Berita
Ancaman Pengerasan Identitas bagi Kebhinekaan Kita
Apa salah satu modal besar yang menjadi pilar dan kekuatan kebangsaan kita? Tak lain adalah kebhinekaan kita. Namun di tengah globalisasi zaman yang hembusan angin politik globalnya ini tak terbendung, hari ini kita makin ditantang untuk menguatkan kebhinekaan kita yang kian terancam. Ada fenomena pengerasan identitas agama, sekte, bahkan etnis yang mengancam kebhinekaan itu.
ABI Press kali ini menghadirkan wawancara dengan Amin Mudzakir, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai fenomena pengerasan identitas dalam kebhinekaan tersebut.
Indonesia adalah Negara Bhinneka, yang hidup dalam harmoni identitas sejak dulu. Namun sekarang kita lihat mulai muncul fenomena pengerasan identitas, baik identitas agama, sekte, atau etnis. Ada apa sebenarnya?
“Fenomena pengerasan identitas ini sebenarnya tidak khusus terjadi di Indonesia. Ini gejala global. Dalam politik dunia itu ada perubahan dari apa yang disebut politik redistribusi, politik pemerataan, ke politik rekognisi, politik pengakuan (identitas). Secara historis perubahan ini mulai menguat tahun 80-an. Sejak Komunisme kolaps di Soviet dan di negara-negara satelitnya. Kemudian di Barat pada saat yang sama, model negara kesejahteraan di mana peran negara dalam ekonomi semakin berkurang diganti swasta. Di situlah isu identitas muncul sebagai isu politik. Identitas ini bisa identitas keagamaan, etnisitas, bahkan bahasa.”
“Yang terjadi kemudian batas antara aku dan kamu, kami dan mereka itu jadi lebih tegas. Ada proses definisi ‘yang lain’ itu makin tegas. Ada proses eksklusi. Batas antara ‘kaumku’ dan ‘kaum kalian’ makin tegas. Padahal selama era modern itu kan semuanya ingin dileburkan dalam identitas tunggal kemanusiaan. Tapi itu gagal. Dan orang makin meneguhkan identitas sebagai Islam, Jawa atau Indonesia, jadi bukan lagi sebagai seorang manusia. Konsepsi mengenai humanisme itu mengalami krisis dan kemunduran. Kita malah kembali ke identitas-identitas yang sifatnya partikular, agama, etnis, bahasa, bahkan nation (nasionalisme).”
Bagaimana perubahan paradigma politik redistribusi ke politik rekognisi ini sendiri di Indonesia?
“Secara global karena faktor berakhirnya perang dingin dan kalahnya Komunisme. Ini jelas faktor penting. Yang kedua di negara-negara liberal Barat sendiri memang ada krisis kesejahteraan. Sejak itu negara perannya dibatasi untuk isu-isu sosial. Jadi negara itu kemudian ada menjadi penjaga malam dari sosial di masyarakat. Ini kemudian yang disebut sebagai neo-liberalisme. Ini adalah gagasan klasik, bagaimana negara jadi ‘penjaga malam’ dalam politik. Dan itu punya implikasi pada level indonesia.”
“Kita bisa lihat sejak akhir 80-an, model pembangunan yang sifatnya developmentalis itu kan mengalami krisis. Sejak tahun 1990 Soeharto mengeluarkan program deregulasi di mana swasata diperkenankan sebesar-besarnya masuk ke bidang ekonomi, itu tahun 1986-1989 deregulasi besar-besaran. Sejak saat itu negara perannya jadi sangat terbatas dalam bidang ekonomi. Tentu ini merisaukan, legitimasi negara jadi rapuh. Untuk memperkuat legitimasi ini maka mau tidak mau penguasa harus mencari identitas lain untuk mendapatkan legitimasi ini. Yaitu pada Islam.”
“Islam itu adalah satu basis yang sebetulnya juga aneh, karena di tahun pertama Orba, Islam kan direpresi. Tapi 80-an akhir Islam dijadikan basis politiknya Soeharto. Kalau dibagi dari tahun 1960-1984 akhir itu Islam kan tidak diperkenankan masuk ke ruang publik secara bebas. Gak boleh pake jilbab, seperti itu. Tapi itu terjadi ketika model politik redistribusi masih dijadikan model politik Soeharto. Begitu kolaps, dan pada saat yang sama militer juga renggang hubungannya, maka Soeharto berpaling pada Islam.”
