Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Ayatullah Baqir Sadr: Islam dan Para Mubaligh

Sesungguhnya risalah Islam memiliki karakter-karakter dan keistimewaan-keistimewaan tertentu dalam setiap bidang yang menunjukkan bahwa ia merupakan ideologi yang paling pantas untuk disebarkan dan mendatangkan keberhasilan serta kekekalan. Dan salah satu bidang yang menunjukkan karakteristik Islam yang sangat kuat dan indah tersebut adalah bidang praktis; yaitu, bidang dakwah dan usaha menegakkan ajaran Islam.

Dakwah pada risalah Islam memiliki keistimewaan dibandingkan dengan berbagai macam dakwah atau ajakan pada berbagai ajaran yang lain. Dakwah Islam hanya bersandar pada risalahnya sendiri dan karakternya yang khas, yang merupakan unsur-unsur kekuatannya dan syarat-syarat keberhasilannya serta komponen-komponen spiritualnya dalam bidang jihad dan perjuangan. Risalah Islam menyuplai dakwah dengan unsur-unsur, syarat-syarat, dan elemen-elemen ini, yang tidak kita temukan pada risalah lain. Dakwah pada pelbagai ajaran lain terpaksa harus mengambil sebagian elemen spiritual itu dari luar, bukan dari risalahnya sendiri.

Baca  juga Ayatullah Baqir Sadr: Syarat Utama Kebangkitan Umat

Dan salah satu elemen spiritual paling penting yang diperlukan setiap dakwah yang bersandar pada risalah apapun warnanya adalah:

Pertama, unsur akidah yang menyempurnakan risalah dalam pandangan dakwah, dalam bentuk pengultusan atau risalah yang pasti. Dengan meresapnya karakter pengultusan yang pasti ini pada jiwa para mubaligh, maka bertambahlah semangat mereka dan berlipatgandalah kekuatan mereka.

Karena itu, para pemimpin dakwah bekerja keras untuk memberikan–atas risalah yang mereka bawa–warna pengutusan yang sangat mendalam, sehingga tertanam dalam jiwa para mubaligh suatu keyakinan yang tidak terbatas akan kebenaran risalah dan keunggulannya. Maka, lahirlah dari keimanan yang kuat ini potensi aktual yang memotivasi dalam bidang usaha atau amal dan dakwah.

Adalah hal teramat gamblang bahwa karakter risalah Islam membentuk ciri ini pada jiwa para mubaligh. Sebab, ia bukan hasil ijtihad tertentu yang bisa saja keliru atau hasil suatu pengalaman terbatas yang boleh jadi tidak menggambarkan realitas dengan gambaran sempurna. Namun, ia adalah risalah penutup atau terakhir, yang Allah memilihkannya bagi manusia dan mengutus untuknya nabi yang terakhir.

Selain sebagai pandangan bagi kehidupan dan masyarakat, Islam juga memiliki karakter keagamaan yang diliputi kultus dan keyakinan mutlak. Inilah yang membedakannya dengan pelbagai jenis kehidupan yang ideologi para penganutnya tidak mencapai derajat agama dan tidak memiliki apa yang dimiliki agama pada para pengikutnya yaitu berupa keyakinan mutlak.

Dalam lingkup perbedaan ini, akan menjadi jelas, apa yang mendasari ketegaran ideologis dalam memikul risalah agama dan kelemahan ideologis dalam mengemban risalah pemikiran-pemikiran lain, kendati didukung orang-orang jenius.

Sungguh, bukanlah hal yang aneh, misalnya, ketika kita melihat Karl Marx, pendiri mazhab pemikiran Marxisme yang termasyhur, mengatakan, aku bukanlah seorang marxis, sedangkan seorang mubaligh muslim, seperti dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib as, “Seandainya disingkapkan kepadaku hal yang tertutup ini, niscaya tidak akan menambah keyakinanku.”

Baca juga Mengenal Sayid Muhammad Baqir al-Shadr, Ekonom Islam Kontemporer

Ideologi Imam Ali adalah agama. Dan karakter agama adalah menebarkan dalam jiwa-jiwa para penganutnya yang ikhlas, keyakinan seperti ini dan mewujudkan ideologi yang mutlak ini. Sementara Marxisme hanyalah ijtihad atau usaha ilmiah yang bersifat khusus. Karena itu, ia tidak dapat menjadikan seorang Karl Mark sendiri sebagai marxis, yang akhirnya tidak memperoleh sifat pasti dan pengultusan ideologis kecuali setelah kaum marxis memainkan peran besar dalam mengangkat marxisme ke level agama dalam ideologinya dan pengultusannya. Demikianlah kita mengetahui bahwa keistimewaan agamis pada risalah Islam menjadikannya mampu menciptakan suasana ideologis yang sempurna dalam lingkup dakwah.

