Berita
Al-Mahdy: Masjid Muslim Segala Golongan
Menyusuri jalan Hankam Raya ke Jatisampurna dari lingkar Pondok Gede, dua kilometer setelah underpass tol lingkar luar TMII Cikunir, ABI Press sampai di pertigaan Hankam Raya-Tarumanegara. Tampak di kiri jalan, bangunan masjid yang megah dan artistik. Masjid bergaya minimalis dengan dominasi warna Krem, Putih, dan Biru itulah yang selama ini dikenal masyarakat Bekasi dan sekitarnya dengan nama Al-Mahdy.
Ada 2 pintu masuk utama ke pelatarannya. Satu di bagian barat dari arah Hankam Raya, satu lagi di bagian utara dari arah Tarumanegara. Tampak depan, arsitektur masjid ini tak ubahnya bangunan masjid di negara-negara Timur Tengah dengan menara menjulang tinggi di sudut kanan depan dan kubah besar warna biru di bagian tengah atap. Sementara di setiap sudut bangunan, terdapat kubah-kubah kecil sewarna kubah utama. Pendeknya, tempat ibadah berukuran 19X21 meter persegi di atas tanah seluas 3,5 hektar ini akan memukau siapa saja yang melihatnya.
Namun apakah keindahan fisik bangunannya juga didukung keindahan batin berupa aktivitas dan kegiatan positif para pemakmurnya? Itulah salah satu pertanyaan yang ingin ABI Press ungkap jawabnya kali ini.
Taman Pendidikan Al-Quran (TPA)
Kamis(27/3) lalu, kami berkesempatan melihat-lihat aktivitas masjid Al-Mahdy dari dekat. Menjelang sore, tepatnya pukul 14:45 WIB, saat ABI Press sedang menikmati keindahan masjid, tampak sejumlah anak kecil umur tiga tahunan berbusana khas (anak perempuan berkerudung, anak laki-laki berpeci) memasuki pelataran masjid dengan diantar ayah-ibu mereka.
Dari informasi yang kami dapat, ternyata sore itu adalah jadual anak-anak belajar Al-Quran di lantai satu masjid Al-Mahdy. Terdiri dari tiga lantai, selain Taman Pendidikan Al-Quran, lantai satu itu pun dipakai sebagai aula dan ruang serbaguna, sedangkan lantai dua dan tiga dimanfaatkan sebagai tempat Shalat.
Saat kami masuk, tampak anak-anak itu sedang dibimbing Ustad Ali Achmad. Sementara ibu-ibu yang mengantarkan mereka, berkumpul tak jauh dari sana, di sudut ruang dekat salah satu tiang penyangga masjid.
Dalam perbincangan dengan kami, Ustad Ali menyampaikan bahwa TPA diadakan tiga kali dalam sehari. Pagi dimulai dari pukul delapan hingga pukul sepuluh, sore mulai pukul tiga sampai pukul lima dan malam dari selepas Maghrib hingga Isya.
Terdapat 29 anak yang saat ini sedang belajar di TPA Al-Mahdy, mulai dari yang berumur 3 hingga 12 tahun. Menurut Ustad Ali, mereka semua tidak dipungut biaya sepeser pun. Mengapa tidak dipungut biaya, padahal di tempat lain biasanya harus membayar, tidak gratis seperti di Al-Mahdy?
“Tujuan didirikannya masjid ini adalah semata-mata untuk melayani warga sekitar. Maka dari itu sama sekali tak ada pungutan biaya apapun terkait semua aktivitas pelayanan kami,” jawab Ustad Ali sekaligus menambahkan bahwa umat Islam dari golongan mana pun boleh menggunakan masjid Al-Mahdy untuk kegiatan ibadah atau kegiatan lain selama tujuannya adalah mendekatkan diri kepada Allah, juga tanpa harus membayar ongkos sewa gedung dan semacamnya.
