Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Bom Waktu Bernama Masyarakat Tanpa Trust

Bangsa Indonesia sejatinya adalah bangsa yang cinta damai. Namun bukan berarti aman dari bahaya radikalisme dan konflik. Apalagi di tengah derasnya serangan paham-paham radikal yang menggerogoti ruang-ruang sosial masyarakat sampai lapisan terbawah sekali pun. Ia bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Bom waktu itu adalah: hilangnya ‘trust’ (kepercayaan) dalam masyarakat.

Menurut Dr. Haidar Bagir, deklarator Gerakan Islam Cinta (GIC) dalam Diskusi dan Konferensi Pers Deklarasi GIC, bangsa Indonesia harus selalu waspada.

“Hati-hati dengan situasi yang kita hadapi sekarang ini. Orang sering bilang orang Indonesia itu cinta damai, rukun, gak mungkin terjadi konflik sampai yang besar. Tapi itu salah,” ingat Haidar.

“Lihatlah, perang saudara di berbagai negara itu seringkali terjadi karena konflik-konflik kecil. Contoh di Lebanon, itu karena tabrakan dua bis, satunya kelompok Muslim satunya kelompok Kristen, bisa membuat perang saudara yang membunuh jutaan orang. Begitu juga di Suriah.”

Haidar menjelaskan bahwa titik ledaknya adalah hilangnya ‘trust’ di masyarakat.

“Itu terjadi karena, di daerah tersebut ‘trust’ itu sudah hilang di tengah masyarakat. ‘Trust’ kalau sudah hilang di masyarakat kita, maka akan membuat kekuatan-kekuatan jahat yang merusak itu bisa membajak,” ujar Haidar.

Disinformasi, Labeling, Hingga Meledaknya Kekerasan 

Irfan Amalee menjelaskan bahwa ’trust’ itu sifatnya seperti lem yang merekatkan ikatan sosial kebangsaan.

“Trust itu seperti lem. Kalau dalam bangunan itu semennya. Kalau sudah tak ada semen bagaimana bisa bersatu, kan?” ujar Irfan.

“Kalau dalam keluarga saja suami-istri kalau tidak ada percaya kira-kira saling cinta gak?” tambahnya.

Lebih jauh, Irfan menjelaskan bahwa penyebab hilangnya kepercayaan ini adalah informasi-informasi yang penuh fitnah.

“Sekarang kan ‘trust’ itu di masyarakat kayak hilang. Apa yang menghilangkan ‘trust’? Itu informasi. Atau tepatnya, disinformasi. Informasi-informasi fitnah dan hoax yang penuh kebohongan,” ujar Irfan.

“Ketika orang tersegregasi, saling terpisah, tak ada komunikasi. Karena tak ada komunikasi, mulailah orang berasumsi. Karena berasumsi, muncullah steorotyping. Dari steorotyping inilah muncul labelling, dilabeli PKI lah, Syiah lah, Liberal lah. Seolah yang sudah dilabeli ini ‘halal’ ditindas, dirampas hak-haknya.”

Labelling inilah yang menurut Irfan merupakan trigger kekerasan. Tak perlu api yang besar, cukup percikan api kecil saja sudah bisa menciptakan konflik-konflik besar dan berdarah karena menipisnya, dan bahkan hilanngya ‘trust’ di masyarakat kita.

Inilah bom waktu yang terus berdetak, dan kapan pun bisa meledak. Jika kita tak segera mengantisipasinya. (Muhammad/Yudhi)

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *