Berita
Atraksi Seni Islami Buka MTQ 26 Kota Pontianak
Pada tahun 1700-an, Syarif Abdurrahman bin Habib Husain Alkadrie bersama kafilahnya melakukan perjalanan dari Mempawah menuju muara Sungai Kapuas. Di sebuah tempat, yang sekarang menjadi Kota Pontianak, untuk pertama kalinya ia dirikan sebuah masjid, yang kemudian dikenal sebagai Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Demikian pula Istana Kadriah, yang pertama kali dibangun Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai tempat kediamannya bersama keluarga.
Itulah sepenggal sinopsis tari massal yang dibawakan Sanggar Bougenville dalam pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke 26 Kota Pontianak yang dimulai Jumat (12/2).
Tari massal yang melibatkan lebih dari 60 orang penari itu menggambarkan dimulainya sebuah peradaban serta tersebarnya Islam di Pontianak.
Kegiatan yang dihadiri segenap jajaran Pemerintah Kota Pontianak itu dibuka langsung oleh Walikota Pontianak, H. Sutarmidji, SH., M.Hum.
Berlokasi di halaman Sekolah Terpadu, Pontianak Timur, kegiatan ini diikuti oleh para peserta dari 5 (lima) kecamatan di Kota Pontianak yang akan menampilkan kefasihan mereka dalam menyenandungkan firman-firman Allah SWT yang termaktub dalam Alquran.
Masjid Jami’ dan Istana Kadriah itu masih berdiri megah di tepian Kapuas, menjadi saksi sejarah penyebaran Islam di Kota Pontianak hingga kini. Namun seiring zaman, tradisi seni bernuansa Islami mulai memudar di tengah masyarakat, tergeser oleh seni modern yang masuk sebagai pengaruh westernisasi, memboncengi globalisme dan modernisasi.
Menurut Ketua Sanggar Bougenville, H. Yuza Yanis, menampilkan atraksi seni bernuansa Islami dalam pembukaan MTQ ke 26 ini adalah langkah tepat yang dilakukan Pemerintah Kota Pontianak untuk mempopulerkan kembali seni bernuansa Islami, seperti qasidah, rodad-hadrah dan sebagainya.
Dalam pandangan Yuza, masuknya Islam ke Nusantara, khususnya di Kota Pontianak, tidak terlepas dari masuknya seni bernuansa Islami.
Seni, menurutnya, merupakan media yang paling efektif untuk mengenalkan keagungan nilai-nilai Islam kepada masyarakat.
“Kita mengenal senandung-senandung Islami yang hadir di tengah-tengah masyarakat kita hingga kini, seperti li khamsatun dan lainnya. Bahkan Wali Songo juga menerapkan seni sebagai media dakwahnya,” ucap pria yang pernah mewakili Kalbar dalam Seminar Budayawan Muslim Se-Indonesia itu.
“Seni bukanlah semata-mata ekspresi jiwa manusia yang termanifestasikan dalam kata, gerak dan suara, melainkan ekspresi dari sebuah perjalanan spiritual yang menjelma dalam kata, gerak dan alunan nada,” tambahnya.
Karena itulah, menurut Yuza, setiap gerak dan lantunan yang dihasilkan dari sebuah seni memiliki muatan nilai transenden.
“Sema, misalnya, merupakan bentuk ekstase dari perjalanan spiritual yang menghasilkan gerak merotasi, melambangkan ketauhidan. Membaca Alquran pun demikian, ada seni tersendiri dalam membaca ayat-ayat suci tersebut, yang ketika menyentuh hati pendengarnya dapat menimbulkan getaran tersendiri,” tegas Yuza.
Demikian pula dengan karya sastra sufi yang kita kenal, seperti Matsnawi Maulana Jalaluddin Rumi, serta Gulistan dan Bustan karya Sa’di Shirazi, setiap baitnya melambangkan hubungan yang tak pernah putus dengan Tuhan.
Yuza berharap agar beragam seni bermuatan Islam dapat tumbuh berkembang, karena seni Islami merupakan warisan sejarah yang dapat menjadi jalan bagi kita untuk menemukan jati diri keislaman kita.
“Dengan seni, kita dapat menemukan benang merah peradaban kita dan hubungannya dengan berbagai belahan dunia di masa lalu, seperti peradaban Yaman, Persia, Gujarat dan Cina. Sangat terbuka sekali peluang kita untuk menjalin kembali hubungan itu di masa datang, sebagaimana pernah dilakukan para leluhur kita di masa lalu,” pungkas Yuza. (Mad/Yudhi)