Berita
Apakah Warga Teluk Jakarta Butuh Reklamasi?
Reklamasi Teluk Jakarta menjadi kontroversi. Ada yang mendukung, banyak juga yang menolak keras proyek yang dianggap meminggirkan nelayan dan warga miskin ini. Reklamasi dianggap proyek korporasi yang hanya mengejar untung dengan mengabaikan dampak lingkungan dan menyingkirkan para nelayan miskin.
Berikut wawancara ABI Press dengan Riza Damanik, Sekjen Komite Nelayan Tradisional Indonesia terkait hal ini.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai proyek reklamasi Teluk Jakarta ini?
“Proyek reklamasi ini kan sebenarnya sudah berkali-kali berganti nama. Dulu namanya Water Front City, sebelumnya lagi apa, sekarang 17 pulau ini lain lagi namanya. Saya ingin mengatakan begini. Apapun itu, kaitannya dengan pembangunan Teluk Jakarta itu saya kira harus diawali dengan partisipasi publik yang luas. Ini penting sekali. Partisipasi ini artinya, melibatkan warga.”
“Sekarang agar disetujui, Giant Sea Wall atau reklamasi itu seolah-olah dibongkar pasang. Kalau dianggap reklamasi ini bermasalah, lalu diangkatlah Giant Sea Wall-nya sebagai bagian yang terintegrasi. Kesan yang muncul seperti itu. Kami, tak ingin berspekulasi dengan model pembangunan yang seperti ini. Karena kita tahu, warga jakarta itu tahu, bahwa membangun 17 pulau itu di antaranya, sebagian besarnya adalah untuk kepentingan pembangunan perumahan komersial, yang dengan harga luar biasa fantastis. Kisaran 20-30 juta per meter persegi. Kalau dengan harga yang demikian fantastis, bisa dipastikan itu bukan untuk warga di sekitar Teluk Jakarta.”
“Kami tak ingin berspekulasi. Karena persis sama ceritanya dengan pembangunan 17 pulau ini. Dulu kan dikatakan bahwa pembangunan pulau ini akan diperuntukkan untuk pemukiman masyarakat. Nanti masyarakat akan dipulihkan di sana, akan ada hunian dan sebagainya. Pada kenyataannya kan tidak demikian. Jadi kita tak ingin melampaui itu. Dan kita tak ingin dibohongi berkali-kali dengan proyek-proyek mercusuar seperti itu. Yang sekadar mengganti nama dengan semantik-semantik yang bagus tapi ternyata pada praktiknya tidak baik.”
Apa yang sebenarnya nelayan dan warga sekitar Teluk Jakarta inginkan?
“Kita ingin konsen pada substansi membangun. Kalau Anda benar-benar ingin memulihkan Teluk Jakarta, konsentrasinya sesuaikan dengan kepentingan warga Jakarta. Apa itu? Akses terhadap pantai, lingkungan perairan yang bersih, lokasi penangkapan ikan yang sehat, pemukiman nelayan yang sehat. Itu saja substansi yang kami harapkan.”
“Pada akhirnya, kan kita bertanya apa manfaat dari pembangunan 17 pulau itu? Pertanyaan mendasarnya, siapa yang menginginkannya? Itukah kemauan warga, nelayan-nelayan di Teluk Jakarta itu? 17 ribu kepala keluarga yang di Teluk Jakarta itu? Atau itu kepentingan segelintir orang dengan imajinasi dia untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya?”
“Kita patut bersyukur karena proyek reklamasi Teluk Jakarta ini terbongkarnya di tengah jalan seperti ini. Menurut saya ini bagus sekali. Kita makin tahu bahwa ternyata, justru yang menolak itu semakin banyak. Kalau kita ikuti aturan main yang bener, nyusun Raperda dengan bener, itu partisipasi publiknya masih ada. Kalau kita ikutin nyusun AMDAL-nya dengan bener, pasti kan soal AMDAL itu ditanya juga ke masyarakat.”
“Nah, yang terjadi kalau kita lihat dalam konteks Teluk Jakarta atau bahkan pengambilan pasir di Banten itu, atau reklamasi di Teluk Benoa itu jelas, masyarakatnya menolak. Wong itu tidak diperlukan masyarakat. Yang diperlukan oleh masyarakat adalah, lingkungannya itu bersih, sehat. Lautnya itu tidak tercemari. Kan itu yang paling diperlukan.”
