Akidah
Apakah Hakikat Jembatan (Shirath Mustaqim) Itu?
Meskipun pengetahuan detail tentang realitas-realitas yang bertalian dengan kiamat dan dunia pascakematian sebagai dunia yang lebih utama dari dunia ini bagi penduduk dunia tidak mungkin adanya, akan tetapi perkara ini tidak lantas menjadi kendala untuk mengetahuinya secara global.
Yang dapat dipahami dari beberapa ayat dan riwayat adalah, bahwa shirath merupakan jembatan yang melintang antara jalan neraka dan jalan surga yang akan dilintasi oleh orang-orang yang berbuat keburukan. Orang-orang yang berbuat kebaikan dengan cepat akan melintasi jembatan tersebut dan mendapatkan anugerah-anugerah yang tak berkesudahan dari Allah Swt. Sementara orang-orang yang berbuat keburukan akan jatuh dan menjadi penghuni neraka. Bahkan, dari sebuah riwayat dapat dipahami bahwa kecepatan melintas manusia dari jembatan tersebut tergantung kepada timbangan iman, ikhlas, dan amal saleh mereka.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Shadiq as disebutkan, “Sebagian orang melintas di atas jembatan tersebut laksana kilat, sebagian melintas laksana kuda cepat, sebagian merangkak, sebagian bak orang-orang yang berjalan. dan Sebagian bergelantung untuk dapat menlintasi jembatan tersebut, terkadang api jahanam membakar sebagian dan membebaskan sebagian.”[Amali al-Shaduq, majlis ke-33]
Mengapa harus melalui neraka untuk dapat sampai ke surga? Di sini terdapat poin-poin teliti yang perlu diperhatikan. Dari satu sisi, penghuni surga, dengan menyaksikan jahanam, dapat mengetahui nilai dan keutamaan surga. Dari sisi lain, kondisi jembatan pada saat itu merupakan manifestasi (tajassum) kondisi kita di dunia ini. Mereka harus melintasi jahannam yang membakar hingga dapat mencapai surga ketakwaan. Dari sisi ketiga, jembatan ini merupakan ancaman serius bagi semua pendosa dan pemaksiat bahwa pada akhirnya lintasan mereka melalui jalan tipis licin serta berbahaya ini.
Oleh karena itu, dalam hadis Mufaddal bin Umar dari Imam Shadiq as ihwal shirath disebutkan, ”Shirath adalah jalan yang membentang menuju makrifat dan pengetahuan tentang Allah Swt.”
Selepas itu, beliau menambahkan, ”Shirath terbagi menjadi dua: shirath di kehidupan dunia ini dan shirath di kehidupan akhirat. Shirath dunia adalah ketaatan kepada Imam yang wajib hukumnya. Barangsiapa yang mengenalnya dan mengikuti petunjuknya, ia akan dapat melintasi shirath yang membentang di atas jahannam dan barangsiapa yang tidak mengenalnya di dunia ini, langkah kakinya akan bergetar di atas shirath akhirat dan akan terpuruk pada api jahannam. [Ma’ani al-Akhbar, hal. 32, hadis kE-1]
Dalam Tafsir Imam Hasan Askari as, kedua shirath ini ditafsirkan sebagai shirath yang lurus (mustaqim) yang seimbang antara gulluw (kelebihan) dan taqsir (kelebihan) dan taqsir (kekurangan), dan shirath akhirat. [Bihar al-Anwar; jil. 8, hal. 69, hadis ke-18]
Nuktah yang layak untuk diperhatikan adalah bahwa dalam riwayat-riwayat, melintas dari jalan ini penuh resiko dan berbahaya. Dalam hadis yang dinukil dari Rasulullah saw (juga dari Imam Shadiq as) disebutkan, ”Sesungguhnya di atas neraka terdapat sebuah “jisr” (jembatan) yang Iebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari mata pedang”. [Mizan al-Hikmah, jil. 5, hal. 348]
Shirath mustaqim (lurus) dan hakikat wilayah (imamah) dan adalah (keadilan) di dunia ini juga demikian adanya. Ia Iebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari mata pedang, lantaran garis lurus ini tidak lain adalah garis yang tipis. Dan selainnya, apa pun itu, adalah garis-garis yang menyimpang di kiri dan kanan.
Wajar kiranya shirath Kiamat merupakan manifestasi nyata (tajjassum ’aini) dari shirath dunia ini. Akan tetapi, sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, ada sekelompok orang yang melintas dengan cepat di atas jalan yang sangat berbahaya ini, di bawah pelita iman dan amal saleh.
Hal terakhir yang perlu disinggung di sini adalah dimensi tarbiyah pada iman terhadap shirath; lintasan yang mengerikan, menggetarkan, lebih tipis dari rambut, lebih tajam dari pedang. Lintasan itu memiliki beragam terminal. Pada setiap terminal, seseorang akan ditanya; di satu tempat ditanya ihwal salat, di tempat lain ditanya soal amanah dan silaturahmi, di satu tempat tentang keadilan dan seterusnya. Akhirnya, cara melintasi jembatan tersebut sesuai dengan kadar cahaya iman dan amal saleh seseorang. Apabila seseorang tidak dapat melintasi jembatan tersebut dengan selamat, niscaya ia terpuruk ke dalam neraka jahannam, sekali-kali tidak akan mendapatkan sumber nikmat materi dan anugerah maknawi, yaitu kenikmatan surgawi dari sisi Allah Swt.
Atas dasar uraian ini, beriman kepada shirath tentu akan terefleksi pada amal perbuatan dan pendidikan manusia. lmamlah yang akan menuntunnya dalam memilih jalan kehidupan, dan memilah antara hak dan batil dengan teliti, serta berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan.
Pembahasan sebelumnya Filsafat Penantian (Intizhar) di Masa Keghaiban Imam Zaman Afs [Bag 2]
Dikutip dari buku 110 Persoalan Keimanan yang Menyehatkan Akal, Ayatullah Makarim Syirazi