Berita
Bumikan Filsafat, Cetak Intelektual Organik
Di tengah hiruk-pikuk politik, ekonomi, dan benturan budaya di era global ini, sekat-sekat identitas dan sosial semakin menguat. Masyarakat makin gandrung pada pengerasan identitas yang egois dan hanya berfokus pada diri dan kelompoknya sendiri. Bagaimana menjawab tantangan ini? Adakah solusi yang bisa diterima semua pihak?
Muhammad Dudi Hari Saputra, Dosen Universitas Mulawarman dan Kutai Kartanegara yang mengampu mata kuliah Anti Korupsi, Pengantar Hubungan Internasional, dan Filsafat ini memiliki jawabannya; filsafat.
Berikut adalah wawancara ABI Press dengan filosof muda yang masih menyelesaikan studi S2-nya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
Bagaimana pandangan Anda mengenai filsafat?
“Filsafat membuka wawasan saya secara paradigma bahwa Islam tidak hanya aspek ritual atau spiritual, tapi juga intelektual. Bukan dengan pendekatan-pendekatan yang normatif atau tendensi keagamaan, tapi karena epistemologinya dibangun dengan landasan ilmiah.”
“Dari intelektualisme inilah kita temukan landasan spiritual yang objektif. Kita tak memulai dari wacana yang sempit tapi dari wacana yang inklusif. Dimana semua orang bisa mengaksesnya dan dia bisa diterima oleh semua kalangan karena ia bersifat objektif.”
Memang apa manfaat filsafat di masa sekarang ini?
“Sangat penting substansinya. Karena saya melihat ada tendensi pemisahan antara yang profan dan yang sakral. Di satu sisi kita menghadapi liberalisme dimana mereka berprinsip bahwa terpisah antara ranah dan ranah sosial dan segala macamnya. Namun di sisi lain kita juga menghadapi ekstremisme yang menganggap bahwa agama adalah segala-galanya sehingga anti dengan ilmu pengetahuan, kebebasan, dan progresifitas. Dengan gerakan-gerakan yang mereka anggap di luar agama.”
“Nah ini, menurut saya filsafat mampu menjembatani ini. Terutama dalam buku Falsafatuna itu di sisi lain ia memiliki prinsip yang dipegang teguh nilai-nilai tetapnya seperti tauhid dan kenabian. Tapi di sisi lain juga membuka ruang dan pembaharuan dalam perspektif kita memandang agama. Yaitu agama berbicara tentang pengetahuan, teknologi, bicara aspek sosial, amal, pembangunan bangsa dan negara.”
Tapi ada banyak anggapan bahwa filsafat itu eksklusif dan tak berhubungan dengan ranah praktis. Menurut Anda?
“Menurut saya pertama harus saya jelaskan, luruskan dulu bahwa ada pandangan yang apriori bahwa filsafat itu dianggap eksklusif, dianggap tak berkaitan dengan ranah praktis dan segala macamnya. Mungkin orang tak belajar sejarah bahwa seluruh teori-teori sosial sekarang berangkat dari filsafat. Itu fakta sejarah. Siapa yang bisa menyangkal Aristoteles, Plato itu mampu mengeluarkan teori-teori sosial yang sampai sekarang masih dipakai karena mereka melalui dasar filsafat.”
“Kalau saya bicara tentang hubungan nasional dengan berbagai paradigma pendekatannya, pendekatannya filsafat. Saya berbicara materialisme, liberalisme, sosialisme, marxisme, itu semua kan pendekatannya filsafat. Jadi kalau ada yang menganggap filsafat itu tidak penting menurutnya, mereka belum belajar filsafat. Sehingga mereka anti.”
Bisa Anda beri contoh kegunaan praktis filsafat dalam bidang Anda?
“Oh, sangat bermanfaat. Di ranah kami di hubungan internasional itu sekarang ada problem misalnya, apakah western perspektif itu atau western paradigm mampu menjawab problem-problem secara universal? Ternyata merekapun mengalami kesulitan dalam menjawab masalah-masalah di negara post kolonial, di negara Islam, di negara Timur, dimana negara-negara ini memiliki perspektifnya sendiri dalam memandang dunianya.”
“Sehingga memang ada kebutuhan-kebutuhan yang mendesak bahwa ada pendekatan-pendekatan alternatif selain pendekatan Barat yang menghegemoni ini. Dan pendekatan itu, Islam harus bisa mengeluarkan itu saat ini. Kebutuhan orang saat ini, ada kebutuhan mendesak, yaitu kebutuhan pengetahuan. Dan Islam (lebih tepatnya orang Islam) menurut saya harus masuk ke ranah itu karena di situlah Islam mampu menjawab persoalan-persoalan dunia.”
“Marxisme kenapa diterima di dunia? Meskipun dari latar belakang agama, suku, dan sebagainya? Karena marxisme bicara hal yang sangat objektif. Tentang hal-hal melawan penindasan, keadilan, struktur yg tidak adil, dan lain-lain.”
