Berita
Biografi Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Penggagas Persatuan Islam
Sayyid Muhammad bin Safdar al-Husayn atau lebih dikenal sebagai Sayyid Jamaluddin al-Afghani, atau Al-Jamal Asadābādī-Din lahir di desa Asadābād dekat Hamadān, Iran. Terdapat pula sumber lain yang mengatakan bahwa Asadabadi sebenarnya lahir di Asadabad, daerah provinsi Kunar, Afganistan.
Sayyid Jamaluddin merupakan seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afghani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidato maupun tulisan-tulisannya. Di tengah kemunduran kaum Muslimin kala itu dan efek gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, beliau tampil menjadi tokoh yang amat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20.
Menurut Majid Fakhry, Sayyid Jamaluddin dilahirkan di Asadabad, Iran, kemudian hijrah dengan keluargannya ke Qazwin, lalu ke Teheran. Di situ, ia belajar di bawah asuhan Aqashid Shadiq, seorang ulama mazhab Ahlulbait yang sangat terkemuka saat itu. Beliau dikenal sebagai sosok yang banyak melakukan pengembaraan. Dari Teheran, ia pindah ke al-Najd, Irak. Di situlah ia menghabiskan waktunya selama 40 tahun sebagai murid Murtadha al- Anshari, seorang ulama yang sangat terkenal di zamannya.
Pada 1853, Sayyid Jamaluddin melawat ke India. Selanjutnya, ia melakukan lawatan ke berbagai negara di dunia, seperti Hijaz, Mesir, Yaman, Turki, Rusia, Inggris, dan Perancis. Salah satu yang paling berkesan dari perjalanannya ini adalah kunjungannya ke Mesir pada 1869. Di negeri ini, ia mulai memunculkan gagasan pembaruan. [Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, Terj. Mulyadi Kartanegara, Sejarah dan Pemikiran, Filsafat Islam]
Saat berada di Mesir, ia secara terbuka menentang pemerintah Mesir dan pengaruh serta campur tangan Inggris di negeri itu. Pandangannya ini menjadi preseden bagi aktivitas politik Islam di masa mendatang, meskipun semua itu menyebabkan ia terusir dari Mesir pada 1879.
Sayyid al-Afghani adalah ulama, tokoh reformis nan modernis, yang juga sangat aktif dalam dunia politik. Ini dibuktikan pada 1876. Ia bergabung dengan para politikus di Mesir pada 1879 dengan membentuk partai politik dinamai Hizb al-Wathani (Partai Kebangsaan). Dengan partai ini, ia berusaha menanamkan kesadaran nasionalisme dalam diri orang-orang Mesir.
Sayyid Jamaluddin banyak menulis buku. Salah satunya bertajuk Hakikati Madhhabi Naychari wa Bayani Hali Naychariyan. Pertama kali diterbitkan di Haydarabad-Deccan, India, pada 1298 H/1881 M, buku ini memuat kritik pedas dan penolakan total terhadap pandangan materialisme. Buku ini diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Muhammad Abduh dengan judul al-Radd ‘ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap Materialisme).
Ketika berada di India, Sayyid Jamaluddin juga menulis buku berjudul Refutation of the Materialists yang memaparkan pembelaan terhadap agama karena agama mampu meningkatkan stabilitas sosial, kejujuran dalam hubungan internasional, dan perdamaian antar kelas-kelas sosial. Selanjutnya, karya-karya Jamaluddin al-Afghani secara lengkap, diterbitkan oleh al-Mu’assasah al-Arabiyyah li ad-Dirasah wa an-Nasyr.
Adapun karya tulis dan bukunya yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia antara lain; Pembahasan tentang Sesuatu yang Melemahkan Orang-Orang Islam, Tipu Muslihat Orientalis: Risalah Menjawab Golongan Kristen, Hilangnya Timur dan Barat, Hakikat Manusia, dan Hakikat Tanah Air.
Sayyid Jamaluddin mengampanyekan gagasannya tentang nasionalisme di Mesir dan India untuk menentang kolonialisme. Nasionalisme adalah semangat atau perasaan kebangsaan (cinta bangsa dan tanah air). Beliau juga pencetus gagasan pan-Islamisme. Bekat perannya dalam kehidupan politik dan keagamaan di banyak wilayah Islam (Turki, Mesir, India, Iran, dan Asia Tengah), Pan-Islamisme benar-benar menemukan personifikasi dan juru bicara yang kuat dan tepat. Ia menyadari bahwa umat muslim secara keseluruhan sedang terancam oleh kolonialisme, dan karena itu, persatuan yang kuat di kalangan umat muslim harus digalakkan.
Ide Pan-Islamisme erat kaitannya dengan kondisi abad ke-19 yang merupakan abad kemunduran dunia Islam dan dunia Barat sedang dalam tahap kemajuan serta menguasai atau menjajah negeri-negeri Islam. Ia menyadarkan umat Islam untuk bangkit dan bersatu, menciptakan satu kesatuan di bawah panji Pan-Islamisme.
Sayyid Jamaluddin berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan, antara lain, umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Sebab-sebab lain adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antar umat Islam, dan lain-lain. Untuk mengatasi semua itu, menurutnya, umat Islam antara lain harus kembali pada ajaran Islam yang benar, menyucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, dan persatuan umat Islam harus diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai tuntutan zaman.
Sayyid Jamaluddin memiliki banyak murid yang kemudian mengikuti jejaknya dalam pembaruan pemikiran Islam. Di antara muridnya adalah, Alammah Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Sa’ad Zaghlul, dan lainnya. Beliau wafat pada 9 Maret 1897, di Istanbul, Turki, pada usia 59 tahun.