Berita
Bersama Membangun Hidup Berbhinneka Tunggal Ika
Selasa (18/11), dimulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB, Badan Musyawarah Antar Gereja (Bamag) Kota Surabaya menghelat diskusi lintas agama bertajuk “Membangun Perspektif Lintas Agama dalam Implementasi Kehidupan Bhinneka Tunggal Ika.” Bertempat di aula Gereja Kristen Indonesia di jalan Pregolan Bunder, diskusi ini dihadiri oleh lima narasumber yang mewakili Islam, Kristen Protestan, Hindu, Konghucu, dan Penghayat aliran kepercayaan. Adapun perwakilan Katolik dan Budha, tidak dapat hadir dalam diskusi interaktif yang dihadiri sekitar 200 orang dari berbagai latar belakang sosial-religius tersebut.
Pembicara pertama, Sugeng Wibowo dari Penghayat kepercayaan memaparkan bahwa Kejawen bukanlah suatu religi tersendiri, namun ajaran universal yang bisa membaur dengan semua agama. Inti Kejawen adalah mengedepankan pakerti (pekerti) luhur bagi seluruh semesta.
Kemudian ada Bedande Wayan dari komunitas Parisada Hindu yang menyebutkan pada kidung pujian Hindu banyak terdapat seruan Bhinneka Tunggal Ika. “Demikian pula dalam tradisi Hindu seperti sesajen cok bakal yang di dalamnya terdapat rupa-rupa makanan dalam satu wadah, itu bermakna filosofis sebagai bersatunya aneka rupa keragaman,”lanjutnya. Begitu pun ketika bedande Wayan mengunjungi Jerusalem bersama tokoh enam agama lain dari Indonesia, para pemuka Muslim Palestina melihatnya penuh keheranan sambil memuji bahwa “kekayaan bangsa Indonesia adalah kerukunan antarumat beragamanya.”
Pendeta Simon Filantropa selaku wakil Kristen berpendapat bahwa peran masyarakat sendiri lebih penting daripada peran tokoh agama dalam memutus potensi konflik dan provokasi yang bersumber dari kaum elite politik. “Masyarakat harus waspada agar konflik di tingkat atas tidak merembet ke akar rumput.” Ini, menurutnya, sesuai dengan konsep Kristianitas bahwa anak-anak Allah haruslah menjadi pembawa kedamaian di muka bumi yang penuh akan masalah.
Menanggapi isu sulitnya pembangunan rumah ibadah, Pendeta Simon menyebut umat harus banyak belajar dari kesabaran kaum Syiah dan Ahmadiyah. “Kita tidak punya rumah ibadah sudah merasa paling menderita. Padahal masih ada teman-teman Syiah Sampang yang tidak punya kampung halaman. Kita harus belajar dari situ,” imbuhnya. Disambung oleh narasumber dari Konghucu, Bingky Irawan, yang menyatakan bahwa inti agama-agama dunia adalah cinta kasih. Hanya saja, mengutip Gus Dur, hal ini rawan dicederai oleh fenomena tokoh agama yang terjun dalam politik. “Bisa saja yang halal jadi haram, demikian pula sebaliknya. Agama dijadikan kedok politik saja,” selorohnya.
Terakhir, Ali Maschan Moesa mewakili umat Islam dan khalayak Nahdliyin khususnya mengajak agar kearifan Gus Dur diterapkan dalam hidup berbangsa. Menurutnya, agama haruslah bersifat transformatif, mampu mengangkat derajat kaum minoritas. “Seperti dalam kasus Sampang, saya meminta kyai agar tidak memakai bahasa ‘panas.’ Kita kedepankan dialog, mengajak Tajul Muluk makan bersama, mencari solusi.” Namun tentu dibutuhkan keberanian karena mengembangkan sikap toleran rupanya juga berisiko tinggi, “Karena membela hak Ahmadiyah di Parung yang masjidnya dirusak, saya sempat difatwa kafir,” ungkapnya yang disimak antusias oleh peserta diskusi. (Fikri/Yudhi)