Pernyataan Ustad Ali dibenarkan ibu-ibu yang saat itu mengantar anak-anak mereka mengaji. Kepada ABI Press mereka mengaku tak pernah ditarik biaya apapun sejak memasukkan putra-putrinya belajar di TPA Al-Mahdy. Hal itu pula yang menyebabkan Eva Silvia yang rumahnya berjarak lebih dari sepuluh kilometer dari masjid, dengan bersemangat memasukkan kedua anaknya belajar di TPA Al-Mahdy. Sementara Andriani beralasan, bahwa karena cara belajar yang menurutnya sangat bagus itulah, yang membuat anaknya berkemauan kuat untuk mengaji di Al-Mahdy. “Apalagi semua Ustad di sini kalau untuk urusan ngajari anak-anak ngaji, beliau-beliau itu tidak mau dibayar,” tambahnya.
“Setahu saya karena yang wakafin masjid ini memang pengen masjid dipakai buat tempat belajar dan tak membolehkan dipungut biaya,” sahut Wartini. “Jadi ya memang semua yang mengaji di sini itu tidak pernah disuruh untuk bayar.”
“Kalau di TPA lain bayar pak, tuh di masjid deket rumah saya bayar,” timpal Sulistiani yang duduk di sebelah Wartini. Menurutnya pendaftaran TPA di dekat rumahnya, perlu biaya 400 ribu untuk pendaftaran dan biaya bulanannya 30 ribu. “Kalau untuk orang yang kurang mampu, ya berat kalau harus bayar,” pungkasnya.
Para ibu pun bersyukur dan mengatakan bahwa selama ini masjid Al-Mahdy telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitar masjid.
Lalu seperti apa sebenarnya pengajaran para ustad di Al-Mahdy kepada anak-anak mereka? “Selama ini kita lihat pelajaran para ustad di sini wajar-wajar saja kok. Kayaknya malah jarang ya yang seperti disini bener-bener menerapkan Islamnya,” jawab Eva Silvia.
Shalat Jumat
Keesokan harinya, Jumat (28/3), ABI Press kembali mendatangi Al-Mahdy. Sekitar pukul 10:30, kami bersiap mengikuti Shalat Jumat di sana. Bertindak selaku imam dan khatib saat itu adalah Ustad Muhammad Fathurrohman, salah seorang Ketua Majelis Tanzim NU wilayah Setu, Lubang Buaya.
Diwawancarai ABI Press selepas Shalat Jumat, di kantor masjid Al-Mahdy Ustad Muhammad memperkenalkan dirinya sebagai bagian dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini disampaikannya untuk menegaskan bahwa di masjid Al-Mahdy tidak ada istilah mengotak-ngotakkan umat Islam. Jadi penganut semua mazhab dalam Islam, boleh saja shalat, beraktivitas dakwah dan beribadah di masjid Al-Mahdy.
“Masjid Al-Mahdy tidak mengkotak-kotakkan ya, mau itu dari Muhammadiyah, NU atau yang lain. Karena memang ketika kita berbicara tentang Islam ya itulah Islam,” ujarnya.
Ustad Muhammad menambahkan bahwa siapa saja bisa menggunakan masjid Al-Mahdy dengan catatan bukan untuk saling sikut-sikutan, bukan untuk saling menggalang benturan dan yang pasti tujuan utamanya harus untuk membela Islam dan untuk mendapatkan keridhaan Allah.
Di ruang kantor Masjid Al-Mahdy tempat ABI Press berbincang dengan Ustad Muhammad, hadir pula Haji Ivan Mawardi, warga sekitar masjid. Dia menjelaskan bahwa dirinya sebagai salah seorang dari kalangan Muhammadiyah juga ingin menegaskan bahwa di masjid Al-Mahdy tidak ada perbedaan perlakuan. Menurutnya semua golongan dalam Islam dapat diterima di masjid itu.
“Saya sendiri Muhammadiyah, di sini saya saksikan tak ada perbedaan perlakuan, mau Islam dari aliran apa saja dapat diterima di masjid ini. Terlebih dengan adanya pelajaran bahasa Arab yang sangat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi warga sekitar sini,” tegas Haji Ivan.
Heri, salah satu dari tiga marbot penjaga masjid Al-Mahdy yang juga hadir di ruangan itu, mengaku sebagai NU tulen karena dirinya berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Menurutnya mengikuti Nahdlatul Ulama merupakan kebiasaan utama kebanyakan warga Jawa Timur seperti dirinya.
