Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Bagaimana Seharusnya Kita Beragama? (1/2)

Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam upaya introspeksi diri atas keagamaan kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak orang beragama, namun keberagamaan mereka sekedar warisan orang tua atau lingkungan sekitar. Bahkan, ada sebagian orang beranggapan bahwa agama hanya pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.

Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya, mereka beragama asal-asalan, sekedar tidak dikatakan tidak beragama. Gejala perpindahan dari satu agama ke agama lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan, anggapan bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidak pedulian yang lazim terhadap agama. Gejala pluralisme semacam ini menjadi trend abad ke-20.

Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah perkara yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antar manusia. Agama merupakan perkara yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadahan saja.

Agama telah dibonsai sedemikian rupa sehingga hanya mengurus masalah-masalah ritual belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke ranah politik, sosial, dan ekonomi. Karena, jika agama dibawa ke arena politik dan sosial, akan terjadi perang antar agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa. Demikian pula, jika agama diperan-aktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan membatasi kebebasan menimbun kekayaan, karena banyak lampu merah dan peringatan yang sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis.

Benarkah demikian?

Tentu! Mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas adalah kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional, sehingga tidak dapat digeneralisasi.

Namun, bagi muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar. Sebab, secara teoretis, agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial. Islam agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktis, hal itu telah dibuktikan; bahwa dalam suatu pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dengan baik, kehidupan masyarakatnya, baik muslim maupun non muslim, aman, damai, dan sejahtera. Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya maju pesat.

Yang jadi acuan kita adalah, bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita. Sebagaimana telah kita bahas pada edisi sebelumnya, ajaran agama terdiri dari tiga kategori; akidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih), dan akhlak. Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini, kami akan menjelaskan, meski ringkas, ketiga kategori ajaran tersebut.

Akidah

Akidah merupakan perkara yang mengikat akal, pikiran, dan jiwa seseorang (Syaikh Muhammad Raysyahri, Mabani-e Syenakht). Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-geriknya, maka keyakinan tersebut akan mengikat dirinya sehingga tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya murka.

Pada dasarnya, inti dari akidah semua agama, adalah keyakinan terhadap eksistensi Dzat Pencipta alam raya ini. Itu merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini, semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah ta’ala berfirman: Katakanlah, “Wahai ahli kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian.” (QS. Ali Imran: 64).

Namun perbedaan muncul tatkala berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini, bagaimana wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang? Atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan ketuhanan. Tentu, mustahil semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta. Karenanya, hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan bagaimana Dzat Pencipta itu.

Lalu, bagaimana cara menentukan agama yang benar?

Dalam hal ini, masing-masing agama tidak dapat membicarakan hal itu menurut kaca matanya sendiri. Baik melalui kitab sucinya maupun pendapat para pakarnya. Umat Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan al-Quran maupun hadis; atau umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula umat lainnya.

Berbicara tentang siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan dimiliki setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebenarannya oleh akal. Maka, di sinilah perlunya kita mempelajari akidah melalui pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddin, ilmu tauhid dan ilmu kalam (teologi).

Bagaimana kita berakidah atau cara mempelajari akidah?

Ayatullah Muhammad Ray Syahri dalam Mabani-e Syenakht, membagi manusia berakidah dalam dua kelompok. Sebagian orang berakidah atas dasar taqlid dan sebagian lainnya atas dasar tahqiq. Taqlid bermakna, menerima pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) rasional. Sebaliknya, tahqiq bermakna menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) rasional.

Berakidah dengan dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena, masalah akidah merupakan masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak memberikan keyakinan dan kemantapan. Karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al-Quran sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengritik pola pikir semacam ini, yang merupakan pola pikir yang lazim dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para nabi. Misalnya, al-Quran mengatakan: Jika dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab, “Tidak. Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami.” (QS. Luqman: 21)

Selain itu, al-Quran juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan: Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui. (QS. al-Isra: 36). Bahkan, al-Quran menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang paling buruk: Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir. (QS. al-Anfal: 22), serta ayat-ayat lainnya.

Di samping itu, terdapat sejumlah hadis Rasulullah saw yang menganjurkan umatnya agar beragama dengan dasar pengetahuan. Antara lain hadis yang mengatakan, “Jadilah kalian orang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan.” (Ibnu Atsir, Kitab an-Nihayah, jil. I, hal. 67)

Ala kullihal, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kekeliruan. Salah seorang Ma’shumin as berkata, “Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para rasul dan hujjah batiniah adalah akal.” Sementara itu, para teolog dan filosof muslim telah bersusah payah membangun pelbagai argumentasi rasional yang kuat dan kokoh sekaitan dengan pembuktian keberadaan Allah ta’ala.

Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas adalah, bahwa dalam masalah akidah, seseorang harus bertahqiq dengan dalil-dalil akal, dan tidak boleh bertaqlid. (aljawad)

Bersambung…

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *