, seperti kitab Tahdzib al-Ansab dan Umdah ath-Thalib, hal itu disebabkan para penulis kitab nasab di era itu rata-rata tinggal di negeri Irak dan Iran, sementara Sayyid Abdullah/Ubaidillah bermigrasi dari negeri asalnya dan putra-putra beliau berada di Yaman sehingga para nassabah di zaman itu tidak mendapatkan akses informasi seputar keberadaan mereka di tempat hijrah.”
Baca juga : Anak Cucu Keturunan Nabi Muhammad Saw di Indonesia
Sama seperti klarifikasi pertama, penjelasan Ayatullah Sayyid Mahdi Raja’iy ini juga menjadi kunci yang seyogianya membuka mata kita lebar-lebar tentang fakta ‘keterbatasan’ para ulama nasab dalam menghimpun informasi dan data. Sebab, mereka juga tunduk pada unsur ruang dan waktu yang belum mengalami kemajuan teknologi informasi dan fasilitas transportasi yang memudahkan mobilitas mereka dari satu tempat ke tempat lain.
Seorang pakar nasab seperti Sayyid Mahdi Raja’iy yang telah men-tahqiq puluhan kitab nasab tentu tidak berandai-andai tentang fakta di atas. Itu artinya, jika para pakar nasab mutakhir berhasil menghimpun nama-nama yang tidak tercatat dalam referensi lama, maka itulah situasi logis dan natural yang semestinya terjadi, tentu dikarenakan dukungan teknologi dan berbagai kemudahan lainnya. Belum lagi jika kita tambahkan faktor situasi sosial-politik yang melatar belakangi diaspora keluarga Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir atau bahkan keluarga Ahlulbait Nabi secara umum.
Berbicara tentang Ahlulbait dan zuriyah Nabi adalah berbicara tentang komunitas yang secara turun temurun menjadi sasaran kebencian dan permusuhan para penguasa di masanya. Dalam situasi normal, mereka tentu enggan berhijrah jauh dari negeri para leluhur, khususnya tempat tinggal kakek mereka, Rasulullah saw. Jika faktanya mereka menjalani diaspora dan bermigrasi ke berbagai kota dan negeri, maka hal itu biasanya karena tidak adanya faktor keamanan di lingkungan mereka berada sehingga memaksa mereka hijrah ke tempat yang jauh. Tak ayal, hijrah akibat masalah keamanan biasanya disertai dengan strategi ‘under cover’ agar tidak mudah diendus dan disasar oleh musuh.
Setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar dari Ayatullah ‘master nasab’ (yang sebagiannya, jika diperlukan, akan kami sampaikan pada tulisan-tulisan berikutnya), kami meminta kesediaan beliau untuk memberikan statemen tertulis terkait keabsahan Bani Alawi/Ba’alawi sebagai sadah dan zuriyah Rasulullah. Sisi mengejutkan dari respon beliau adalah ketika beliau mengatakan: “Perkara ini tidak ada hubungannya dengan Sunnah dan Syiah. Saya siap memberikan statemen tertulis yang anda minta.”
Baca juga : Mengapa Harus Mencintai Keturunan Nabi?
Berikut adalah statemen dari Pusat Studi Nasab Sadah/Asyraf dengan dibubuhi stempel Sayyid Mahdi Raja’iy, nassabah ternama di zaman ini.
Adapun terjemahan dari pernyataan tertulis Ayatullah Sayyid Mahdi Raja’iy adalah sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيدنا وحبيبنا ابي القاسم المصطفى محمد و على آله الطيبين الطاهرين وأصحابه الميامين المنتجين
Akhir-akhir ini telah sampai kepada kami informasi mengenai adanya keraguan atau pengingkaran terhadap nasab sadah Bani Alawi. Keraguan dan pengingkaran ini disampaikan oleh kalangan yang berminat dengan ilmu nasab maupun kalangan pelajar agama yang memiliki pengaruh di media sosial. Alasan keraguan dan pengingkaran tersebut karena tidak tertulisnya nama anak Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah atau Ubaidillah dalam beberapa kitab nasab sezamannya dan beberapa abad setelahnya hingga abad 8 Hijriah.
Sebagai peneliti dan pen-tahqiq turats ilmu nasab Islam yang telah meneliti dan menulis di bidang ini selama puluhan tahun, saya ingin menegaskan bahwa Bani Alawi adalah sadah keturunan Ahmad bin Isa al-Muhajir melalui anaknya yang bernama Abdullah yang dikenal juga dengan Ubaidillah. Keabsahan nasab sadah Bani Alawi secara fiqih, ilmu, berbagai fakta sejarah, serta taqrir para ulama nasab telah menjadi kemasyhuran (syuhran) selama berabad-abad.
Masalah tidak tertulisnya salah satu anak Ahmad bin Isa yg bernama Abdullah (Ubaidillah) tidak menafikan keberadaannya dan hal seperti ini adalah suatu hal yg lazim ditemui di beberapa kitab nasab yang ditulis di masa-masa awal penyusunan kitab-kitab nasab. Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan tidak tertulisnya nama seseorang dalam kitab nasab, di antaranya adalah situasi sosial politik saat itu atau tidak sampainya informasi nama itu kepada para penulis nasab di zaman tersebut karena jarak yang jauh atau daerah mereka berhijrah. Dalam kasus Abdullah (Ubaidillah), jelas terlihat bahwa hijrahnya ke wilayah yang berbeda dengan wilayah para penulis nasab awal yang umumnya berada di Irak maupun Iran menyebabkan nama beliau tidak sampai ke para penulis nasab tersebut.
Demikian taqrir ini dibuat utk memberikan kejelasan bagi yang ingin mengetahuinya dan agar menghilangkan keraguan terhadap absahnya nasab Bani Alawi yg bersambung kepada Imam Husain as.
Akhir kata, saya memohon kepada Allah Swt agar kita semua semakin sukses dalam menjaga kesucian dan kecintaan kepada Ahlulbait Rasulillah saw dan zuriyah mereka yang mulia.
16 Ardibehesht 1402 HS
15 Syawal 1444 HQ
(Sayyid Mahdi Raja’iy)
TOK! Bani Alawi/Ba’alawi sah sebagai sadah keturunan Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir melalui putra beliau bernama Abdullah/Ubaidillah.
Akhir cerita, izinkan saya berbagi visi kepada khalayak pembaca. Orang cerdas lebih berminat menyimak dan mencerap pencerahan ahli/master di bidangnya. Hanya orang yang haus provokasi dan gemar kegaduhan saja yang meminati ‘perdebatan seolah ilmiah’ dalam ‘forum keilmuan bergengsi’ bernama YouTube.