Berita
Bima Arya: Potret Pragmatisme Politik Berbuah Intoleransi
Bogor kembali tercoreng oleh aksi yang menodai prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Setelah kasus GKI Yasmin, Walikota Bogor, Bima Arya, dalam surat edaran yang ditandatanganinya melarang peringatan Asyura Muslim Syiah di Bogor.
Tindakan Bima Arya ini jelas melanggar konstitusi dan Pancasila. Padahal tadinya Bima Arya adalah sosok muda yang naik dengan mengusung isu pro toleransi.
Apa yang sebenarnya terjadi? Berikut wawancara ABI Press dengan Direktur Eksekutif ICRP, Muhammad Monib, sejawat Bima Arya saat di Universitas Paramadina.
Bagaimana sebenarnya Bima Arya dulu?
“Dia kan dosen di Paramadina. Jadi ya bayangan saya orang-orang yang masuk di Paramadina, seperti Cak Nur. Ideologinya sama, cara pandangnya sama, apresiasi terhadap kebhinekaan, terhadap keindonesiaan. Ya isu-isu yang biasa kita garap itu.”
“Waktu itu saya sebagai penanggungjawab Kajian Islam. Ada kawan wartawan senior dari Kompas, yang bertanya apakah ada tokoh muda yang bagus. Kita jawab ada, Bima Arya ini. Awalnya ada harapan besar. Tapi dalam perjalanan kemudian kecewa juga. Padahal dia juga yang merekomendasikan Bima ke tokoh-tokoh PAN.”
Darimana pertama kali mendengar info Bima Arya melarang peringatan Asyura?
“Waktu mendengar pertama kali saya baca di medsos. Langsung kemudian saya buat SMS, ke nomor dia yang saya masih punya. Tapi mungkin ada sistem yang menolak SMS itu. Akhirnya saya kirim via WA. Tapi sebelum di WA itu saya lempar di Facebook dulu. Makanya di Facebook saya katakan belum ada respon. Jawabannya: Mas Monib yang baik, dia mau minta dialog.”
“Nah, menarik nih. Saya respon. Tapi kemudian tiba-tiba Bang Suaedy, Direktur Eksekutif Abdurrahman Centre nelpon saya. Dia bilang, Mas Monib saya baca (status) Facebook Anda. Capek berharap, katanya.”
“Kemudian di grup WA Aliansi dan Advokasi RUU Kebebasan Beragama, Guntur Romli masuk, termasuk temen-temen dalam peserta forum Bandung mengatakan, Bima memang berubah. Bener mas, saya pernah ikut dalam satu forum, jadi ajang itu alih-alih membicarakan solusi terhadap GKI Yasmin, justru dia curhat. Kenapa dia ambil keputusan yang sangat tidak kita harapkan dan bener-bener melanggar konstitusi.”
Apakah berlanjut diskusi dengan Bima itu?
“Nah, hampir seluruh perbincangan di WA itu mengatakan percuma bicara dengan Bima. Tapi kemudian saya katakan, bagaimana kalau poinnya sama untuk menyatakan keberatan kita, kenapa tidak ditweet aja? Saya bahkan mengatakan ditweet langsung agar ketemu dia di Paramadina, karena Bima ngajar di Paramadina, atau di lain kota. Saya katakan, saya mau menunggu keputusan temen-temen. Tapi hampir seluruh perbincangan itu mengatakan, percuma. Tapi saya masih pertahankan. Karena bagi saya dialog tetaplah cara baik menyampaikan cara pandang.”
“Akhirnya karena kebanyakan diskusi di aliansi mengatakan percuma saja, akhirnya saya di sini tidak memblow-up untuk pertemuan dengan Bima ini.”
Apa sebenarnya yang membuat Bima berubah seperti itu?
“Nah, dalam perjalanan kemudian, beberapa informasi masuk. Pertama, istri dia itu memang kecenderungan Wahabi. Bahkan ada temen kelasnya di SMA, sekalipun tidak sampai level cadar, tapi ya jilbab syar’i yang dekat. Dekat seperti kelompok-kelompok itu. Kakak dari istrinya itu juga agak seleb, artis, ya seperti itu juga cara pandangnya.”
“Jadi Bima ini secara sosial, keluarga, ideologinya memang nampaknya dikepung cara pandang keagamaan yang intoleran. Ini analisis dari sosial dan keluarga.”
“Dari sisi lain adalah, karena dia sedang disibukkan oleh Kejaksaan terkait dengan prosedur pembebasan lahan di kawasan Jambu Dua. Jadi mungkin dia berharap, dengan memainkan isu-isu SARA, dia akan mendapat dukungan politik di Bogor, terutama dari Majelis Ulama dan dari kelompok-kelompok radikal itu.”
“Saya juga baru baca itu kemarahan pak Abdillah Toha. Saya rasa dari beberapa kumpulan informasi beberapa politisi senior itu menguatkan pada dasarnya Bima karena minus prestasi ini, dan dia nampaknya masih berharap bisa bertahan, maka yang paling memungkinkan ya jual beli kebijakan politik, berharap popularitas dia, dukungan terhadap dia masih ada.”
Jadi aksi intoleransi melarang perayaan Asyura di Bogor ini lebih didasari oleh kepentingan politik pragmatis belaka?
