Berita
Batas antara Tauhid dan Kemusyrikan
Apa garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan (termasuk bentuknya yang teoretis dan praktis?) Mana pandangan yang bersifat tauhid dan mana pandangan yang bersifat syirik? Perbuatan seperti apa yang dapat disebut Tauhid praktis, dan yang dapat disebut syirik (kemusyrikan) praktis? Apakah suatu kemusyrikan jika mempercayai eksistensi apa pun selain Allah? Apakah Tauhid Zat-Nya menuntut kita untuk tidak mempercayai eksistensi sesuatu dalam bentuk apa pun di samping Dia, yang bahkan bukan ciptaan-Nya (semacam monoisme ontologis)?
Jelaslah bahwa segala ciptaan adalah pekerjaan Allah. Tidak dapat dipandang sebagai tandingan-Nya. Ciptaan Allah merupakan manifestasi kemahakuasaan-Nya. Mempercayai eksistensi suatu ciptaan sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Allah, tidak bertentangan dengan tauhid. Akan tetapi justru melengkapi tauhid. Karena itu, garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan bukanlah ada atau tidak adanya sesuatu selain Allah.
Apakah mempercayai sebab-akibat segala ciptaan sama dengan kemusyrikan atau pluralitas pencipta?
Apakah mempercayai ketauhidan perbuatan Allah berarti kita juga menolak sistem sebab-akibat, dan beraiti kita juga menganggap bahwa setiap akibat tentu penyebabnya adalah Allah secara langsung?
Misal, apakah kita percaya bahwa api sama sekali tak punya peran dalam pembakaran, air sama sekali tak punya peran dalam menghilangkan dahaga, hujan sama sekali tak punya peran dalam menumbuhkan tanaman, dan obat sama sekali tak punya peran dalam penyembuhan, dan bahwa Allah langsung yang membakar, langsung yang menghilangkan dahaga, langsung yang menumbuhkan tanaman, dan langsung yang menyembuhkan penyakit Benarkah ada atau tak adanya faktor-foktor lain sama saja? Paling banter dapat dikatakan bahwa Allah biasanya berbuat bila ada faktor-faktor tertentu.
Jika seseorang biasa memakai topi di kepalanya saat menulis surat, maka tidak dapat dikatakan bahwa ada atau tak adanya topi mengakibatkan dia menulis surat. Yang jelas, dia tak suka menulis surat tanpa mengenakan topi di kepalanya. Menurut pandangan ini, seperti itulah karakter dari ada dan tidak adanya segala sesuatu yang disebut sebab dan faktor. Kalau kita mempercayai sebaliknya, berarti kita menganggap bahwa Allah memiliki sekutu dalam berbuat. Itulah pandangan kaum Jabariah.
Sekali lagi pandangan ini keliru. Karena mempercayai eksistensi suatu ciptaan tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas Zat Tuhan, tetapi justru melengkapi kepercayaan akan keesaan Allah. Maka, mempercayai sistem sebab-akibat tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas pencipta. Karena eksistensi segala ciptaan itu bukan dengan sendirinya, maka efektivitas mereka juga bergantung. Karena eksistensi dan efektivitas segala yang ada bergantung pada Allah, maka tak ada masalah pluralitas pencipta (dalam hal ini).
Mempercayai sistem sebab-akibat sesungguhnya melengkapi kepercayaan akan kepenciptaan Allah. Tentu saja sama dengan kemusyrikan kalau kita percaya bahwa segala ciptaan ada dengan sendirinya, atau percaya bahwa hubungan antara Allah dan alam semesta tak ubahny hubungan pabrik dengan produk. Mobil pada mulanya membutuhkan pabrik agar mobil itu eksis, namun setelah ada, mobil itu berjalan sesuai mekanismenya sendiri. Meskipun pabriknya mati, mobil itu tetap bisa berjalan. Kalau kita beranggapan bahwa hubungan faktor alamiah, seperti air, hujan, energi, panas, bumi, tumbuhan dan manusia dengan Allah seperti itu, seperti terkadang cenderung jadi pandangan kaum Mu’tazilah, maka pandangan seperti itu tentu saja membawa pada kemusyrikan. Efektivitas segala ciptaan bergantung pada Pencipta mereka, karena asal-usul, eksistensi dan kelangsungan mereka bergantung kepada-Nya.
Alam semesta adalah ciptaan-Nya dan merupakan rahmat dari-Nya. Alam semesta sepenuhnya bergantung kepada-Nya. Karena itu, efektivitas segala ciptaan sesungguhnya merupakan efektivitas Allah, dan kreativitas manusia merupakan kreativitas-Nya dan perpanjangan pekerjaan-Nya. Bahkan dapat dikatakan bahwa memandang musyrik terhadap keyakinan akan adanya peran makhluk dalam urusan dunia itu sendiri adalah pikiran musyrik,m. Karena pikiran seperti itu menunjukkan secara tidak sadar mempercayai kemandirian segala yang ada. Seperti ditunjukkan oleh anggapan bahwa mempercayai efektivitas segala yang ada berarti sama dengan mempercayai adanya dua pusat. Namun demikian, mempercayai atau mengingkari sebab-akibat segala ciptaan di samping Allah bukanlah garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan.
Apakah mempercayai kekuatan supranatural dari sesuatu yang eksis, entah malaikat atau manusia seperti nabi atau imam, itu musyrik, padahal mempercayai kekuatan dan efektivitas nabi atau imam dan seterusnva dalam batas-batas normal tidak musyrik?