“Tahun 1992 dirikan ICMI, tahun 1994 naik haji, dan seterusnya. Sejak saat itu kan wajah politiknya jadi ‘ijo royo-royo‘. Orang-orang HMI yang santri itu masuk semua ke pemerintahan, ke kabinet. Jadi Islam atau identitas keagamaan itu muncul sebagai satu dasar untuk legitimasi politik. Itu gejala umum. Jadi Soeharto itu sebenarnya bukan kasus unik, dia ikut tren global yang menjadikan agama, etnis, mau pun sentimen nasionalisme sabagi legitimasi politik.”
Jadi Soeharto itu bisa bertahan justru karena Islam mayoritas di Indonesia?
“Ya…, Islam itu kan sangat solid. Artinya dia itu ada bangunan ideologi yang solid, tentang metafisika, tentang Tuhan, dan seterusya. Dan jelas ada umat yang itu bisa dijadikan pegangan oleh negara. Itu yang dipegang oleh Soeharto. Karena itu ia berusaha merangkul Islam sabagai basis politiknya.”
“Dan sampai sekarang itu berlanjut. SBY jelas sekali menggunakan basis Islam sabagai basis politiknya. Jokowi juga iya. Seperti yang pernah saya sebutkan, ada tiga elemen penting yang bisa memperkuat negara: tentara, Islam dan perempuan. Jadi kalau tiga basis ini dikuasai, kekuasaan akan aman.”
Oke, itu dari satu sisi, tapi di sisi lain kan kita melihat kelompok-kelompok radikal dan ekstrem yang mengancam kebhinnekaan kita itu juga memanfaatkan politisasi pengerasan identitas dalam aksinya. Bagaimana ini?
“Ya, dulu kan kelompok-kelompok radikal ini direpresi, meski pun kita tahu banyak sekali laporan yang menyatakan bahwa ini kerjaannya intelijen. Seperti kasus NII yang itu juga kontroversial. Tapi kita bukan Prancis yang secara keras sekuler. Kita ini negara multikultural dalam pengertian bahwa kita ini mengakomodasi bentuk-bentuk ekspresi keagamaan atau kebudayaan yang bermacam-macam.”
“Ini kan soal demokrasi. Demokrasi yang diresmikan sejak 98 itu kan membuka peluang buat pengerasan identitas. Demokrasi itu kan ruang kosong. Orang boleh mengisinya dengan identitas apa pun, termasuk keagamaan. Jadi Islamisasi dan bahkan radikalisasi itu juga berkembang justru melalui demokratisasi. Dan ini tak terelakkan.”
“Demokrasi itu kan secara normatif memberi ruang bagi siapa pun di situ. Bagi setiap warganegara untuk mengekspresikan identitasnya sejauh itu secara legal itu justified. Bahkan misalnya saya bilang bahwa secara konstitusional kita boleh mengaspirasikan negara religius. Ini sekaligus ancaman memang. Tapi memang itu yang sering kita sebut sebagai sisi gelap demokrasi.”
Dalam banyak kasus kan terjadi penindasan pada kelompok minoritas karena hal ini. Bagaimana ini?
“Menurut saya itu lebih pada regulasinya. Bagaimana regulating religion culture society ini yang sekarang agak kepayahan dan amburadul. Hampir sejak berakhirnya konflik Ambon kita tak punya masalah antar agama. Ini soalnya di dalam agama. Ini kan kayak Sunni-Syiah-Ahmadiyah dalam Islam. Itu kan jadi soal sentral sekarang. Ini kemudian kembali terus-menerus muncul karena memang regulasinya tidak konsisten. Kenapa? Karena memang ada jarak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada sinkronisasi antara pemerintahan pusat dengan visinya yang menurut saya sudah sangat bagus, dengan pemerintah daerah yang terpecah-pecah.”
“Celakanya identitas ini memang menjadi tidak karu-karuan karena memang dibiarkan oleh pemerintah lokal sebagai basis politik mereka. Dan itu secara legal memang sah. Meski pun secara politik bermasalah. Mereka telah mengajukannya ke DPRD melalui sistem yang resmi dan disepakati oleh pemerintah setempat. Misalkan perda-perda syariah itu. Secara legal kan sah gak ada masalah, tapi secara moral, secara politik bermasalah. Jadi kita memang harus mengkoreksi demokrasi kita. Masalahnya demokrasi kita kan demokrasi mayoritas. Siapa yg menang di parlemen dan dalam pilkada.”
Bagaimana dengan fenomena pengerasan identitas yang ekstrem, yang bahkan sampai dalam bentuk yang paling esktrem pada kelompok teroris seperti ISIS?
