Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Analisis Hadis “Kitabullah wa Sunnatiy” (bagian 2)

Hadis “Kitab Allah dan Sunahku” tidak terdapat dalam Kutub Al-Sittah (ShahîhAl-Bukhari, ShahîhMuslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan Al-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Al-Tirmidzi). Sumber hadis ini adalah Al-Muwattha’ karya Imam Malik, Al-Mustadrak ‘alâ Al-Shahîhain karya Al-Hakim, Al-Tamhîd Syarh Al-Muwattha’ Ibnu Abdil Barr, Sunan Al-Kubrâ karya Al-Baihaqi, Sunan Daruquthni, dan Jâmi’ Al-Saghîr karya Al-Suyuthi.

Selain itu hadis ini juga ditemukan dalam kitab-kitab karya ulama seperti, Al-Faqîh wa Al-Mutafaqqih karya Al-Khatib, Al-Shawâiq Al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Al-Haitami, Sirah Ibnu Hisyam, Al-Ilm ‘ilâ Ma’rifah Ushûl Al-Riwâyah wa Taqyîd Al-Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al-Ihkâm karya Ibnu Hazm dan Târîkh Al-Thabari. Dari semua sumber itu ternyata hadis ini diriwayatkan dengan 4 jalur sanad yaitu dari Ibnu Abbas ra, Abu Hurairah ra, ‘Amr bin ‘Auf ra, dan Abu Sa’id Al-Khudri ra. Terdapat juga beberapa hadis yang diriwayatkan secara mursal (terputus sanadnya), mengenai hadis mursal ini sudah jelas kedaifannya.

Baca juga Definisi Sunnah Dan Ahlusunah (bagian 1)

Hadis ini terbagi menjadi dua, yaitu

A. Hadis “Kitabullah wa Sunnatiy” dengan Sanad Mursal

Hadis “Kitabullah wa Sunnatiy” yang diriwayatkan secara mursal ini terdapat dalam kitab Al-Muwattha’, Sîrah Ibnu Hisyam, Sunan Al-Kubrâ karya Al-Baihaqi, Al-Shawâiq Al-Muhriqah, dan Târîkh Al-Thabari. Berikut adalah contoh hadisnya: Telah menyampaikan kepadaku dari Malik, bahwasannya Rasulullah Saw bersabda, “Aku telah meninggalkan kepada kalian dua urusan. Kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; yaitu Kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya.” (1)

Dalam Al-Muwattha, hadis ini diriwayatkan Imam Malik tanpa sanad. Malik bin Anas adalah generasi tabi’ al-tabi’in yang lahir antara tahun 91-97 H. Setidaknya ada dua perawi yang tidak disebutkan antara Malik bin Anas sebagai perawi dan Rasulullah Saw. Berdasarkan hal ini maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini tertolak karena terputus sanadnya.

Hadis dengan sanad Urwah bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda pada Haji Wada’, “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan sesuatu bagimu yang apabila berpegang teguh kepadanya, maka kamu tidak akan sesat selamanya, yaitu dua perkara, Kitab Allah dan Sunnah Nabimu. Wahai umat manusia dengarkanlah yang aku sampaikan kepadamu, maka hiduplah kamu dengan berpegang kepadanya.”

Hadis ini merupakan salah satu riwayat yang terdapat dalam Al-Sunan Al-Kubrâ karya Al-Baihaqi. Hadis ini juga yang terputus rangkaian sanadnya. Selain di dalam Sunan Al-Baihaqi, hadis Urwah ini juga terdapat dalam Miftâh Al-Jannah, hal. 29 karya Al-Suyuthi. Urwah bin Zubair adalah dari generasi tabi’in yang lahir tahun 22 H. Jadi, Urwah belum lahir saat Nabi Saw melakukan Haji Wada’. Oleh karena itu, hadis tersebut terputus sanadnya. Ada satu orang perawi atau lebih yang tidak disebutkan, bisa dari golongan sahabat dan bisa juga dari golongan tabi’in. Sebagaimana hadis sebelumnya, hadis ini juga tertolak karena terputus sanadnya.

Riwayat Al-Baihaqi dengan sanad dari Ibnu Wahb yang berkata, “Aku telah mendengar Malik bin Anas mengatakan untuk berpegang teguh kepada sabda Rasulullah Saw pada waktu Haji Wada’ yang berbunyi ‘Dua hal aku tinggalkan bagimu yang kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunah Nabinya.’” Hadis ini tidak berbeda dengan hadis yang terdapat dalam Al-Muwattha’. Alasan tertolaknya hadis ini juga karena Malik bin Anas tidak bertemu Rasulullah Saw. Jadi, hadis ini juga daif.

Dalam Sîrah Ibnu Hisyam jilid 4 hal. 185, hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Ishaq yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda pada Haji Wada’…… Di sini Ibnu Ishaq tidak menyebutkan sanad yang bersambung kepada Rasulullah Saw. Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Dalam Târîkh Al-Thabari hadis ini juga diriwayatkan secara mursal melalui Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abi Najih. Jadi, kedua hadis ini daif. Mungkin ada yang beranggapan karena Sîrah Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq sudah menjadi kitab Sirah yang menjadi rujukan jumhur ulama, maka adanya hadis itu dalam Sîrah Ibnu Hisyam sudah cukup menjadi bukti kebenarannya. Benar bahwa Sîrah Ibnu Hisyam menjadi rujukan jumhur ulama, tetapi dalam kitab ini, hadis tersebut terputus sanadnya. Jadi, tentu saja dalam hal ini hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah. (2)

Pernyataan ballaghahu “disampaikan kepadanya” atau ballaghani “disampaikan kepadaku” dianggap sahih dalam hadis riwayat Al-Muwattha’ karena hal itu telah menjadi ciri khas di zaman awal Islam (sebelum 200 H). Kata ini menandakan bahwa seseorang itu telah menerima sebuah hadis dari sejumlah tabi’in, dari sejumlah sahabat dari jalan-jalan yang banyak sehingga tidak perlu disertakan sanadnya.

Bisa dikatakan bahwa kaidah periwayatan hadis dengan pernyataan ballaghahu “disampaikan kepadanya” ballaghani “disampaikan kepadaku” memang terdapat di zaman Imam Malik. Hal ini juga dapat dilihat dalam Kutub Al-Sunnah Dirâsah Watsîqiyyah oleh Rif’at Fauzi Abdul Muthallib hal. 20, terdapat kata kata Hasan Al-Bashri, “Jika empat sahabat berkumpul untuk periwayatan sebuah hadis maka saya tidak menyebut lagi nama sahabat.” Ia juga pernah berkata, ”Jika aku berkata haddatsana maka hadis itu saya terima dari fulan (seseorang). Tetapi bila aku berkata qala Rasulullah Saw, maka hadis itu saya dengar dari tujuh puluh orang sahabat atau lebih.”

Namun demikian, adalah tidak benar mendakwa suatu hadis sebagai sahih hanya dengan pernyataan ballaghahu. Hal ini jelas bertentangan dengan kaidah jumhur ulama tentang persyaratan hadis sahih seperti yang tercantum dalam Muqaddimah Ibnu Shalah fî Ulum Al-Hadîts, yaitu: “Hadis sahih adalah hadis yang muttashil (bersambung sanadnya), yang disampaikan oleh setiap perawi yang adil dan dhabit (kuat hafalan) sampai akhir sanadnya. Hadis itu juga harus bebas dari syadz (keanehan) dan illat (cacat).”

Dengan kaidah inilah Al-Saqqaf telah menepikan hadis dalam Al-Muwattha’ tersebut karena memang hadis tersebut tidak ada sanadnya. Yang aneh justru pernyataan Hafiz yang menyalahkan Al-Saqqaf, “Padahal yang benar Al-Saqqaf tidak mengenali kaidah-kaidah periwayatan hadis yang khas di sisi Malik bin Anas dan tokoh-tokoh hadis di zamannya.”

Pernyataan Hafiz di atas menunjukan bahwa Malik bin Anas dan tokoh hadis zamannya (sekitar 93-179 H) jika meriwayatkan hadis dengan pernyataan telah disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah Saw atau Qala Rasulullah Saw tanpa menyebutkan sanadnya maka hadis tersebut adalah sahih. Pernyataan ini jelas aneh dan bertentangan dengan kaidah jumhur ulama hadis.

Sekali lagi hadis itu mursal atau terputus dan hadis mursal tidak bisa dijadikan hujjah karena kemungkinan daifnya. Karena bisa jadi perawi yang terputus itu adalah seorang tabi’in yang bisa jadi daif atau tsiqat. Jika tabi’in itu tsiqat (terpercaya) pun, dia kemungkinan mendengar dari tabi’in lain yang bisa jadi daif atau tsiqat dan seterusnya. Kemungkinan seperti itu tidak akan bertepi. Sungguh sangat tidak mungkin mendakwa hadis mursal sebagai sahih hanya karena terdapat dalam Al-Muwattha’ Imam Malik.

Hal yang kami jelaskan itu juga terdapat dalam ‘Ilm Mushthalah Al-Hadis oleh A. Qadir Hassan hal. 109 dengan mengutip pernyataan Ibnu Hajar yang menunjukkan tidak boleh menjadikan hadis mursal sebagai hujjah. Ibnu Hajar berkata, ”Boleh jadi yang gugur itu sahabat, tetapi boleh jadi juga seorang tabi’in. Kalau kita berpegang bahwa yang gugur itu seorang tabi’in, boleh jadi tabi’in tersebut seorang yang lemah atau terpercaya. Kalau kita andaikan dia seorang yang terpercaya, maka boleh jadi pula ia menerima riwayat itu dari seorang sahabat, tetapi boleh juga dari seorang tabi’in lain.”

Walaupun yang meriwayatkan hadis mursal itu adalah tabi’in, tetap saja Ibnu Hajar menyatakannya daif, apatah lagi Malik bin Anas yang seorang tabi’ al-tabiin yang akan jauh lebih banyak kemungkinan daifnya. Pernyataan yang benar tentang hadis mursal yang terdapat dalam Al-Muwattha’ adalah hadis tersebut sahih jika terdapat hadis lain yang bersambung dan sahih sanadnya di dalam kitab-kitab lain sehingga menguatkan hadis mursal tersebut. Jadi, adalah suatu kekeliruan menjadikan derajat hadis mursal menjadi sahih hanya karena terdapat dalam Al-Muwattha’.

bersambung ke bagian 3

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

 

Catatan kaki

  1. Imam Malik bin Anas, Al-Muwattha’, juz 2, h. 899, hadis 3, kitab Al-Qadr, Dar Ihya’ Al-Turats Al-’Arabi, Beirut, Lebanon, 1985 M (1406 H).
  2. Tarikh Al-Thabari, j. 2, h. 205.
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *