Opini
Ada Apa di Balik Peresmian Museum Holocaust di Indonesia?
Ada Apa di Balik Peresmian Museum Holocaust di Indonesia?
Oleh: Habib Zahir Bin Yahya (Ketua Umum Ahlulbait Indonesia)
Bulan Agustus 2020 silam, Presiden AS Donald Trump memuji kesepakatan dengan UEA sebagai terobosan diplomatik besar, dan penasihat keamanan nasionalnya, Robert O’Brien, menyebut Trump layak menerima Hadiah Nobel Perdamaian dikarenakan prestasinya tersebut. Meski sanjungan itu terdengar sangat berlebihan, tetapi setidaknya Trump benar ketika mengatakan bahwa setelah kebekuan hubungan telah terpecahkan, negara-negara Arab dan Muslim lainnya diharapkan bergabung dengan UEA dan memulai hubungan dengan rezim “Israel”.
Pertanyaan yang muncul adalah apa negara selanjutnya? Para diplomat dan analis menyebutkan beberapa alternatif: Bahrain, Maroko, Arab Saudi, Oman dan Sudan adalah alternatif yang paling mungkin. Di luar dunia Arab, Indonesia adalah salah satu kandidat terkuat.
Tak lama berselang, Bahrain dan Maroko mengumumkan bahwa keduanya bergabung bersama UEA dalam gerbong ‘normalisasi’ hubungan dengan rezim zionis, sementara tiga negara Arab lainnya slowly but surely terus merapat ke posisi yang sama dengan UEA.
Bagaimana dengan Indonesia yang memiliki populasi 27 kali lipat dari penduduk UEA? Adakah Indonesia juga menuju kepada proses ‘normalisasi’ hubungan dengan kolonial “Israel”?
Jika rezim “Israel” menitik beratkan pada negara-negara yang lebih besar, maka tidak ada pilihan yang lebih baik dari Indonesia; Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Netanyahu telah berusaha menjalin hubungan dengan Jakarta sejak lama. Pada tahun 2018, ia bertemu dengan Wakil Presiden Indonesia di New York dan dalam sebuah pernyataan resmi mengumumkan bahwa tujuan Tel Aviv adalah untuk menjalin hubungan dengan Jakarta. Namun setakat ini opini publik Indonesia merupakan hambatan utama bagi hubungan ini. Indonesia dan rezim “Israel” telah mencoba untuk mendobrak penghalang populer ini dengan bertukar wartawan melalui program American Jewish Committee (AJC) Project Interchange, karena mereka pikir bahwa mereka dapat berbicara langsung dengan politisi dan masyarakat sipil dengan mengirim wartawan. Kontak dengan pihak Zionis dilanjutkan dengan serial pertemuan oleh beberapa oknum pejabat Indonesia yang lain, bahkan oleh sebagian tokoh ormas terkemuka seperti mendiang Abdurahman Wahid (Gusdur) dan Yahya Staquf.
Akhir-akhir ini, kelompok pro-zionis makin cerdik dalam memanfaatkan isu toleransi beragama sebagai batu loncatan menuju ‘normalisasi’ hubungan dengan rezim “Israel”, termasuk ketika mereka mendirikan dan menyelenggarakan museum dan pameran Holocaust di Minahasa, Sulawesi Utara.
Dengan mendirikan museum Holocaust maka setiap politisi, jurnalis, intelektual dan para elit masyarakat yang berkunjung harus tunduk di depan monumen insinerator imajiner; Artinya, setiap orang harus membenarkan sebuah cerita yang asal-usulnya tidak sepenuhnya diketahui dan menganggap diri mereka berhutang budi pada cerita itu.
Selain kontroversi seputar kebenaran dan berbagai detail peristiwanya, sekarang ini Holocaust tidak lebih dari sebuah medium di tangan rezim kolonial zionis untuk tujuan propaganda dengan fokus ‘playing victim’, dan menutupi berbagai kejahatan yang mereka lakukan terhadap rakyat Palestina.
Faktanya adalah bahwa Holocaust terkait erat dengan filosofi eksistensi “negara Israel” dan kepentingan vital Zionisme internasional dan pemerintah negara-barat Barat. Menonjolkan dan menyoroti masalah Holocaust hanyalah upaya menutupi tindakan ekspansionis dan kejahatan rezim kolonial “Israel” di Palestina dan di seluruh dunia.
Menurut perspektif para peniliti seputar motif dibalik cerita Holocaust, terdapat beberapa motif utama untuk hal ini:
Motif politik: dari sudut pandang Zionis, berdirinya “negara Israel” merupakan konsekuensi logis dari penindasan kaum Yahudi dalam cerita Holocaust; Seperti yang dikatakan Abraham Haschel: “Negara ‘Israel’ adalah balasan Tuhan untuk Auschwitz” (nama salah satu insinerator imajiner dalam cerita Holocaust).
Motif ekonomi: Zionis sejauh ini telah mengantongi miliaran Dolar melalui cerita Holocaust dan tuntutan hukum terhadap negara Jerman, Austria, Polandia, Swiss, dll.
Jerman, misalnya, dari tahun 1952 hingga 2002 dipaksa dengan berbagai cara untuk memberikan kompensasi kepada para penyintas ‘pembantaian Yahudi’ dan, di bawah tekanan rezim zionis, terpaksa setuju untuk memberikan 50 juta Mark setiap tahun hingga tahun 2002.
Motif psikologis: penyalahgunaan atas naluri manusia yang centerung mendukung kaum tertindas adalah interpretasi yang paling lugas yang dapat dianggap sebagai poros dari semua kegiatan gerakan Zionis sejak pertengahan abad kedua puluh; sebuah konsep yang sangat efektif dalam menciptakan negara zionis di tanah Palestina dan mengkonsolidasikan fondasi-fondasinya. Dengan mengandalkan metode ini, gerakan Zionis mampu menutupi semua kejahatan dan pelanggaran hukum mereka di seluruh dunia.
Dengan asumsi Holocaust benar-benar terjadi, sebenarnya kita tidak menghadapi sesuatu selain “klaim penindasan sebagian dari bangsa Eropa terhadap orang Yahudi”. Maka jika benar Barat membela Holocaust, mengakui telah membantai mereka, dan bersedia membayar kompensasi bagi orang-orang Yahudi, maka cukup mereka membayarnya dari kantong sendiri, mungkin dengan menyerahkan sebagian tanahnya kepada Zionis dan bukan tanah milik bangsa Palestina. Tentu bangsa dan Negara Indonesia akan sangat mengapresiasi langkah tersebut, meski juga akan terus mempertanyakan sikap inkonsisten dan diskriminatif Barat yang tidak bersedia memberikan kompensasi kepada bangsa-bangsa yang pernah mereka jajah selama berabad-abad, termasuk bangsa Indonesia, yang hingga saat sekarang masih menyisakan kerugian multi-dimensial yang harus ditanggung oleh putra-putri bangsa Indonesia.
Daripada meresmikan berdirinya museum Holocaust di atas tanah suci Indonesia, kami sarankan kepada Yang Mulia, Duta Besar Jerman untuk Jakarta, Ina Lapel untuk mengusulkan kepada negaranya pendirian museum penjajahan dan penindasan bangsa Dutch ke atas bangsa Indonesia di ibukota Berlin dan kota-kota lainnya di Jerman sebagai bukti toleransi dan empati mereka kepada bangsa Indonesia, syukur-syukur ikut mendorong pemerintah Belanda memberikan kompensasi kepada Indonesia.