Berita
Api Takfiriah Yang Menjilat Diri Sendiri
*
Istilah takfiriah, akhir-akhir semakin sering terdengar. Prahara di Suriah dan juga kisruh politik di Mesir melibatkan sejumlah aktor. Kelompok takfiriah disebut-sebut sebagai salah satu aktor utama. Bahkan ada sejumlah kalangan yang menengarai adanya infiltrasi ideologi kelompok ini ke dalam gerakan-gerakan Islam di Indonesia.
Takfiriah adalah sebuah gerakan yang bercirikan sangat mudahnya menjatuhkan vonis kafir kepada kelompok lain. Gerakan ini sebenarnya berakar jauh sejak masankekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib. Saat itu, muncul sebuah kelompok bernama Khawarij. Secara politis, mereka berposisi sebagai blok ketiga yang mereaksi dua kubu yang berseteru, yaitu kubu Ali bin Abi Thalib sebagai pemerintah yang berkuasa dan kubu Muawiyah yang mengobarkan perlawanan oposisional. Dalam pandangan politik Khawarij, Ali dan Muawiyah sama-sama keliru dan tidak punya legitimasi otoritatif untuk berkuasa atas ummat Islam. Kalau kita kaji secara kultural, sejarah mencatat bahwa fenomena “Khawarij-isme” adalah transformasi dari nilai-nilai hidup suku-suku nomaden Arab Badwi, dengan segala macam cirinya yaitu passionate, keras, tak kenal kompromi, simplistis, mandiri, dan ekslusif.
Untuk menegaskan identitas kelompoknya, Khawarij juga membuat sejumlah rumusan teologis. Ada tiga pilar penting dalam formula teologis Khawarij yang membuat kelompok ini terlihat unik dibandingkan dengan aliran-aliran teologis lainnya. Pertama, parameter keimanan yang sangat elitis. Bagi mereka, keimanan bukan hanya sebatas konfirmasi-verbal (tashdiq), melainkan juga harus dalam bentuk amal perbuatan. Seseorang baru disebut beriman jika ia sudah mengimplementasikan keimanannya itu dalam bentuk amal-amal ibadah secara komprehensif. Dari sisi ini, pengucapan dua kalimah syahadat bukan penanda keberimanan seseorang. Di sisi lain, seorang Muslim akan berubah status menjadi kafir ketika ia secara sengaja melanggar salah satu perintah Allah. Orang Islam yang tidak melaksakan shalat dihukumi kafir, bahkan murtad.
Kedua, penafsiran formalistik-tunggal atas segala macam teks agama. Dalam pandangan Khawarij, teks-teks agama harus difahami secara harafiah. Tidak ada ruang bagi siapapun untuk menafsirkan maksud lain dari redaksi ayat-ayat Alquran dan Alhadis. Salah satu konsekwensi logis dari prinsip ini adalah paham anthromorphisme, sebuah keyakinan bahwa Tuhan itu Zat yang bermateri (tajassum). Keyakinan ini muncul karena, misalnya, redaksi Alquran atau hadis menyatakan adanya ‘tangan Tuhan’. Prinsip ini membuat Islam menjadi agama yang sangat kaku karena diikat oleh penafsiran tunggal, yaitu penafsiran harafiah.
Kombinasi dari kedua prinsip di atas melahirkan prinsip unik ketiga kelompok Khawarij, yaitu takfiriah. Istilah ini merujuk kepada perilaku sangat mudahnya menjatuhkan vonis kafir dan sesat kepada siapapun yang berada di luar kelompok mereka. Prinsip “amal-ibadah sebagai parameter keimanan” membuat keimanan menjadi sangat elitis. Hanya orang-orang yang telah mengimplementasikan keimanan itu dalam bentuk beramal ibadah secara komprehensif yang layak menyandang predikat Mukmin. Sebaliknya, kekufuran adalah hal yang sangat lumrah. Dalam kelompok ini, memberi stigma “kafir” kepada orang
lain menjadi common behaviour.
Di sisi lain, prinsip penafsiran agama secara formalistik dan tunggal membuat amal ibadah yang menjadi parameter keimanan itu menjadi sangat sempit dan terbatas. Meskipun Anda orang yang sangat taat beribadah, akan tetapi jika amal ibadah Anda terindikasi berbeda dengan apa yang dipahami oleh kelompok Khawarij, Anda tetap saja akan dihukumi kafir.
Apakah Khawarij hanyalah fenomena sejarah yang sudah menjadi fosil? Banyak kalangan yang menengarai sekaligus mengkhawatirkan bahwa kelompok ini tidak mati, melainkan bertransformasi menggunakan nama dan baju yang berbeda. Namun, prinsip-prinsip uniknya tetap sama dengan leluhur-ideologisnya: parameter keimanan yang elitis dan penafsiran formal-tunggal atas teks-teks agama.
Takfiriah bagaikan api yang bisa menjilat siapa saja, bahkan termasuk si pelaku (orang yang mengkafirkan pihak lain) sendiri. Kasus keluarnya fatwa pengkafiran terhadap orang yang memiliki keyakinan heliosentris (bahwa bumi mengelilingi matahari) oleh para ulama Wahabi adalah contohnya. Berdasarkan penafsiran yang formalistik-tunggal terhadap sejumlah ayat Alquran dan Alhadis, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Muqbil dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, dalam kesempatan yang berbeda-beda, menyampaikan fatwa bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi. Siapa saja yang meyakini sebaliknya (bumi yang mengelilingi matahari), jatuhlah hukum kafir kepada orang tersebut.
Dengan penetapan syarat yang luar biasa ketat atas status keimanan tersebut, takfiriah betul-betul mempreteli status keimanan dari siapa saja, termasuk dari diri mereka sendiri. Bisa dibayangkan, ilmuwan atau akademisi dari kalangan Wahabi pun bisa disebut kafir kalau mereka mempertahankan keyakinan imiah bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Inilah agaknya maksud dari hadis yang disampaikan oleh Rasulullah SAW terkait kehati-hatian dalam memberi stigma kafir kepada orang lain. “Laa yarmii rajulun rajulan bil fusuq wa laa yarmiihi bil kufr illa irtaddat ‘alaihi in lam yakun shaahibuhu kadzaalik”. Jika seseorang menjatuhkan vonis fasik atau kafir kepada orang lain, vonis itu akan berbalik kepada si penuduh, manakala ternyata tuduhan itu keliru.
Sangat disayangkan bahwa fenomena takfiriah dengan segala absurditasnya ini semakin marak di tanah air kita. Dalam beberapa dekade terakhir ini, ghirrah kebangkitan Islam yang melanda masyarakat Indonesia berimpitan dengan masuknya prinsip-prinsip teologis Khawarij. Passionate yang bergelora adalah sebuah kemestian bagi kebangkitan Islam. Akan tetapi, jika hal itu dibarengi dengan takfiriah, kebangkitan yang dicita-citakan dipastikan hanya akan menjadi mimpi. Peradaban Islam tak mungkin dibangun dengan watak pengkafiran yang membabi-buta, yang apinya bisa menjilat diri sendiri.
*Oleh: Otong Sulaeman (IRIB Indonesia/PH)