Eksistensi memiliki dua segi: fisis dan metafisis. Segi metafisis merupakan wilayah khusus Allah, sedangkan segi fisis merupakan wilayah khusus makhluk, atau merupakan wilayah bersama antara Allah dan makhluk. Sejumlah fungsi yang memiliki segi metafisis, seperti menghidupkan, mematikan, memberikan rezeki, dan seterusnya, bersama beberapa fungsi normal dan biasa, merupakan wilayah khusus Allah. Sejauh menyangkut Tauhid Teoretis, begitulah posisinya.
Adapun Tauhid praktis, maka memberikan perhatian kepada makhluk dengan maksud membina hubungan spiritual dengan makhluk tersebut, agar makhluk tersebut memberikan perhatian kepada kita, atau agar makhluk tersebut memberikan tanggapan kepada kita, maka itu semua merupakan kemusyrikan, dan sama saja dengan menyembah makhluk tersebut. Karena menyembah selain Allah itu tidak dibolehkan oleh akal dan juga oleh syariat Islam, maka orang yang melakukan perbuatan tersebut keluar dari Islam.
Kemudian, karakter ritus yang membutuhkan adanya perhatian semacam itu, tak beda dengan karakter ritus yang dilakukan oleh kaum penyembah berhala. Kalau orang melakukan ritus seperti itu, maka artinya dia menganggap sosok yang jadi objek ritus tersebut memiliki kekuatan metafisis (misalnya Imam atau Nabi saw). Itulah pandangan kaum Wahabi dan kaum semi-Wahabi di zaman ini. Di zaman ini, pandangan seperti itu banyak dianut, dan di beberapa kalangan tertentu malah dianggap sebagai tanda berpikir jernih.
Baca Murthada Muthahari: Penyebab Berpikir Keliru dalam Agama
Bertentangan dengan konsepsi tauhid, Wahabisme bukan saja merupakan sebuah doktrin yang bertentangan dengan imamiah, namun juga bertentangan dengan tauhid dan kemanusiaan. Doktrin Wahabi ini anti-tauhid, karena doktrin ini mempercayai adanya pembagian kerja. Seperti sudah dijelaskan di atas, Wahabisme merupakan semacam kemusyrikan terselubung. Juga anti-kemanusiaan, dalam pengertian tidak menghargai bakat dan kemampuan manusia, dua hal yang membuat manusia lebih unggul dari malaikat sekalipun. Dengan jelas Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia adalah khalifah Allah, dan malaikat diperintahkan untuk sujud di hadapan manusia. Namun Wahabisme masih saja berkeinginan menurunkan martabat manusia sampai ke tingkat binatang buas.
Faktanya adalah bahwa garis pemisah antara tauhid dan syirik adalah hubungan antara Allah di satu pihak, dan manusia serta alam semesta di pihak lain. Hubungan ini adalah hubungan “dari-Nya” dan “kepada-Nya”. Dalam tauhid teoretis, garis pembatas tersebut adalah “dari-Nya”. “Kita semua dari Allah”. Dari sudut pandang tauhid, sikap kita baru benar kalau kita memandang bahwa hakikat, sifat, dan efektivitas dari kualitas eksistensi pada setiap kebenaran dan setiap sesuatu yang ada itu semata dari Allah. Allah bukan Tuhannya dunia metafisis saja. Allah adalah Tuhan alam semesta. Dekatnya Dia dengan dunia fisis, sama dengan dekatnya Dia dengan dunia metafisis. Dia bersama segala sesuatu, dan rezeki untuk segala sesuatu tersebut adalah dari-Nya. Kalau sesuatu memiliki segi metafisis, itu berarti bahwa sesuatu tersebut memiliki segi ketuhanan.
Menurut konsepsi Islam, karakter wujud yang dimiliki alam ini adalah “dari-Nya”. Dalam banyak ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa para nabi memiliki mukjizat, seperti dapat menghidupkan sesuatu yang sudah mati, dan mengembalikan penglihatan orang yang buta sejak lahir.
Kita semua akan kembali kepada-Nya, sebagaimana dikatakan Al-Qur’an Suci. Kalau kita memberikan perhatian kepada sesuatu yang ada, baik perhatian itu bersifat spiritual atau bukan, dengan maksud untuk sampai kepada Allah, dan bukan sebagai tujuan itu sendiri, maka perbuatan kita ini sama dengan memberikan perhatian kepada Allah. Segala yang ada supaya dipandang hanya sebagai tanda untuk menuju ke Allah. Hanya Allah sajalah tujuannya. Para nabi dan para imam digambarkan sebagai rute utama dan jalan lurus, papan penunjuk jalan bagi manusia, mercusuar di darat, pemandu ke jalan Allah, penyampai risalah-Nya dan penyingkap kehendak-Nya.
Karena itu, masalahnya bukanlah kalau ber-wasîlah (menjadikan sebagai perantara) kepada imam, memohon atau berharap agar imam berbuat mukjizat, maka itu musyrik. Kita harus yakin apakah para nabi dan imam itu memang sedemikian dekat dengan Allah, sehingga mereka dianugerahi kekuatan dan kualitas supranatural. Al-Qur’an Suci menunjukkan bahwa Allah telah menganugerahkan posisi seperti itu kepada sebagian orang.
Tak syak lagi, dalam benak sebagian besar orang, secara naluriah, terdapat pandangan bahwa Allah itu ada. Sebagian orang mungkin benar-benar tak memiliki pandangan tauhid. Mereka harus diingatkan tentang pandangan tauhid ini. Namun demikian, tak ada alasan untuk menyebut musyrik terhadap ziarah kubur.
Murthada Muthahari, Manusia dan Alam Semesta