Berita
Ali Akbar bin Husain, Syahid Pertama dari Bani Hasyim
Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib atau lebih dikenal dengan nama Ali al-Akbar adalah putra Imam Husain a.s yang lahir pada tahun 33 H/653M di kota Madinah. Disebutkan bahwa tampilan fisik dan perawakannya sangat mirip dengan Nabi Muhammad saw. Ali Akbar dalam Peristiwa Asyura dikenal sangat pemberani dan memiliki jiwa rela berkorban sampai akhirnya menemukan kesyahidannya ditangan laskar Yazid bin Muawiyah. Berdasarkan riwayat, ia adalah yang pertama syahid dari kalangan Bani Hasyim di hari Asyura. Ia dimakamkan di sisi makam ayahnya di Karbala.
Imam Husain as sangat mengenal dan memahami metode pendidikan dan pengasuhan anak yang terbaik, dan itulah yang dilakukannya dalam proses pendidikan anak-anaknya, terutama dalam hal pendidikan ruhiyah. Imam Husain a.s memberi nasehat kepada sahabatnya Abdur Rahman agar mengajarkan anaknya mengenai surah Al-Fatihah dan menyebutnya sebagai hadiah terbaik seorang ayah kepada anaknya. Ia berkata, “Hadiah ini adalah persembahan terbaik seorang guru dan tidak ada yang melebihinya. Jika dibandingkan dengan pengajaran Al-Qur’an, maka hadiah yang lain tidak ada artinya.” [1]
Ali al-Akbar wajahnya ibarat bulan purnama yang bercahaya. Ia tampan, bersih dan rapi. Kulitnya bersih agak kemerah-merahan, bola matanya hitam, alisnya tebal, tubuhnya seimbang, dada dan bahunya tegap. Kalau berjalan cekatan, ibarat seperti menuruni sebuah lembah. Jika ia dipanggil oleh seseorang, maka ia membalikkan seluruh tubuhnya menghadap kepada yang memanggilnya. Dari tubuhnya tercium bau wangi kesturi. [2] Dengan perawakannya yang indah tersebut, Imam Husain as menyebutnya sebagai orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw dari kalangan Bani Hasyim, termasuk sifat, akhlak, adab, ucapan dan kebiasaannya. [3]
Sifat, Karakter dan Keutamaannya
Ali al-Akbar dikenal banyak meriwayatkan hadis dari jalur kakeknya Imam Ali as, sehingga ia pun dijuluki sebagai muhaddis. [4]
Muawiyah pernah memberi pengakuan bahwa Ali Akbar layak untuk menjadi seorang khalifah. Ia berkata, “Yang paling layak untuk menjadi pemimpin pemerintahan adalah Ali Akbar, putera dari al-Husain bin Ali dan kakeknya adalah Rasulullah saw. Terhimpun di didalamnya keberanian Bani Hasyim, kedermawanan Bani Umayyah dan ketampanan Qabilah Tsaqifa.” [5]
Dengan kesyahidan yang dicapainya, Ali Akbar telah menjadi cerminan Nabi Muhammad saw baik secara lahir maupun batin. [6]
Pada hari Asyura, sewaktu Ali Akbar memasuki medan pertempuran, seorang laki-laki meneriakinya, “Wahai Ali, kamu disukai oleh Amirul Mukminin Yazid dan ia menghendaki keberadaanmu untuk bersamanya. Jika kamu pun menghendaki, kami memberi jaminan keamanan untukmu.” Ali Akbar menjawab pernyataan itu dengan berkata, “Mencari keridhaan Rasulullah saw lebih aku kehendaki dan itu telah sedemikian dekat untuk aku capai.” [7]
Ali Akbar adalah orang yang pertama syahid dari Bani Hasyim pada hari Asyura [8]dan dari bacaan ziarah Syuhada terdapat salam khususnya untuknya, yang berbunyi, “Salam atasmu yang pertama terbunuh dari sebaik-baiknya keturunan.” [9]
Dalam rumah Bani Maqatil, Imam Husain a.s tertidur sesaat dan ketika terbangun, ia lantas berujar, “Innalillahi wa inna ilahi raji’un wa Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.” dan ia mengucapkan itu berulang-ulang. Hal tersebut mengherankan Ali Akbar, ia pun bertanya penyebabnya kepada ayahnya. Imam Husain as menjawab, “Anakku, sewaktu saya tertidur seketika saya bermimpi dan mendengarkan langkah kuda. Saya mendengarkan suara berkata, kaum ini sedang berlari, dan kematian mengejarnya. Dari ucapan tersebut, saya menyadari, bahwa kematian saya tidak akan lama lagi.” Ali Akbar berkata, “Ayahku, Allah swt tidak menghendaki keburukan bagimu, apakah kita tidak sedang berada diatas kebenaran?”.