“Di sini nggak pandang bulu, siapa saja silakan beribadah di tempat ini. Artinya tidak perlu ditanya-tanya kamu Islam apa, mau berjenggot atau tidak, ya ndak masalah,” ungkap Heri yang telah menjadi marbot sejak masjid Al-Mahdy dibangun pada tahun 2009.
Hampir 24 jam berada di masjid itu, Heri menyatakan bahwa fikih yang sehari-hari digunakan di masjid Al-Mahdy adalah fikih NU. Meski begitu, tetap saja tidak ada pemaksaan untuk mengikuti satu aliran tertentu di masjid itu.
Tak cuma warga dan jamaah masjid, Yusuf yang merupakan salah satu pengurus masjid Al-Mahdy pun turut berbincang-bincang dengan ABI Press siang itu.
Kepada kami Yusuf menjelaskan sejumlah kegiatan yang dilakukan di masjid Al-Mahdy bukan hanya kegiatan bernuansa agama seperti TPA dan Tamzil Quran saja. Karena tempat parkir masjid itu pun setiap minggunya dipakai anak-anak untuk berlatih Karate. Katanya kegiatan itu dikelola salah seorang pemuda yang tinggal di sekitar masjid.
Senada yang lain, Yusuf pun mempertegas bahwa masjid Al-Mahdy adalah masjid persatuan dan semua kajian yang dilakukan di masjid itu bersifat umum dan berlandaskan pada Al-Quran.
Masjid Al-Mahdy juga menjadi tempat ibadah favorit bagi Jemaah Tabligh yang telah melakukan beberapa program kegiatan di masjid itu. Bahkan beberapa kali sudah dijadikan tempat itikaf sejumlah saudara Muslim dari negara lain seperti Pakistan, Afghanistan, India dan Yaman yang sempat beritikaf selama 3 hingga 5 hari tanpa gangguan pihak manapun.
Pendapat RT Setempat
Guna mendapatkan keterangan lebih beragam dari berbagai sumber tentang posisi masjid Al-Mahdy sebagai masjid persatuan, ABI Press sengaja bertandang ke rumah Weni, Ketua RT 04, RW 02, Kelurahan Jati Ranggon, Jatisampurna, Pondok Gede, Bekasi.
Weni mengungkapkan manfaat luar biasa masjid Al-Mahdy bagi warga sekitar. Terutama kaum ibu yang pada awalnya belum bisa membaca Al-Quran sama sekali, setelah belajar di masjid itu, kini mereka banyak yang sudah bisa membaca Al-Quran dengan baik. Weni mengaku bahwa dirinya termasuk salah satu dari mereka yang dulunya belum bisa membaca Al-Quran dan kini sudah bisa berkat keberadaan Al-Mahdy.
Dari Bu RT Weni kami peroleh informasi tambahan bahwa di masjid Al-Mahdy juga tak pernah ada ceramah yang isinya menjelek-jelekkan salah satu golongan dalam Islam. Weni mengakui tak pernah menemukan hal aneh yang ada di Al-Mahdy selama ini. Senada dengan sejumlah orang yang telah kami wawancarai sebelumnya, Weni pun mengatakan bahwa semua golongan bisa beribadah di masjid yang berada di wilayahnya itu.
“Pernah juga saya melihat orang bercelana ngatung shalat di masjid Al-Mahdy. Dan itu tidak ada masalah kok,” ungkapnya.
Banyak ustad dari berbagai kalangan yang tinggal di sekitar masjid berceramah di Al-Mahdy dan menurut Weni selaku Ketua RT tak ada masalah karena tak mengganggu ketenteraman warga. Ceramah-ceramah agama di masjid Al-Mahdy selama ini selalu mengajarkan tentang kebaikan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang dipahami warga sekitar.
Di tengah semakin gencarnya kecamuk fitnah dan kampanye adu domba yang diprakarsai kelompok intoleran semacam Wahabi Takfiri di Tanah Air sejak beberapa tahun terakhir ini, masjid Al-Mahdy tetap berperan memberikan tempat untuk berbagai aktivitas positif dan upaya berkesinambungan guna memperkokoh persatuan umat Islam. Harus diakui, sebagai masjid persatuan Muslim dari segala golongan, hal inilah yang membuat Al-Mahdy benar-benar indah luar-dalam. (Lutfi/Yudhi)