Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Berlibur Ke Pangkuan Rakyat

Oleh Hertasning Ichlas

Ketua Senat Fakultas Hukum UPH“Saya ingin UPH, tidak menjadi kampus eksklusif,” sebut Arnold, Ketua Senat Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan memberi kesan dan pesan kepada teman-temannya di acara api unggun malam itu.

Saya senang sekali mendengar kata-kata itu. Sebagai dosen dan teman mereka, saya bangga dengan pesan Arnold sekaligus acara yang mereka buat.

Di sebuah desa bernama Tenjolaya, diapit dua bukit, sebatang sungai dengan air jernih, dan pemandangan Gunung Salak yang menjulang, 13 mahasiswa memilih liburan mereka dengan cara yang baru: melarikan diri ke pangkuan rakyat; belajar meresapi hidup orang desa; petani, buruh, pedagang kecil.

Mereka belajar jurnalistik dasar, pemetaan serta riset sosial, fotografi hingga belajar bertualang di alam.

Mahasiswa itu bukan hanya bertemu warga, tapi juga mencatat dan melakukan riset sosial ekonomi pedesaan.

Dengan antusias, mereka menuliskan dan mempresentasikannya kepada teman-temannya, termasuk saya. Apa yang disebut pengetahuan yang terbagi berlangsung menjadi praktik dengan suasana riang dan setara.

Sebanyak 4 rukun tetangga mereka jelajahi. Bertemu petani, perajin bambu, pembuat cincau, penjaga situs arca, dan ibu rumah tangga. 13 mahasiswa itu mencoba mengerti hidup rakyat, kesulitan mereka, harapan mereka.

Warga yang tak lagi mau jadi petani, dokter yang tidak ada di puskemas, kakus yang belum tersedia, pendidikan dini yang terbengkalai, wisata sejarah yang kurang terawat, air sungai yang diserobot pelaku wisata, penghasilan yang rendah, tercatat dan terekam dengan baik oleh 13 mahasiswa itu.

Di malam hari, 13 mahasiswa itu berkumpul, merenungkan apa yang mereka temukan, dan mencoba merumuskan jalan keluar yang mereka bisa lakukan tanpa menunggu pemerintah.

Saya mendengar presentasi mereka. Begitu serius sekaligus begitu penuh jenaka. Ada banyak informasi yang mereka serap, di saat yang sama,  mereka perlu menstrukturkan apa yang penting untuk disampaikan.

Kejadian-kejadian lucu terjadi ketika mereka menuturkan apa yang mereka temukan dengan sedikit melibatkan sudut pandang mereka sebagai anak kota. Saya melihat mata mereka yang berkilat-kilat bersemangat. Saya senang bahwa mereka membiasakan untuk memahami ketimbang menghakimi apa yang mereka lihat.

Acara itu sama sekali tak kehilangan kegembiraan dan petualangan. 13 mahasiswa itu berkesempatan blusukan keliling kampung dan jalan desa. Ada yang membajak sawah dan melihat pabrik cincau hitam khas Tenjolaya. Mereka pula berenang di sungai yang jernih. Naik ke bukit menanam pohon pala dan menyusuri gunung menuju air terjun berenang-renang sambil bersenda gurau riang.

Saya berharap acara seperti itu melatih empati sosial mereka dan membangun kesadaran baru bahwa bangku kuliah saja tidak cukup. Sebagian besar pengetahuan dan pendidikan justru terletak pada dunia sosial. Kedekatan dengan alam membuat mereka menghargai alam dan lingkungan sebagai teman dan modal sosial ketimbang barang ekonomi semata.

Melihat mereka, saya seperti punya harapan tentang Indonesia. Santun, cerdas, gigih, dan memiliki empati sosial yang kuat.

Semoga pesan Soe Hok Gie menemukan jalan untuk sampai ke hati mereka: cara terbaik mengenal dan mencintai Indonesia yakni bertemu langsung dengan dengan rakyatnya (realitas hidup mereka).

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *