Berita
Aktivis Reformasi Sebut UU Pilkada Sabotase Suara Rakyat
Pengesahan UU Pilkada oleh DPR Kamis, 25 September lalu hingga kini masih berbuntut panjang. Pro dan kontra atas disahkannya UU ini terus berkembang di masyarakat.
Lalu bagaimana suara aktivis 98 yang dulu berjuang di era reformasi melawan Orde Baru Soeharto atas hal ini?
Dalam kesempatan wawancara dengan salah seorang aktivis reformasi, Mohammad Jumhur Hidayat, ABI Press menanyakan pandangan Jumhur terhadap disahkannya UU Pilkada ini, apakah semangat dan tujuan reformasi yang mereka perjuangkan dulu diakomodasi atau justru dibunuh oleh pengesahan UU Pilkada tak langsung tersebut?
Berikut wawancara ABI Press dengan Mohammad Jumhur Hidayat selengkapnya:
Saat reformasi dulu apa yang sebenarnya Anda dan para aktivis perjuangkan?
“Kita berjuang jauh sebelum masa reformasi 1998. Kami ini angkatan 80-an yang melawan Orde Baru tapi belum beruntung atau berhasil saat itu juga, sehingga malah harus dipenjara 3 tahun dan dipecat dari ITB. Yang kita perjuangkan adalah hak berserikat dan berkumpul melawan kediktatoran atau dengan kata lain hak demokrasi politik. Dalam bidang ekonomi tentunya perjuangan membangun kesejahteraan rakyat agar beranjak dari pelbagai kekurangan dan kesulitan.”
Menurut Anda, sejauh mana capaian dari apa yang diperjuangkan para para aktivis dulu sudah terealisasi?
“Sistem politik yang sekarang ada sesungguhnya sudah sesuai dengan yang kita harapkan. Hanya saja perlu penyempurnaan di beberapa bagian agar kompetisi politik terlihat lebih fair, bukan hanya menguntungkan mereka yang punya uang dan punya media massa.”
Tanggal 25 September kemarin, DPR mengesahkan UU Pilkada lewat DPRD. Menurut Anda, pengesahan UU tersebut apakah sesuai dengan semangat reformasi yang Anda dan teman-teman aktivis lain perjuangkan?
“Nah, sedang giat-giatnya kita berkonsolidasi demokrasi politik, tiba-tiba rakyat disabotase haknya dengan RUU Pilkada yang menyerahkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukan langsung oleh rakyat lagi. Ini artinya akan ada oligarki yang bisa menyusahkan rakyat. Jadi, kalau zaman Orde Baru itu kita melawan diktator perorangan maka sekarang kita akan melawan oligarki yang intinya kekuasaan dipegang oleh segelintir orang yang konspiratif.”
Apa pendapat Anda terhadap anggapan bahwa ini adalah usaha Orba untuk kembali berkuasa?
“Jelas ini adalah sisa-sisa Orde Baru yang mau menjelma dalam kekuasaan. Tapi kalah di pilpres dan membuat ulah yang mengorbankan sistem demokrasi demi syahwat kekuasaan dan dendam.”
Tapi ada juga yang justru mengatakan bahwa disahkannya UU Pilkada melalui DPRD merupakan ‘kemenangan rakyat.’ Tanggapan Anda?
“Pernyataan itu hanya mungkin keluar dari orang yang mabuk kekuasaan tapi takut dituduh seperti itu. Akhirnya menggunakan nama rakyat. Padahal di mana-mana rakyat merasa dikhianati karena haknya dicabut! Hanya orang sinting yg merasa bahagia saat haknya dicabut.”
“Soal Masyarakat, keinginannya bisa dibaca dalam survei. Faktanya survei menyebutkan lebih dari 80% rakyat ingin Pilkada langsung. Survei itu pun dilakukan kepada para pemilih Golkar, Gerindra, PKS, PPP dan PAN. Jadi saat memutuskan RUU Pilkada itu jelas bukan atas nama konstituennya tapi atas nama kekuasaan yang baru akan diraihnya di tingkat gubernur, walikota dan bupati. Tapi saya yakin harapan mereka itu akan sirna.”
Bagaimana dengan pendapat yang menyatakan bahwa rakyat Indonesia belum siap atau tidak cocok dengan Pilkada langsung. Lebih jauh, mereka mengklaim Pilkada langsung tak sesuai dengan falsafah Pancasila sila ke-4?
“Mereka itu cetek pemahaman terhadap sejarah berdirinya Republik ini. Karena cetek dan tidak berkhidmat untuk rakyat dan bangsa, maka penafsiran sesuai kehendak nafsunya saja. Musyawarah mufakat itu adalah musyawarah para wakil rakyat yang menentukan kebijakan publik. Nah, wakil rakyat itu ada yang di parlemen dan ada yang di eksekutif. Kedua lembaga itulah yang harus berkhidmat untuk bermusyawarah dan bermufakat demi kepentingan rakyat. Wakil di parlemen dipilih langsung dan wakil rakyat di eksekutif juga dipilih langsung. Itulah sejatinya keseimbangan dalam permusyawaratan perwakilan sesuai sila keempat Pancasila.”
UU Pilkada ini kan disahkan karena manuver Partai Demokrat yang walk out dalam sidang. Apa pendapat Anda?
“SBY dan Partai Demokrat sama-sama entitas yang membingungkan dan sama sekali tidak bertindak berdasar ideologi dan leadership. Kasihan saya melihatnya. Karena ulah mereka, kita mundur lagi dan SBY berakhir dengan su’ul khatimah dalam demokrasi. Bukannya meninggalkan warisan yang melegenda, malah mewariskan cacian dan makian. Sayang sekali.”
Sekarang UU ini sudah disahkan, lalu apa yang semestinya dilakukan oleh masyarakat atas hal ini?
“Ada beberapa langkah. Pertama ya uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) tentunya. Bila hakim merenung tentang makna demokrasi dan apa yang sedang berlangsung selama ini, pastinya hakim akan membatalkan UU Pilkada yang baru itu. Bila di MK kalah, maka rakyat akan terus bergerak dan meminta Presiden Jokowi kelak mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) atau mengusulkan revisi UU Pilkada untuk dibahas kembali di DPR periode yang baru. Intinya, kalau kehendak rakyat sudah menggelora kemudian menjelma menjadi gelombang kekuatan rakyat, siapa yang mampu menghalangi? Yang menghalangi akan tergilas oleh gelombang ini.” (Muhammad/Yudhi)