Berita
Bagaimana Seharusnya Kita Beragama? (2/2)
Syariat
Syariat menurut arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu, syariat diartikan lebih luas, yaitu segala jalan yang mengantarkan manusia pada maksudnya. (lihat: Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surah al-Jatsiyah: 18)
Dengan demikian, syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia pada tujuan Islami.
Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi kehidupan sesuai dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyyah), ia akan merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya, tentu ia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS. az-Zumar: 3).
Mereka, sesuai fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam raya. Berkenaan dengannya, Allah ta’ala berfirman: Jika kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan bumi dan langit? Niscaya mereka menjawab, “Allah.” (QS. Lukman: 25). Kemudian, mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana dilukiskan Allah dalam firman-Nya: Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami kepada Allah semata. (QS. az-Zumar: 3) Kendati meyakini keberadaan Allah ta’ala, namun mereka keliru dalam cara menjalin hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya.
Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam berkontak dan berkomunikasi dengan Allah Swt, maka kita mesti melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang kita inginkan. Allah Swt dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para nabi dan menurunkan kitab untuk mengajarkan tatacara menyembah (beribadah). Karena itu, kita harus mengikuti bagaimana Rasulullah saw beribadah, ‘’Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.’’
Kaum muslimin yang menyaksikan langsung Rasulullah saw beribadah, tak akan mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari beliau dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk mengetahui cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan al-Quran dan hadis. Dan untuk memahami maksud al-Quran dan hadis tidaklah mudah.
Berkenaan dengan al-Quran, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, “Kitab Tuhan kalian (berada) di tengah kalian. Ia menjelaskan perihal halal dan haram, kewajiban dan keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)…” (Tashnif Nahjul Balaghah, 207) Sedangkan terkait dengan hadis yang sampai kepada kita, jumlahnya mencapai ribuan dari berbagai kitab hadis dan tidak sedikit darinya yang saling bertentangan satu sama lain.
Dengan demikian, untuk memahami maksud al-Quran dan hadis, harus terlebih dahulu dikuasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik. Antara lain bahasa Arab, tafsir, ulumul qur’an, ushul fiqih, manthiq, ilmu rijal, ulumul hadis, dan sebagainya.
Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu itu dengan baik, dapat ber-istinbath (meng-interpretasi-kan hukum) secara langsung dari al-Quran dan hadis (pelakunya disebut mujtahid). Namun, orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas dengan baik, cukup baginya mengikuti (bertaqlid pada) hasil istinbath kalangan mujtahid. Dalam masalah akidah, sikap taqlid tidak diperkenankan. Sementara dalam masalah syariat, sikap taqlid diperbolehkan.
Akhlak
Para ulama yang mengartikan akhlak umumnya mengatakan, “Akhlak adalah ilmu yang menjelaskan tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang harus diamalkan.” Mereka membagi ilmu akhlak dalam dua bagian; akhlak teoritis dan akhlak praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan, sebagai proses mencapai tujuan hidup, yaitu kesempurnaan. Kalimat penutup, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya kita beragama, adalah berakidah atas dasar tahqiq dengan menjalankan syariat secara baik berdasar ijtihad atau taqlid serta berakhlak. [risalatuna/aljawad]