“ISIS ini kan sebenarnya sisi paling ekstrem dari pengerasan identitas yang kita bicarakan, ya. Mereka bersenjata, makanya ini jadi lebih ke isu keamanan ketimbang isu identitas. Karena itu sudah menyangkut soal kedaulatan, soal hukum formal. Jadi saya kira cukup clear memang ISIS itu memang bermasalah. NU dan Muhammadiyah sebagai mayoritas Muslim Indonesia kan clear menolak.”
“Tapi ini memang sisi paling ekstrem dari pengerasan identitas. Dan ini menurut saya sudah tinggal bagaimana instrumen negara bekerja untuk mencegah atau menghancurkan gerakan itu. Meskipun harus dipahami ini kan sebenarnya punya akar-akar sosial yang tadi kita bicarakan. Itu masalahnya. Nah sekarang adalah bagaimana pemerintah itu kemudian mampu mengakomodasi kelompok-kelompok radikal dalam politik yang ada ini.”
“PKS itu kan contoh bagus ya, PKS itu kalau mereka nggak punya partai pasti mereka jadi gak karu-karuan. Tapi karena mereka punya partai dan terlibat secara demokratis, kemudian jadi lunak. Jadi tak ada bedanya kan PKS ama PDI-P ketika sudah masuk parlemen? Jadi strategi akomodasinya ya bagaimana mengakomodasi mereka secara formal dalam sistem. Kelompok-kelompok yang masih dimungkinkan bernegosiasi dengan sistem yang kita punya. Baik sistem politik mau pun sistem sosial kultural yang lebih luas.”
Masyarakat sendiri bagaimana mesti bersikap menghadapi fenomena ini? Karena ini kan mengancam kebhinnekaan kita?
“Saya kira Indonesia itu itu negara paling Bhinneka di dunia ya. Makanya saya tidak terlalu khawatir soal ini. Kalau contoh di Eropa kan sangat homogen. Sampai tahun 60-an itu orang Eropa tidak mengenal tetangga orang non kulit putih. Baru setelah 60-an mengenal orang berwarna. Kita kan tidak. Kita secara natural, secara politik, memang sejak awal tak bersifat rasialistik. Beda dengan negara-negara Barat yang sangat berbasiskan pada ras. Makanya kecuali ada intervensi elit, saya nggak terlalu khawatir dengan pluralisme dan kebhinnekaan kita. Karena secara historis kita adalah negara dengan segala kompleksitas yang ada itu jauh mampu kita hadapi secara damai.”
Bagaimana dengan provokasi-provokasi sektarian dan etnisitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat?
“Itu tak terhindarkan, ya. Karena bagaimana pun itu modal politik. Tapi dari sisi masyarakatnya sendiri saya kira kita sebut modal sosial, akar-akar damai itu sangat kuat dalam masyarakat kita. Ini masalahnya kenapa provokasi itu berhasil, itu kan masalahnya adalah lemahnya negara. Negara ini kan terutama sejak Orba itu lemah sedemikian rupa. Jadi perintah Jokowi itu tak secara otomatis dituruti. Bahkan oleh menterinya sendiri kadang dilawan. Di parlemen juga bisa dimentahkan. Ya tadi itu saya bilang, sinkronisasi pemerintah pusat ke daerah yang bermasalah.”
Sebagai penutup, apa inti dari fenomena pengerasan identitas yang harus kita perhatikan dan sikapi dengan benar?
“Intinya pertama. Bahwa kita memang hidup di zaman di mana kita sedang merayakan identitas, yang mungkin sebelumnya itu direpresi atau diabaikan. Kedua, kita tak bisa menerapkan strategi yang sentralistik untuk menghadapi hal ini. Yang ketiga kita harus mengakomodasi soal ini. Cuma masalahnya kita harus punya tolok ukurnya. Mana identitas yang bisa kita akomodasi dalam sistem politik ini, mana yang tidak.”
“Identitas itu ada dan boleh berkembang, bebas, tapi dia mesti dalam kerangka saling menghargai dengan yang lain. Jadi memang perlu ada spektrum identitas yang sifatnya tak bisa ditoleransi, ada yang memang bahkan harus diakomodasi, seperti FPI yang sebenarnya orang-orang yang secara ekonomi itu memang teripnggirkan dan mereka ingin eksis secara sosial. Tapi kalau ISIS dan segala derivatnya itu ya jelas lah sikat aja itu.” (Muhammad/Yudhi)