Berita
Bibit Terorisme dan Ironi Guru Intoleran
Peneliti Setara Institute, Halili, mengatakan bahwa terorisme bermula dari intoleransi.
“Terorisme itu bertingkat. Orang tidak bisa dan menjadi teroris. Pasti ada tangga-tangga menuju itu, dan tangga pertama adalah intoleransi,” kata Halili dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, pada Sabtu, 19 Mei 2018.
Halili mengatakan intoleransi merupakan inkubasi dari bibit terorisme. Menurut dia, kalangan pelajar bahkan sudah terpapar intoleransi. Hal itu dibuktikan dari survei Setara Institute pada 2016 yang dilakukan di 171 sekolah di Jakarta dan Bandung.
Dari proses analisis atas 18 pertanyaan kunci, Halili menemukan ada sekelompok siswa SMA negeri yang terpapar ideologi terorisme sebanyak 0,3 persen. Kemudian sebanyak 2,4 persen siswa alami intoleransi aktif.
Meskipun kelompok siswa yang memiliki cukup tinggi, yaitu 61,6 persen, Halili menilai bahwa perlu ada perhatian khusus bagi yang terpapar intoleransi dan ideologi terorisme. Sebab, dalam konteks terorisme, satu orang yang terpapar saja sudah cukup banyak.
“Bayangkan 100 orang, ada satu yang membawa bom. Semua bisa binasa. Kita harus memberikan fokus pada isu intoleransi sebagai hulu dari pelaksanaan terorisme,” kata Halili.
Setara Institute juga menemukan ada sekolah negeri di Yogyakarta yang sejak presensinya sudah radikal. Misalnya, dia menyebutkan, ada ketentuan antara siswa laki-laki dan perempuan. Arti sekolah negeri adalah tempat bagi penyemaian kebinekaan atau multikulturalisme.
Karena itu, Halili merupakan peran aktif dengan menampilkan peran besar intoleransi di sekolah negeri. Selain itu, pemerintah harus memastikan optimal sterilisasi dari radikalisasi.
Sebanyak 57 Persen Guru Punya Opini Intoleran
Sementara itu, Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, menunjukkan data sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Sedangkan 37,77% keinginan untuk melakukan tindakan intoleran atau intensi-aksi.
“Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan memetakan guru-guru sekolah dan madrasah di Indonesia. Guru mendapat peran strategis dan memiliki peran yang penting,” kata Direktur Eksekutif PPIM Saiful Uman saat memaparkan hasil penelitiannya, di Hotel Le Meridien, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa 16 Oktober 2018.
Saiful Uman menuturkan penelitian ini menggunakan dua alat ukur. Pertama dengan kuisioner, alat kedua menggunakan Implicit Asosiation Test (IAT). Enam
Menurut Saiful ada dua contoh fakta yang memiliki faktor-faktor dalam jawaban intoleransi pada pemeluk agama lain. “Pertama, Non-Muslim boleh pindah tempat ibadah di lingkungan ibu / bapak tinggal. Kedua, Tetangga berbeda agama yang bisa menyambung acara keagamaan,” kata Saiful.
Dari dua soal itu, hasil sebanyak 56% tidak setuju non-muslim tempat tinggal di sekitar tempat tinggal, dan 21% tidak bertanggung jawab.
Pada intensi-aksi intoleran pada pemeluk agama lain dengan lima pernyataan. Kedua pernyataan itu adalah ‘konteks agama yang berbeda’, dan ‘eksplisit petisi menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempat tingalnya’.
Menghasilkan sebanyak 29% guru mengungkapkan kesediaannya ketika ada kesempatan, untuk menandatangi petisi penolakan kepala dinas pendidikan yang berbeda agama. Kemudian 34% guru menyatakan bahwa sekolah tidak memiliki sekolah dasar agama non-Islam di sekitar tempat tinggal.
Penelitian ini menggunakan 2,237 guru sebagai sampel. Dengan proporsi 1.172 guru sekolah negeri dan 1065 guru sekolah swasta (dalam studi di madrasah). Dilaksanakan selama satu bulan, 6 Agustus sampai 6 September 2018, penelitian ini mengambil sampel dari 34 Provinsi di Indonesia, yang dipilih secara teknik proporsional terhadap ukuran (PPS). ( tempo.co )