Berita
Amnesty International – Indonesia: Setahun telah berlalu, komunitas Syiah yang terusir tetap ada dalam situasi tak menentu
26 Agustus 2013
Index: ASA 21/029/2013
Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah segera untuk memastikan kepulangan yang aman, secara suka rela, dan bermartabat komunitas Syiah Sampang, pulau Madura, kembali ke rumah mereka. Terus berlangsungnya pengusiran komunitas Syiah – setahun setelah serangan mematikan terhadap mereka- mengundang pertanyaan akan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan situasi mereka, dan menyoroti pola yang lebih luas dari kegagalan pemerintah untuk menjawab masalah intoleransi beragama dan pelanggaran HAM terhadap kelompok-kelompok minoritas di negeri ini.
Komunitas Syiah dari Sampang, pulau Madura diusir secara paksa dan tergusur pada 26 Agustus 2012 setelah sekelompok massa anti-Syiah menyerang kampung mereka. Sejak saat itu, mereka tinggal di dua tempat penampungan sementara yang berbeda, di mana mereka tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, tempat tinggal yang layak, air bersih, dan sanitasi. Banyak dari anak-anak harus berhenti sekolah dan masih mengalami trauma oleh serangan tersebut. Pengusiran paksa dan terus berlangsungnya penggusuran telah memiliki dampak yang negatif terhadap penghidupan mereka.
Pada Juli dan Agustus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan para anggota komunitas Syiah dan berjanji akan mengembalikan mereka ke kampungnya dan membangun kembali rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang telah dihancurkan. Sebuah tim rekonsiliasi dibentuk setelah pertemuan tersebut pada bulan Juli. Namun demikian, komunitas Syiah ini masih menunggu hasil-hasil yang nyata dan masih dalam kondisi tak menentu, tanpa kepastian atas masa depan mereka. Pihak berwenang masih terus gagal menyediakan komunitas yang terkena dampak akan informasi yang lengkap dan untuk terlibat dalam konsultasi yang bermakna dengan mereka akan pilihan-pilihan yang layak bagi kepulangan kembali mereka. Sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban di bawah pasal 11 dari Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya untuk melindungi dan memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi para penduduknya, termasuk mencegah penggusuran paksa oleh pihak ketiga dan menyediakan para korban pemulihan hak yang efektif.
Amnesty International menyerukan kepada pihak berwenang untuk memastikan kepulangan yang aman, secara suka rela, dan bermartabat dari komunitas Syiah yang terusir tersebut ke rumah mereka, bersama dengan upaya pemulihan hak yang efektif atas pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap mereka, termasuk memberikan kompensasi atas kerugian yang diderita, kerusakan, dan penghancuran rumah-rumah mereka, memberikan rehabilitasi, restitusi, dan menjamin ketidakberulangan. Amnesty International juga mendesak kepolisian Sampang untuk menyelidiki secara menyeluruh atas dugaan kejahatan yang dilakukan terhadap mereka dan harta bendanya yang terjadi pada 26 Agustus 2012 dan membawa ke muka hukum mereka yang bertanggung jawab. Lima orang telah dihukum antara delapan bulan dan empat tahun pemenjaraan atas tindakan menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang (pasal 170), penganiayaan (pasal 351), dan merampas nyawa orang lain (pasal 338). Orang keenam yang dipercaya berada di belakang layar penyerangan tersebut dibebaskan oleh pengadilan.
Amnesty International juga prihatin akan tuduhan bahwa beberapa anggota komunitas Syiah yang masih tinggal di kampungnya telah dipaksa oleh pihak berwenang dan kepolisian Sampang untuk “bertobat” dan pindah keyakinan ke Islam Suni sebagai syarat bisa tetap tinggal di kampung mereka. Pihak berwenang dan kepolisian mengancam jika mereka tidak berpindah keyakinan, rumah-rumah mereka akan dibakar dan keamanan mereka tidak dijamin.
Kasus ini menandai persoalan yang lebih luas atas intoleransi beragama dan pelanggaran HAM terhadap kelompok-kelompok minoritas agama di Indonesia. Pada kasus yang serupa, sebuah komunitas Ahmadiyah di Lombok telah menghabiskan lebih dari tujuh tahun tinggal di penampungan sementara setelah mereka terusir oleh serangan kekerasan pada Februari 2006. Amnesty International terus menerima laporan-laporan akan gangguan, intimidasi, dan serangan terhadap kelompok-kelompok minoritas agama di Indonesia. Mereka yang melakukan tindak kekerasan terhadap minoritas-minoritas agama jarang sekali dihukum.
Hak atas kebebasan beragama dijamin di dalam Konstitusi Indonesia. Pasal 18 dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, di mana Indonesia menjadi negara pihaknya, menyatakan bahwa “hak ini mencakup kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri” dan bahwa “tidak ada yang harus dikenakan paksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri “.
Pihak berwenang Indonesia harus memastikan bahwa semua minoritas agama harus dilindungi dan diperbolehkan untuk menjalankan kepercayaan mereka bebas dari rasa takut, intimidasi, dan serangan. Mereka harus menginvestigasi semua laporan pejabat pemerintah yang terlibat secara langsung dalam memaksa komunitas Syiah dan minoritas-minoritas agama lainnya untuk meninggalkan kepercayaannya.
Pada saat pidato kenegaraan dalam memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus, Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia telah lama mengakui perbedaan agama, sosial, budaya, dan perbedaan lainnya, dan menyerukan kepada semua warga Indonesia untuk menjaga toleransi beragama. Presiden Yudhoyono juga menegaskan adalah sesuatu “yang tidak bisa diterima bahwa seseorang atau sekelompok orang memaksakan keyakinan mereka kepada yang lainnya, apa lagi menggunakan ancaman, intimidasi, dan tindak kekerasan”. Menyelesaikan situasi komunitas Syiah di Sampang akan menjadi langkah positif menuju arah tersebut.
Josef Roy Benedict
Campaigner – Indonesia & Timor-Leste
Amnesty International Secretariat
1 Easton Street
London WC1X 0DW, UK
Email: [email protected]