Berita
Aksi Massa Tolak UU MD3
Sejumlah elemen masyarakat tergabung dalam Koalisi Rakyat Bersatu menggelar aksi demo di depan Gedung DPR RI, Senin (5/3/2018). Koordinator aksi, Ady Kurniawan mengatakan revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3) yang baru disahkan pertengahan bulan lalu oleh DPR RI itu sangat merugikan rakyat. “Undang-undang itu akan jadi alat DPR untuk membungkam rakyat dalam berdemokrasi,” katanya.
Senada dengan Ady, Ketua Umum Ormas Barisan Nasionalis Pancasila (BNP), Andre Hutapea yang bergabung dalam koalisi itu menegaskan, UU MD3 bukan hanya merugikan rakyat tapi juga membuat DPR nantinya akan kebal hukum.
“Selain menolak UU MD3 ini kita juga mendukung Presiden Jokowi agar tidak menandatangani revisi UU MD3,” ungkapnya.
Sementara itu NJ. Sianipar dari kalangan pengacara dalam menyikapi revisi UUD MD3 ini menekankan bahwa setiap elemen masyarakat adalah ‘auditor demokratik’. “Rakyat sebagai ‘auditor’ harus bergerak bersama,” katanya.
Rangkaian aksi demo dimulai Senin siang dengan longmarch dari depan gedung TVRI dilanjut dengan orasi dan permohonan audiensi dengan DPR. Akan tetapi pihak DPR RI belum bisa menerima audiensi tersebut pada hari ini dan berjanji akan memberikan kesempatan audiensi maksimal dalam sepekan ke depan.
Beberapa pasal dinilai memiliki semangat untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara. Pasal 122 huruf k, misalnya, memberikan mandat kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengambil langkah hukum terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Selain itu, Pasal 73 UU MD3 menyebutkan polisi wajib membantu memanggil paksa, pihak yang diperiksa DPR.
DPR juga memasukkan pasal yang memperkuat imunitas anggota Dewan terhadap hukum. Pasal 245 menyebutkan pemeriksaan anggota DPR dalam tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kohormatan Dewan (MKD).
Bisakah revisi UU MD3 dicabut?
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Mahfud MD, sebagaimana dilansir Viva (20/2/2018) mengatakan, Presiden dapat mencabut revisi UU MD3 itu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) sebagaimana dilakukan Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di masa pemerintahan SBY, DPR menyetujui RUU Pilkada yang isinya membawa Indonesia mundur ke masa Orde Baru, yaitu kepala daerah tidak lagi dipilih secara langsung, melainkan oleh DPRD. Setelah dihujani kritik, Presiden Yudhoyono akhirnya mengeluarkan Perppu yang menganulir diundangkannya UU Pilkada itu.
Jurnalis dan Aktivis Potensial dijerat UU MD3
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai, salah satu profesi yang paling potensial dijerat pasal tersebut yaitu jurnalis. “Kalau (pemberitaan) dianggap merendahkan (DPR atau anggotanya), maka potensi yang pertama kena adalah teman-teman jurnalis,” ujar Isnur, sebagaimana dilansir Kompas, (13/2/2018).
Selama ini, kata dia, hampir setiap hari para jurnalis memberitakan DPR atau anggota DPR. Pemberitaan itu seringkali berisi kritik atas keputusan atau perilaku anggota DPR yang dianggap tidak berpihak kepada publik. Jika kritik pedas itu dianggap sebagai penghinaan kepada DPR atau anggota DPR, maka MKD bisa melaporkan jurnalis tersebut ke pihak Kepolisian. Selain jurnalis, YLBHI juga menilai, Pasal 122 huruf k UU MD3 potensial menjerat para aktivis yang kerap mengkritik DPR. Oleh karena itu, YLBHI mengkritik keras adanya ketentuan pasal yang dianggap mambuat DPR dan anggotanya memiliki kewenangan super besar.
Bagi YLBHI, UU MD3 adalah upaya DPR untuk melindungi dirinya sendiri agar tidak tersentuh, termasuk dari kritik tajam masyarakat. “Ini akan memakan banyak korban apalagi di tengah-tengah pengguna sosial yang sangat banyak,” kata Isnur. Menurut YLBHI, jika DPR atau anggotanya tidak mau dikritik publik, seharusnya mereka bekerja sebaik-baiknya untuk memperbaiki kinerja DPR yang dianggap jeblok. (M/Z)