Imam Husain as berkata, “Dengan hak-Nya, semua hamba-hambanya-Nya akan kembali ke sisi-Nya.” Ali Akbar berkata, “Wahai ayah, jika kita tegar berada diatas jalan kebenaran, maka saya tidak memiliki ketakutan pada kematian.” Mendengar ketegasan puteranya, Imam Husain as mendoakannya dengan berkata, “Semoga Allah Swt mengaruniakan atasmu sebaik-baiknya pahala, yang lebih baik dari pemberian seorang ayah kepada anaknya sendiri.” [10]
Syiar Ali Akbar di Hari Asyura
Setelah Ali Akbar menolak perjanjian damai dengan pasukan Ibnu Sa’ad, ia pun memulai peperangan dengan mereka dengan berkata.
“Aku adalah Ali putera al-Husain, putera Ali, demi Ka’bah, aku bersumpah, kami lebih layak mengatasnamakan Rasulullah saw, aku bersumpah atas nama Allah bahwa keturunan pezina tidak akan menjadi pemimpin atas kami, aku akan membunuhmu dengan pedang, dan aku akan mendukung ayahku dengan pedang yang berasal dari generasi Hasyim dan Quraisy.” [11]
Imam Husain a.s berkata mengenai Ali Akbar [12] “Wahai Ibnu Sa’ad, Allah swt akan memutus generasimu, sebagaimana kalian telah memutus generasi kami. Kalian telah memutuskan hubungan kekerabatan dengan Nabi saw dan tidak memberikan perhatian kepada kami. Allah akan membuat seseorang akan berkuasa atas kalian, sampai kepala kalian terpisah dari tubuh kalian di tempat-tempat tidur kalian.” [13]
Kemudian berkata lagi [14], “Ya Allah, Engkau menjadi saksi atas apa yang telah dilakukan oleh kaum ini, dan seseorang dari kami telah menghadapi mereka yang dari sisi perawakan lahir, akhlak, ucapan sangat mirip dengan Rasul-Mu.” [15] Ucapan lainnya, “Ya Allah, jika kami begitu merindukan Rasulullah, maka kami memandangi wajahnya.” [16]
Imam Husain as juga berkata, “Ya Allah, halangilah keberkahan bumi untuk mereka dan timbulkan perpecahan dikalangan mereka dan pisahkanlah satu sama lain. Mereka telah memusuhi dan memerangi kami, sementara mereka sendiri yang mengundang kami. Sesaatpun jangan jadikan para penguasa ridha atas mereka, dan pecahkanlah mereka menjadi banyak golongan.” Setelah itu, Imam Husain as membaca dua ayat dari surah Ali Imran. [17]
Ali Akbar dalam serangan pertama kepada pihak musuh melakukannya secara bergantian dari sisi kanan, kiri bahkan maju ketengah-tengah pasukan Kufah. Tidak ada dari pihak musuh yang mampu melumpuhkan dan menahan serangannya. Disebutkan dari serangannya tersebut, Ali Akbar berhasil menjatuhkan 120 penunggang kuda, dan tewas di tangannya. Kehausan yang teramat sangat menyebabkan kemudian tenaganya terkuras habis dan membuatnya tidak lagi berdaya sehingga berhasil dilumpuhkan musuh.
Untuk mengembalikan tenaganya, ia kembali ke sisi ayahnya dan menyampaikan akan derita kehausan yang menimpanya. Mengetahui kondisi puteranya, Imam Husain as sendiri tidak bisa berkata apa-apa, sebab ia sendiri juga menderita kehausan. Ia berkata, “Marilah dekatkan lidahmu.” Ketika puteranya menjulurkan lidahnya, Imam Husain as menyentuhkan lidahnya sendiri ke lidah puteranya.
Mungkin tindakan Imam Husain as itu dimaksudkan untuk menunjukkan kepada Ali Akbar, bahwa lidahnya sendiri justru jauh lebih kering, dari lidah puteranya itu. Setelah itu ia serahkan cincinnya kepada Ali dan berkata, “Masukkanlah cincin ini ke mulutmu, dan saya yakin engkau tidak akan lama lagi berjumpa dengan kakekmu, dan ia yang akan menghilangkan rasa dahagamu sehingga engkau tidak akan lagi pernah merasakan kehausan.” [18]
Fragmen ini juga dituliskan oleh Sayid bin Thawus dengan teks yang sedikit berbeda. [19]
Ali bin al-Husain setelah mengadukan keadaannya kepada ayahnya, ia kembali ke medan pertempuran. Sekitar 200 orang dari pasukan Kufah berhasil ia robohkan. [20]Dengan keberanian dan kelihaian Ali Akbar dalam berperang, membuat pasukan Kufah tidak berani mendekat. [21]
Karena diserang rasa dahaga yang tidak lagi mampu ditahannya, kemampuan Ali Akbar melemah. Kondisi tersebut menjadi perhatian Murrah bin Munqadz. Ia berkata, “Dosa kaum Arab ada di pundak saya, jika ayahnya tidak berhasil saya buat bersedih.” [22]
Seketika itu juga ia mendekati Ali Akbar, dan menebaskan pedangnya ke leher Ali. Ali lengah dan tidak mampu menahan pedang tersebut. Sehingga tebasan pedang itu melukainya, dan memancing pasukan Kufah lainnya untuk ikut mengepung dan menyerangnya. [23]
Setiap dari penyerang melukai Ali Akbar di beberapa bagian tubuhnya. Ali Akbar dalam kondisi tidak berdaya berkata, “Wahai ayahku, salam atasmu. Kakekku Rasulullah telah tiba, ia membawakanku air yang akan menghilangkan dahagaku.” Ia juga berujar yang ditujukan kepada para musuhnya, “Segeralah kalian kemari dan pertemukan aku dengan kakekku segera.” [24]
Imam Husain as mendekati jasad puteranya yang penuh luka dan gugur dengan cara yang mengenaskan. [25]Melihat kondisi puteranya yang tragis, Imam Husain as melaknat para pembunuhnya, “Allah akan membunuh kaum yang telah membunuhmu.” [26] Setelah itu ia berkata, “Wahai anakku, mereka telah bertindak kurang ajar dan tidak tahu malu di hadapan Allah swt dan telah melecehkan kehormatan Rasulullah saw. Sepeninggalmu wahai anakku, celakalah atas dunia ini.” [27]
Kemudian, Imam Husain as menyeka tubuh Ali Akbar yang bersimbah darah, dan dengan menggenangnya darah digenggaman tangannya, Imam Husain as pun melemparkan darah itu ke arah langit, dan tak satu tetes darahnya jatuh membasahi bumi. [28]
Sebuah doa ziarah dengan sanad yang shahih, telah diajarkan Imam Shadiq as kepada Abu Hamzah Tsumali, yang berbunyi,”Demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusan untukmu, wahai engkau yang mendahului ayahmu, sementara ayahmu mengandalkanmu dan berduka atasmu. Hatinya terbakar disebabkan musibah yang menimpahmu, darahmu dilemparkannya ke langit hingga tidak ada tetes darahpun yang kembali. Ayahmu tidak pernah tenang atas musibah yang menimpamu.” [29]
Untuk memindahkan jasad Ali Akbar, Imam Husain as memanggil sejumlah pemuda Ahlulbait as dan berkata, “Bawalah jasad saudaramu.” Kemudian mereka membawa jasad Ali Akbar dan diletakkannya di hadapan tenda. [30] Zainab al-Kubra sa beserta sejumlah perempuan Ahlulbait menyambut jasad kakaknya, dan berteriak, “Wahai saudarku… wahai saudaraku.” [31] Iapun bersimpuh memeluk jasad saudaranya. Imam Husain as mendekati Zainab, menenangkan hatinya dan membawanya kembali memasuki tenda. [32] (wikishia)
Catatan kaki
- Lu’lu wa Marjān, hlm. 44 dan 45; Rāz Khusybakhti, hlm. 189.
