Berita
Bersihkan Pilpres Dari Politisasi Agama
Pertarungan kedua kubu kandidat dalam Pilpres 2014 ternyata tak hanya sebatas adu visi-misi atau program kerja saja. Namun mulai meluas ke banyak hal termasuk persoalan politisasi agama.
Masing-masing simpatisan mulai seenaknya saling tuding, bahwa kubu nomor urut satu didukung kelompok agama garis keras sementara yang nomor urut dua adalah kubu yang didukung golongan orang-orang kafir. Semua tindakan saling tuding, saling serang dan saling fitnah itu sepertinya ditujukan semata-mata untuk meraup suara masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam dan memang dikenal memiliki orientasi keagamaan yang cukup tinggi.
Namun sejauh manakah bahaya penggunaan simbol-simbol agama dalam kampanye Pilpres bagi kerukunan umat beragama?
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, yang juga merupakan Direktur The Akbar Tandjung Institute, Jakarta, M. Alfan Alfian menyatakan bahwa penggunaan simbol-simbol atau tokoh-tokoh agama pada kenyataannya susah dilepaskan dari politik, terutama di Indonesia. Hal itu menurutnya sesuatu yang wajar meski Alfan tidak menampik adanya pandangan negatif soal politisasi agama ini.
Bagi Alfan, selama penggunaan simbol-simbol dan tokoh-tokoh agama hanya untuk memperoleh dukungan, hal itu hanya sebatas persoalan etis dan tidak etis saja. Yang perlu diwaspadai bila politisasi agama dilakukan sebagai “Black Propaganda” atau “Propaganda Hitam.” Atau, bila sentimen dan simbol keagamaan segaja dimunculkan dalam bentuk kekerasan-kekerasan politik.
“Kalau sudah begitu, artinya sudah kriminal. Maka harus ditangani secara hukum,” jelas Alfan.
Sementara itu, Peneliti Senior WAHID Institute yang juga Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr. Rumadi, MA, sepakat dengan apa yang disampaikan Alfan. Menurutnya, selama para Capres-Cawapres hanya berkunjung kepada tokoh-tokoh agama untuk mencari dukungan, hal itu masih dalam batas kewajaran.
Namun Rumadi menganggap sebagian kalangan sudah cukup keterlaluan, ketika mereka menggunakan agama sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik. Dia sangat menyayangkan, sebab seharusnya, dengan orientasi keagamaan masyarakat Indonesia yang tinggi, mestinya tidak digunakan untuk tujuan-tujuan yang merusak dan menghinakan semacam itu.
“Mestinya agama dijadikan energi positif untuk membangun bangsa ke arah yang lebih baik,” terang Rumadi.
Dalam Pilpres kali ini, tokoh-tokoh agama selayaknya berperan aktif menjaga agar tidak ada penggunaan simbol-simbol agama dalam bentuk kekerasan politik atau menjadikannya alat untuk menjatuhkan lawan politik masing-masing kandidat. Sebab tidak ada yang akan benar-benar memenangkan Pilpres ini bila pada akhirnya negeri ini hancur akibat “Black Propaganda” dengan mengatas namakan agama. (Lutfi/Yudhi)