“Ya, saya gak tahu kalau diukur kira-kira dari rating politik itu berapa persen kekuatannya kelompok-kelompok keras ini yang darinya Bima berharap bisa dapat suara melalui isu GKI Yasmin, dan dengan menghantam Asyura. Padahal secara umum, Asyura ini hanya disentimeni oleh kelompok-kelompok Wahabi. Bagi NU, Asyura itu kan sudah tradisi umum. Di Jawa apalagi. Sudah mendarah daging, sudah akrab di masyarakat Asyura itu. Nyanyi-nyanyian, shalawatan itu kan sudah biasa.”
“Apalagi tersebar info, Athian Ali ketemu orang Saudi dan ada kucuran 50 Milyar itu. Jadi bagi saya akhirnya memang, apa yang berkembang itu bisa kemudian kita cari ujungnya, ia (Bima) ingin menyelamatkan masa depan politiknya.”
Jadi untuk menyelamatkan masa depan politiknya, Bima Arya menggunakan isu anti Asyura agar meraih dukungan kelompok intoleran ini?
“Saya lebih melihat pragmatisme politik Bima Arya, karena dia memang dalam perjalanannya, tak ada prestasi yang bisa dibanggakan, saya yakin dukungan pada dia juga sangat rendah. Popularitas dia juga hampir bisa dikatakan tak ada yang bisa dikatakan untuk mendongkrak. Jadi memainkan isu-isu itu menurut saya dia berharap itu akan terjadi gelombang balik gitu.”
“Kalau di Jakarta, terbukti Ahok tidak mempan isu ini. Nah, kenapa Bima Arya di Bogor masih menggunakan isu itu? Menurut saya ini menunjukkan memang sudah begitu suramnya, begitu lemahnya politik dia. Atau memang Bima sebagai berlatar belakang ilmu politik, melihat Bogor masih memungkinkan.”
“Paling tidak saya menduga Bima masih melihat bisa memainkan isu seperti itu di Bogor. Karena misalnya, dukungan terhadap upaya melarang peringatan Asyura itu didapat dari tokoh-tokoh di sana, yang berada pada posisi strategis di Majelis Ulama. kemudian Basnas Bogor, Annas, kemudian beberapa ormas radikal.”
Apa ini sama dengan kasus di Sampang, ketika Bupati Sampang menggunakan isu sektarian Sunni-Syiah untuk mendulang suara saat Pilkada, tapi ternyata gagal?
“Nah, itu yang tadi. Jangan-jangan Bima itu secara politik tak ada lagi harapan, lalu apa yang dimainkan selain itu? Kalau mengkomparasi dengan Sampang, yang memainkan itu di Pilkada, dan Bima melakukan itu, jadi itu artinya Bima sudah gelap, kehilangan harapan. Sudah kehilangan inspirasi untuk hal yang lebih penting atau krusial untuk dimainkan. Yang ada adalah memainkan isu SARA, yang kemudian dibakar-bakar oleh beberapa tokoh-tokoh yang ada, yang anti keberagaman. Mungkin sepragmatis itu cara pandang politik dia dalam kondisi terjepit itu.”
Bagaimana perasaan Anda sebagai orang yang dulu dekat, bahkan ikut berharap Bima Arya bisa berkiprah melindungi kebhinekaan bangsa?
“Tentu ini sangat mengecewakan. Tapi nasi sudah jadi bubur. Jadi susah. Dia berangkat dulu dengan memposisikan diri sebagai tokoh muda yang punya harapan. Saat itu yang publik maksud tentu adalah inspiring leader, visioner, menghargai perbedaan, pluralis. Bayangan kami, bayangan temen-temen secara umum, dari Paramadina, Maarif Institute, kan bisa bikin pemerintah yang inklusif, mengayomi, dan menegakkan konstitusi. Tetapi Bima dalam perjalanannya nampaknya benar-benar mematahkan itu. Dia mengingkari dan mengkhianati hal itu.”
Sekarang nasi memang sudah menjadi bubur, untuk ke depannya pelajaran apa yang bisa diambil agar kita tidak terjebak di lubang yang sama?
“Ya, kawan-kawan juga dalam diskusi ada juga analisis dari Aliansi, ada sumbangsih kesalahan kita juga. Kesalahan kita dengan tidak mendampingi dari awal. Perbedaannya mungkin ya, di kelompok-kelompok model kita ini agak berat untuk kemudian memanfaatkan secara pragmatis temen-temen yang menjadi tokoh atau pembuat kebijakan. Jadi tidak kemudian memanfaatkannya untuk kepentingan pragmatis.”
“Kedua, militansi itu yang saya sadari, hampir di temen-temen bahwa hal itu kurang. Misalnya begini. Kita dukung Jokowi. Jelas itu dulu kita berjibaku. Tapi kemudian karena kita tidak ikut serta mengawal, malah ada orang lain yang mendekati Jokowi. Ketika kita menyesali terhadap kondisi terhadap berbagai hal ini, sudah terlambat. Ini juga kesalahan kita. Karena kita ini kalau temen sudah jadi, kita tidak mendampinginya, tidak berada di dekatnya. Tidak memberi inspirasi dan ngasih input. Itu yang saya duga, karena kawan-kawan kita itu tidak pragmatis, karena ada idealisme yang dipegang.”
“Pelajaran terberat ini, yang sering kita diskusikan ini adalah memang kita kurang militan. Ini bahasa saya. Ke depannya yang harus jadi catatan adalah militansi pada gerakan, pada edukasi publik. Kedua hal ini yang nampaknya harus dikedepankan. Juga militansi untuk mempertahankan, untuk membangun. Untuk masuk pada decision maker yang nampaknya ktia biarkan saja sendirian ketika pada tingkat tertentu sudah berhasil.” (Muhammad/Yudhi)