- Farsān al-Haijah, hlm. 393 dan 394.
- Sayid bin Thawus, Luhuf, hlm. 139; Khawarizmi, Maqtal al-Husain, jld. 2, hlm. 34.
- Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibin, hlm. 86.
- Maqātil al-Thālibin, hlm. 86.
- Ibnu A’tsam, al-Futuh, jld. 5, hlm. 114.
- Terjemahan al-Husain Ibnu ‘Asākir, hlm. 227.
- Maqātil al-Thālibin, hlm. 86; Abi Makhnaf, Waqi’ah al-Thaf, hlm. 276.
- Syaikh Abbas Qomi, Muntaha al-Amāl, jld. 2, hlm. 867.
- Ibnu Makhnaf, Waqi’ah al-Thaf, hlm. 276; Thabari, Tārikh al-Umum wa al-Muluk, jld. 3, hlm. 309.
- Maqtal al-Husain Maqram, hlm. 321; al-Arsyād, jld. 2, hlm. 106
- Matsair al-Ahzān, hlm. 68.
- Maqtal al-Husain Kharazmi, jld. 2, hlm. 35.
- Maqtal al-Husain Kharazmi, jld. 2, hlm. 35.
- Sayid bin Thawus, al-Luhuf, hlm. 139.
- Maqtal al-Husain Kharazmi, jld. 2, hlm. 35; Sayid bin Thawus, al-Luhuf, hlm. 139.
- Maqtal al-Husain Kharazmi, jld. 2, hlm. 35.
- Maqtal al-Husain Kharazmi, jld. 2, hlm. 35.
- Luhuf, hlm. 49.
- Maqtal al-Husain Maqram, jld. 2, hlm. 36.
- Syaikh Mufid, al-Arsyād, hlm. 459.
- Syaikh Mufid, al-Arsyād, hlm. 459; Thabari, Tārikh al-Umum wa al-Muluk, jld. 3, hlm. 335.
- Maqātil al-Thālibin, hlm. 115; Syaikh Mufid, al-Arsyād, hlm. 459.
- Maqātil al-Thālibin, hlm. 115; Sayid bin Thawus, al-Luhuf, hlm. 49; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 45, hlm. 44.
- Sayid bin Thawus, al-Luhuf, hlm. 4.
- Syaikh Mufid, al-Arsyād, jld. 2, hlm. 106; Hilli, Ibn Nama, Matsair al-Ahzān, hlm. 247; Abi Makhnaf, Waqi’ah al-Thaf, hlm. 278.
- Sayid bin Thawus, al-Luhuf, hlm. 139; Syaikh Mufid, al-Arsyād, hlm. 459.
- Maqram, Haditsah Karbala dar Maqtal Maqram, hlm. 257.
- Kāmil al-Ziyārāt, hlm. 416.
- Syaikh Mufid, al-Arsyād, hlm. 459; Thabari, Tārikh al-Umum wa al-Muluk, jld. 3, hlm. 336.
- Hilli, Ibn Nama, Matsair al-Ahzān, hlm. 247; Maqtal al-Husain Maqram, jld. 2, hlm. 36.
- Thabari, Tārikh al-Umum wa al-Muluk, jld. 3, hlm. 336.