Berita
Bahaya Rokok Melebihi Morfin
Rokok, sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Hampir di setiap tempat warga duduk dan berbincang, pastilah di antara mereka terdapat rokok, terutama bagi kalangan pria. Ditambah lagi bukti dari The Asean Tobacco Control Atlas 2013, jumlah perokok dewasa di Indonesia tertinggi dibanding 8 negara ASEAN lainnya.
Namun, sadarkah kita bahwa nikotin dalam rokok adalah zat adiktif paling berbahaya daripada narkoba dan beberapa zat lainnya?
DR. H. Hakim Sorimuda Pohan, S.POG. menceritakan dalam sebuah workshop bertema “Women Network Workshop on Tobacco Control”, Rabu (18/11) di kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, bahwa nikotin adalah zat adiktif paling berbahaya dari 6 zat adiktif lainnya, mulai dari kopi, ganja, alkohol, heroin, dan morfin.
Bahkan pakar zat adiktif dari Belanda Prof. Wim Van Der Brink dalam sebuah diskusi di Jakarta, menurut Hakim pernah bercerita tentang risetnya terhadap kelompok remaja yang merokok dan remaja yang tidak merokok. Kedua kelompok tersebut kemudian disuntik dengan morfin tanpa sepengetahuan mereka.
Reaksinya sangat mengejutkan, kelompok remaja yang tidak merokok merasakan pusing-pusing, mual-mual, mengantuk dan mengeluhkan rasa tidak enak. Sementara bagi kelompok remaja yang perokok ketika disuntik morfin reaksinya adalah merasa enak, nyaman dan meminta lagi.
“Kalau mau kendalikan narkotika kendalikan nikotin, kendalikan rokok,”tegas Hakim. “Orang tidak sadar bahwa adiktif berbahaya yang paling raja dari raja adalah nikotin,” lanjutnya.
Sementara itu pembicara lainnya adalah Ketua I Komnas Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo yang mengatakan bahwa Indonesia tidak percaya bahwa tembakau pada rokok itu sangat berbahaya dengan menyatakan sebagai buktinya adalah pada Kementerian Perindustrian batas untuk alokasi anggaran industri rokok yang justru dihilangkan.
“Bukannya dikendalikan, eh…Batas untuk alokasi anggaran industrinya dihilangkan,” ujar Tuti.
Klaim bahwa merokok adalah hak asasi manusia, ternyata faktanya menurut Tuti tidaklah demikian. Sebab hak asasi adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir yang tanpa itu nilai manusianya tidak lengkap.
“Merokok bukan hak asasi, sebab tanpa merokok kita tidak kehilangan nilai hak asasi kita sebagai manusia,” tegas Tuti menjawab mitos bahwa merokok adalah hak asasi manusia.
Sedangkan Abdillah Ahsan, Dosen FEUI yang juga aktif sebagai peneliti di lembaga Demografi FEUI menjelaskan tentang FCTC, yaitu perjanjian internasional yang mengatur tentang pengendalian masalah tembakau.
Secara global, menurut Abdillah ada yang mengatur tentang pengendalian konsumsi tembakau sebagai hasil dari negosiasi 192 negara anggota di WHO. Jadi hampir semua negara di dunia sepakat bahwa merokok merugikan kesehatan dan harus dikendalikan konsumsinya. FCTC ini adalah produk hukum internasional yang bersifat mengikat bagi negara-negara yang meratifikasinya.
Indonesia aktif mengikuti negosiasi FCTC yang salah satunya diadakan di Indonesia dan menghasilkan Jakarta Declaration pada bulan Juni 2001.
Di tingkat Asia, hanya Indoensia yang belum meratifikasi, sementara 180 negara telah meratifikasi FCTC dan sepakat untuk mengendalikan kosumsi tembakau atau rokok.
“Jadi akan sangat aneh kalau di Indonesia rokok tidak dikendalikan dan Indonesia tidak meratifikasi FCTC ini,” tegas Abdillah.
Workshop hari itu dihadiri juga oleh sejumlah mantan perokok yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia.
Fakta bahwa di antara anggota Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia itu ada yang pita suara mereka hilang sehingga kesulitan untuk berbicara dan leher yang harus dilubangi untuk memudahkan mereka bernafas, menambah fakta bahaya dari rokok. (Lutfi/Yudhi)