“Menurut hemat saya ya itulah esensi membangun. Bagaimana memperkuat partisipasi masyarakatnya, supaya masyarakatnya, hak-haknya terpenuhi.”
Banyak juga orang yang mendukung reklamasi dan menganggapnya wajar, apa pendapat Anda soal ini?
“Saya bilang begini, ada satu gagasan atau logika yang menurut saya menyimpang. Seolah-olah DKI ini sedang bangkrut. Pemerintah DKI ini sedang bangkrut. Lalu seolah-olah dia sedang membangun konsesi dengan sektor swasta yang kita ketahui sektor swasta ini melakukan praktik-praktik koruptif. Lalu DKI mendapatkan duit. Menurut saya ini keliru. Sangat keliru.”
“Jangan kecilkan kekuatan warga DKI Jakarta itu untuk membangun Jakarta. Jangan kecilkan juga 17 ribu warga Teluk Jakarta untuk membangun Teluk Jakarta. Untuk membangun Teluk Jakarta lebih sehat. Ini adalah kekuatan besar.”
“Kalau kita punya waktu main-main ke satu tempat di Lampung, luasnya 16 ribu hektar, itu petambak-petambak. Puluhan tahun bekerja dengan perusahaan. Yang terjadi adalah miskin dan utangnya bertambah. Nah, dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir, belum banyak loh, memutuskan hubungan dengan perusahaan tambak udang itu di Lampung, membangun tambak udangnya dengan mandiri. Sekarang mereka bisa membangun jembatannya sendiri, jalannya sendiri, sekolah-sekolahnya sendiri, membeli ambulans-ambulansnya sendiri, menyekolahkan anak-anak yang tidak sekolah. Itu dengan uang yang dikumpulkan petambak, Rp. 1000,- per orang per kilogram.”
“Nah, saya membayangkan pemerintah DKI Jakarta tak perlu khawatir. Seolah-olah tutup mata, seolah-olah kita sedang bangkrut, betul-betul bangkrut, tak punya uang untuk membangun Jakarta supaya lebih sehat. Ajaklah masyarakat di Teluk Jakarta itu untuk membangun Jakarta yang lebih baik. Kekuatan itu dari sana. Tidak harus mensimplifikasi, atau bahkan menyandarkan kebutuhan hidup atau kebutuhan membangun DKI Jakarta ini pada perusahaan-perusahaan yang nyatanya koruptif. Merusak lingkungan. Kepentingannya kepentingan menjual properti saja, tidak untuk kepentingan masyarakat Jakarta.”
Jika reklamasi ini dihentikan, Gubernur Ahok mengatakan pemerintah harus membayar denda dan mengalami kerugian sehingga reklamasi harus diteruskan. Apa pendapat Anda?
“Ya itu kan perintah UU. Nothing personal. Itu kan kebijakan publik. Nah kebijakan publik itu dikeluarkan atas pertimbangan hukum yang jelas. Jadi kalau pun ada misalnya pembatalan ataupun mengakhiri sebuah perjanjian kerjasama itu, itu kan konsekuensi dari peraturan perundangan kita yang semakin lengkap. Nyatanya kan emang aturan main kita ditabrak. Nah, aturan yang ditabrak itu mengakibatkan adanya aturan-aturan yang ilegal.”
“Masak kita tutup mata terhadap peraturan yang ada? Kan negara ini negara hukum. Kalau Anda melakukan pelanggaran peraturan ya dihentikan. Izin itu kan hak pemerintah untuk mencabutnya. Jangan malah takut pada korporasi dong logikanya.”
“Alternatifnya ada di masyarakat kita. Tentu alternatif itu harus diawali dengan kepercayaan di masyarakat Teluk Jakarta untuk membangun. Tegakkan hukum lingkungan. Kalau Pak Ahok berani, beliau teriak ke mana-mana seolah-olah paling jago, dalam banyak hal, beliau juga harus bisa menindak perusahaan-perusahaan yang mencemari Teluk Jakarta itu dong!”
“Bahwa faktanya ada pelanggaran hukum yang serius. Dan pelanggaran hukum itu pada akhirnya konsekuensinya adalah pemulihan hak-hak warga. Yang lain adalah evaluasi terhadap izin yang ada. Pemberhentian terhadap reklamasi. Kan itu konsekuensinya.” (Muhammad/Yudhi)