“Bayangkan saja, jika humanisme yang muncul dari manusia mampu bicara universal kenapa Islam yang dianggap berasal dari tuhan yang universal tak mampu bicara tentang itu? Itu kan jadi pertanyaan besar. Kok yang dianggap rahmatan lil ‘alamin pada faktanya sekarang malah tersekat. Bayangin kata Kuntowijoyo, Islam tanpa masjid. Dalam artian kita melihat Islam tak hanya di masjid, tapi juga di pengetahuan. Islam sebagai fenomena peradaban, kemajuan, progresifitas, dan segala macamnya.”
Dengan visi yang besar seperti itu, apa yang mesti kita lakukan untuk mencapainya?
“Ya, memang harus kita sadari bahwa pergerakan berdasarkan intelektualisme, kesadaran dan pengetahuan itu membutuhkan proses yang panjang, tak singkat. Karena ini berangkat dari kita ingin membangun manusia itu dari kesadaran mereka sendiri bukan karena struktur paksaan saja. Bukan karena institusionalisme dimana kita memaksa orang untuk tunduk dan taat. Tapi ini orang tunduk dan taat karena kesadarannya.”
“Dan alternatifnya kita memang harus hilangkan sekat-sekat, bahwa kerja intelektual itu hanya di ruang-ruang kuliah. Itu jadi elitis. Maka harus ada gerakan-gerakan intelektual yang turun di masyarakat yang formal dan non formal dimana para intelektual di kampus-kampus harus membuka ruang untuk masyarakat. Jika yang tercerahkan hanya di kampus sedangkan masyarakat tidak menerima, belum siap dengan konsep mereka, maka akan terjadi pertentangan baru.”
“Maka harus juga para cendekia ini bersentuhan dengan masyarakat secara langsung. Dengan cara apa? Banyak pola yang bisa kita lakukan. Pertama misalnya pendidikan-pendidikan gratis, penyuluhan-pendidikan, dan aktivitas-aktivitas sosial pada masyarakat yang berlandaskan pengetahuan dan epistemologi.”
“Karena bagaimana mungkin kita bisa melakukan gerakan perubahan pada masyarakat sedangkan kita sendiri berada di ruang kelas yang tidak bersentuhaan dengan masyarakat langsung, yang kita tak tahu problem masyarakat apa? Kita membutuhkan kalau kata Antonio Gramsci itu intelektual organik, atau dalam istilah Ali Syariati, rausyan fikr, yaitu insan-insan tercerahkan yang memiliki visi-visi sosial, intelektual, spiritual, yang langsung terjun ke masyarakat.”
Sebagai seorang dosen yang tentu berhadapan dengan mahasiswa, menurut Anda dimana posisi dan peran mahasiswa dan pemuda dalam mewujudkan hal ini?
“Untuk menyentuh mahasiswa memang ini pekerjaan yang berat. Karena kita menghadapi hedonisme, ekstremisme dan pragmatisme mahasiswa. Makanya peranan guru dan cendekiawan itu sangat penting. Misalnya, kenapa mahasiswa cenderung ke ekstremisme, ke pemikiran-pemikiran sempit dalam beragama? Karena dosen-dosennya tak mampu memberikan pencerahan-pencerahan secara spiritual dan intelektual. Dan ketika mereka masuk ke dalam kampus mereka mengalami spiritualitas yang sangat kering. Sehingga ketika mereka keluar mereka mudah disusupi oleh paham-paham radikal ekstremis dan segala macamnya.”
“Dan di sisi lain dosen juga kualitasnya tidak merata. Kenapa misalnya dosen-dosen cerdas terkonsentrasi di pulau Jawa, di universtias-universitas besar. Tak ada penyebaran dosen-dosen ke daerah-daerah sehingga ketimpangan pengetahuan terjadi. Salah satu hal mendasar menurut saya, harus ada dosen cerdas. Jangan cuma berkumpul di Jakarta, kembali ke daerahnya. Orang Jakarta tak butuh itu lagi, mereka sudah memiliki bekal pengetahuan yang cukup. Karena itu saya protes apabila kuliah-kuliah filsafat menumpuk di Jakarta. Kenapa itu tidak dibawa ke daerah? Padahal itu hal yang sangat urgen.”
Baik. Sebagai penutup, apa pesan Anda kepada para generasi muda yang merupakan wajah masa depan kita ini?
“Menurut saya generasi mdua sekarang itu, mereka harus mengenal diri mereka. Mereka harus selesai dengan diri mereka sendiri dulu. Bekali diri dengan pendidikan yang jelas, epistemologi yang kuat, sehingga tak asal serap ilmu pengetahuan. Juga bekali dengan landasan logika sehingga mereka bisa berpikir dengan benar.”
“Dan juga penting kuatkan landasan spiritual yang lembut, tasawufisme. Jadi melihat agama bukan cuma aspek ritual dan politik, tapi juga aspek cinta. Jadi anasir-anasir kekerasan tidak masuk ke mahasiswa.”(Muhammad/Yudhi)