Kedua, harapan. Harapan adalah secercah cahaya yang dibutuhkan setiap dakwah. Ketika dakwah kehilangan harapannya dalam keberhasilan dan kemenangan, niscaya hilanglah eksistensinya dan maknanya yang hakiki. Sebab, dakwah pada sesuatu yang tidak memiliki harapan dalam perwujudannya hanyalah sebentuk kesia-siaan dan tidak berguna. Karena itu, pelbagai jenis dakwah harus mencari harapan dan menjadikannya sebagai acuan dalam beragam keadaan dan peristiwa.

Adapun dakwah pada risalah Islam, meskipun menyandarkan harapan-harapannya pada pelbagai keadaan dan peristiwa, namun ia sebelumnya bersandar pada harapan yang telah dibekali karakter risalah Islam itu sendiri. Risalah ini membuka dengan sendirinya bagi para mubaligh, pelbagai keadaan dari harapan sekaligus menguatankan tekad dan harapan mereka.

Sesungguhnya kelompok Islam pertama mengalami beragam penderitaan di Mekah dan saat itu mereka merupakan kelompok lemah di mana pelbagai jenis kekuatan musuh bersatu untuk menghancurkan dan menutup ruang gerak mereka. Namun, kelompok kecil itu memiliki harapan; bahkan mereka yakin akan kehancuran kubu kezaliman.

Bukanlah hal berlebihan jika kita mengatakan bahwa harapan yang hidup dan kuat ini termasuk kekuatan spiritual paling besar yang dimiliki kaum muslim tersebut, di mana mereka menggunakannya agar sabar dalam menghadapi pelbagai penderitaan. Mustahil harapan yang tertanam dalam jiwa para mubaligh ini menciptakan sesuatu kecuali misi yang memiliki karakter risalah Islam dan karakter ilahiahnya, berupa keyakinan dan muatan spiritual. Maka, seorang muslim tidak akan menjadi rendah atau lemah di hadapan pelbagai himpitan dan penderitaan karena di tangannya masih ada pelita langit dan di belakangnya terbentang janji-janji kemenangan dan dukungan. Risalah Islam sampai sekarang masih seperti semula; mampu membangkitkan harapan pada jiwa para mubaligh. Bahkan mampu mengobarkan harapan tersebut secara nyata sebagaimana yang tersurat dalam al-Quran dan hadis dengan adanya janji kemenangan jika perjuangan disertai niat yang tulus dan sesuai garis yang ditetapkan Islam.

Ketiga, dorongan pribadi. Sesungguhnya manusia biasa, kendati telah sampai kepadanya pelbagai jenis dorongan idealisme, namun dorongan dalam diri sendiri memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan dan aktivitasnya. Di sini, munculnya beragam masalah pada banyak dakwah dan risalah dikarenakan risalah menuntut idealisme serta semangat perjuangan dan pengorbanan; sedangkan, dakwah menuntut sedikit dorongan pribadi yang menambah kekuatan dan semangatnya.

Karena itu, kita menyaksikan sebagian besar pendakwah–tenggelam dalam tempo singkat atau lama dari dakwah atau kemenangan mereka–dalam pelbagai dorongan pribadi dan secara bertahap melemahkan dalam jiwa mereka, dorongan-dorongan yang idealis itu sehingga tempatnya diduduki dorongan-dorongan pribadi. Akhirnya risalah menjadi alat dan pembenar dorongan-dorongan tersebut.

Adapun Islam berbeda dengan seluruh risalah lain dalam kemampuannya untuk mengerahkan dorongan-dorongan egoisme dan idealisme secara bersama demi kepentingannya. Karakter risalah Islam adalah meyakinkan seorang muslim bahwa ikhlas atau loyalitas terhadap risalah dan dakwah serta pengorbanan di jalan-Nya, merupakan pencapaian pribadi sebelum menjadi pencapaian idealisme atau sosial. Ia diuntungkan dengan adanya balasan dan nikmat yang tak terbatas.

Demikianlah risalah Islam membekali seluruh dorongan kemanusiaan demi kepentingannya dan menjadikan dorongan-dorongan egoisme sebagai dorongan dorongan yang baik dan mengikuti dorongan-dorongan idealisme dalam tuntutan dan keharusan-keharusannya. Karena itu, risalah Islam adalah risalah akidah (ideologi) dan iman, risalah harapan dan cita-cita, risalah proyeksi setiap dorongan-dorongan dan kekuatan-kekuatan kemanusiaan.

Ayatullah Muhammad Baqir Sadr, Syahadat Kedua

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *