Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Aksi Akar Teki di Pengungsian Syiah Sampang

Tidak semua relawan kemanusiaan mau terjun membantu pengungsi Muslim Syiah Sampang yang sejak tahun  2012 tinggal di Rusunawa, Puspo Agro Jemundo, Sidoarjo. Sebab kemungkinan mendapatkan stigma buruk bisa terjadi jika bergaul atau berdekatan dengan mereka yang diusir paksa kelompok intoleran dari kampung halamannya ini.

Namun hal tersebut tidak berlaku bagi relawan Akar Teki yang telah melakukan bakti sosial berupa pemeriksaan kesehatan gratis, donor darah dan pembagian sembako bagi para pengungsi, seperti yang mereka lakukan pada tanggal 13 Februari 2016 yang lalu.

Untuk mengetahui bagaimana upaya Akar Teki mewujudkan usahanya membantu para pengungsi dengan Baksos, pemeriksaan kesehatan gratis, donor darah dan pembagian sembako? Berikut hasil wawancara ABI Press dengan Kusuma Wijaya, salah seorang aktivis Akar Teki.

Bisa Anda ceritakan secara singkat, apa Akar Teki itu?

Akar Teki itu komunitas relawan independen yang peduli dalam bidang pendidikan. Pada awalnya kita datang kesini sebenarnya ya untuk pendampingan pendidikan anak-anak pengungsi. Lalu kenapa sampai berkembang ke kegiatan pengobatan dan Baksos itu? Itu mengalir saja. Tapi tujuan awal kami datang kesini, ya untuk pendidikan itu.

Yang dimaksud dengan independen itu kita tidak memiliki donatur besar, donaturnya dari perseorangan, orang-orang terdekat dan orang-orang yang kita kenal. Itu pun terbatas kalau pas ada kegiatan saja.

Jadi yang dimaksud independen itu karena untuk sementara ini tidak ada CSR, begitu?

Iya betul…

Latar belakang Baksos di Rusunawa sendiri itu apa?

Awalnya karena, Mbak Siti (salah satu pengungsi) curhat, kakinya luka dan tidak sembuh-sembuh, lalu kepikiran untuk meminta tolong temen saya yang dokter untuk kesini saja, memeriksa luka kakinya. Tapi kemudian kepikiran, gimana kalau sekalian bikin baksos saja? Ya sudah, akhirnya terlaksanalah Baksos yang kemarin itu.

Apa tidak ada kekhawatiran atas stigma Syiah jika melakukan Baksos di Rusunawa ini?

Ketika bicara stigma, kita ini orang-orang yang bebas nilai. Jadi kalau ada orang mau ngomong yang bagaimana-bagaimana tentang kita, ya sudah lewat lah itu. Lha wong kita ini jenis orang yang tidak butuh pencitraan, kok. Itu sudah lewat masanya. Jadi kita sudah tidak berpikir seperti itu lagi. Itu sudah out of the box.

Awalnya yang datang kesini itu sebenarnya Mbak Adhe, yang saat tinggal di Malang mendapat cerita dari Mas Raymond Kamil bahwa ada pengungsi Syiah di Sidoarjo. Akhirnya kita datangi bersama. Saat itu kami belum pada saling kenal di Akar Teki dan belum terbentuk. Waktu Mbak Adhe datang kesini, kondisinya memprihatinkan. Diterima di lantai 4, kita bikin acara. Sempet kita buka kelas, tapi kelas menggambar, Karena menurut hemat saya, anak-anak ini butuh stress realese pasca kejadian tahun 2013 itu.

Pada saat itu, karena kita sendiri bukan berlatar pendidikan akademik, ya hanya berpikir sebagaimana pikiran seorang ibu, bahwa anak-anak butuh diselamatkan, mereka butuh stress realese. Kalau kita bicara pada saat itu, sangat sedikit yang bisa berbahasa Indonesia. Kita terkendala bahasa, jadi kita bicara lewat bahasa gambar. Itulah latar belakang kenapa kita pilih membuka kelas menggambar. Tapi, kita hanya bertahan tiga bulan.

Hingga akhirnya tahun 2015 Mbak Adhe pulang ke Surabaya. Pada saat itu saya mendapatkan spanduk berupa potongan gambar, yang intinya bertuliskan Syiah dilarang. Saya jadi mikir, lho (pengungsi Syiah Sampang itu) masih disitu toh?

Akhirnya saya berkoordinasi dengan teman-teman, bagaimana kalau ke Rusunawa? Tapi sempat mikir juga, caranya gimana? Sebab dulu itu setengah mati untuk bisa masuk membuka kelas menggambar bagi anak-anak pengungsi. Saya kembali berpikir, kira-kira akses masuknya lewat mana? Tanya punya tanya kesana-kemari, hingga akhirnya diputuskan untuk masuk sendiri menemui Ustaz Iklil Almilal, koordinator pengungsi.

Untungnya beliau masih mengenali wajah saya. Kemudian kami utarakan bahwa kami ingin membantu tapi mampunya hanya di bidang pendidikan, dan itupun tidak setiap hari bisa datang. Apalagi waktu itu relawan kami masih berempat. Kita kemudian dikasih nomer kontak LSM CMARS untuk berkoordinasi, karena selain advokasi mereka ternyata juga ambil bagian dalam soal pendidikan.

 Akhirnya kita berkoordinasi dengan mereka, kita katakan kami sanggupnya malam, karena kalau pagi kami kerja. Seiring perjalanan waktu ternyata kita beda jiwa, hingga pada suatu titik kita berpisah. Tapi perpisahan itu adalah perpisahan yang indah, sehingga kita bisa berafiliasi kedepannya untuk hal-hal yang lebih baik lagi.

Masih latar belakang, kegiatan kami disini tidak banyak, seringnya hanya menggambar dan mendongeng. Tapi kita pernah mengajak anak-anak field trip ke Kebun Binatang Surabaya, pada bulan Oktober yang konon itu adalah field trip pertama mereka semenjak mereka ada disini. Tapi kami tidak mengundang wartawan.

Bahkan kita dapat free pass langsung dari Direktur Kebun Binatang Surabaya, sehingga semua relawan diizinkan masuk, bahkan undangan masih berlaku hingga saat ini dan tanpa kuota, bebas berapapun. Jadi kalau besok-besok dari sini mau kesana, masih bisa.

Jadi, kegiatan yang di luar pendidikan, seperti baksos dan pengobatan kemarin itu, ya memang baru kali ini.

Dalam Baksos itu melingkupi kegiatan apa saja?

Dalam Baksos itu, pertama-tama, rekan-rekan dokter ingin mendapatkan informasi penyakit apa saja yang diderita oleh para pengungsi. Sehingga kita harus mendata dulu untuk mendapatkan informasi awal bagi para dokter sebelum melakukan pemeriksaan. Khususnya terkait 10 penyakit umum yang sering diderita oleh para pengungsi itu apa?

Karena hal itulah nantinya yang akan berhubungan dengan penyediaan obat. Pendataan itu dilakukan dua minggu sebelum Baksos. Kita juga kesulitan menghubungi kawan-kawan dokter sebab dua minggu itu sangat singkat sekali waktunya. Lalu kita melakukan pendataan dengan bantuan dari BNPB setempat, dalam hal ini Mas Bayu dan Mas Irvan, yang memberikan data awal terkait dengan jumlah KK dan lain sebagainnya.

Dengan data yang ada di BNPB itu kita mulai jalan dari pintu ke pintu. Kita tanya sakitnya apa? Keluhannya apa? Di satu KK ini siapa saja yang sakit? Semua itu kami lakukan dengan bantuan Mbak Siti, salah satu pengungsi yang membantu sebagai penerjemah kami.

Data itu yang kemudian kita sampaikan kepada kawan-kawan dokter sekaligus berkenaan dengan penyediaan obat. Karena idenya adalah saat para dokter ini datang mereka sudah memiliki gambaran tentang penyakit yang kemungkinan diderita dan ketersediaan obat-obatan yang ada.

Nah, data setelah Baksos itu nanti kita olah lagi sehingga kita bisa tahu, sakitnya yang betul itu apa sih? Agar berikutnya sudah lebih terstruktur menjadi catatan kesehatan untuk kontrol per KK.

Dokter-dokter yang dilibatkan ada berapa dan darimana saja?

Tujuh relawan dokter. Tapi mereka disini tidak mewakili institusi. Mereka datang dari wilayah Surabaya, Malang dan Pare, Kediri.

Selain pengobatan, kegiatan apa lagi yang dilakukan di Baksos tersebut?

Pembagian sembako berupa, minyak goreng, mie instan, kecap, kopi, gula, dan susu, untuk semua KK di pengungsian, yaitu sekitar 86 KK.

Bagaimana ceritanya kok ada pengobatan lalu diteruskan dengan pembagian sembako?

Jadi semula kita tidak mengagendakan pembagian sebako. Ide semula hanya pemeriksaan kesehatan dan masukan dari BNPB untuk donor darah. Tapi kemudian dalam perkembangannya, salah satu koordinator relawan dokter, juga mengabarkan ke komunitasnya berkenaan dengan kegiatan ini. Maka muncullah donatur-donatur independen yang juga menitipkan bantuan untuk diberikan kepada pengungsi dalam bentuk sembako.

Karena ada amanah itu, maka donasi tersebut langsung dibelikan sembako di sekitar rusun. Dikemas di Kantor BNPB dan langsung dibagikan. Jadi semula memang tidak kami agendakan.

Dalam donor darah kan harus ada hal lain juga yang perlu disiapkan, seperti makanan buat pendonor. Nah, bagaimana cara mengatasinya?

Kalau untuk donor darah biasanya kan PMI menyediakan paket berupa biskuit, susu, kemudian vitamin. Itu disediakan setelah kita melakukan donor darah. Lalu Mbak Adhe memiliki pemikiran, gimana kalau asupan diberikan sebelumnya? Bukankah lebih baik sebelumnya? Artinya, kita memberi asupan dulu sebelum pengungsi melakukan donor.

Akhirnya kita putuskan harus ada asupan dulu. Ide awalnya itu nasi kotak, roti dan sebagainya. Tapi kendala kami yang terutama adalah dana, kenapa? Karena kita harus siap dan memperhitungkan jumlah 86 KK.  Misalnya saja pada waktu itu dijanjikan ada 100 yang ikhlas untuk donor darah, berarti kan harus ada 100 bungkus nasi kotak? Itulah yang kita ndak sanggup.

Maka terlintas satu ide, gimana kalau kacang ijo saja? Akhirnya itu yang jadi solusi dan itupun dari donatur individu. Jadi kita tidak menerima uang, tapi kita menerima langsung bahannya. Jadi harus dimasak dulu dan masaknya di tempatnya Mbak Siti. Partisipatif, sehingga kami bisa melibatkan pengungsi.

Ada kekecewaan tidak? Karena awalnya yang siap dan ikhlas untuk donor banyak tapi ternyata tidak sesuai dengan perkiraan?

Sama sekali tidak. Kami mungkin akan kecewa apabila yang ikhlas untuk donor sedikit. Tapi ternyata yang siap adalah 100, maka kami merasa terharu. Yang penting adalah niatnya, empatinya 100. Ustaz Iklil bilang, kami (para pengungsi) siap 20 kantong lah. Jadi saudara-saudara kita memiliki niatan untuk memberikan sesuatu.

Nah, itulah yang membuat kami terharu. Perkara lolos atau tidaknya, yang ternyata sebanyak 8, itu tidak masalah. Yang penting saudara-saudara kita siap untuk membantu. Kenapa? Ya kita kan sudah lihat sendiri kondisi saudara kita seperti ini, kondisi psikisnya (tertekan), tapi saudara-saudara kita masih bersedia untuk menyumbangkan hal yang paling berharga, dalam hal ini adalah darah itu.

Apa kata para relawan dokter penyebab para pengungsi banyak yang tidak lolos untuk melakukan donor darah?

Faktor ketidak lolosan itu ada dua. Pertama adalah faktor usia, selain berat badannya juga kurang. Jadi ketika yang melakukan donor sudah berumur (uzur), permasalahan yang mucul adalah mereka mengidap darah tinggi, kemudian batuk pilek, flu. Nah rata-rata karena itu. Jadi semoga donor darah berikutnya bisa lebih baik.

Lalu mengapa kita mau memfasilitasi sampai berusaha sekeras ini? Karena kita sangat menghargai niat baik. Kita sudah melakukan pengecekan kesehatan, mereka tidak bisa memberikan apa-apa, maka mereka membalasnya dengan memberikan darah mereka, sebab hanya itu yang mereka miliki.

Dengan banyaknya calon pendonor dari para pengungsi yang tidak lolos tes  kesehatan, bukankah ini berarti mereka memiliki masalah dengan kesehatan?

Berdasarkan data survei memang sejak awal kita memprediksi hal itu. Dari sepuluh permasalahan yang paling dikeluhkan salah satunya adalah sakit pinggang, linu-linu, dan itu masih kami anggap wajar. Karena mereka berkerja memecah kelapa yang kondisinya memang basah dan sebagai buruh pastilah mereka mengalami kelelahan, sehingga berdampak kurang fokus pada (upaya menjaga) kesehatannya.

Maka dari itu harapan kami, Baksos itu tidak hanya dilakukan sekali saja. Ke depan, setidaknya sebisa mungkin ada ruang (pemeriksaan) kesehatan.

Langkah selanjutnya, apa yang akan dilakukan oleh Akar Teki setelah mengetahui kondisi kesehatan para pengungsi?

Jadi kenapa dari awal kita meminta data ke BNPB kemudian melakukan pendataan keluhan-keluhan awal mereka, kemudian dilakukan pemeriksaan, pendataan secara rinci, kemudian nanti kita rekap sakitnya apa? Ya agar upaya ini bisa berkelanjutan. Meski soal kapan (kepastian) berkelanjutannya, sementara ini kami hanya bisa menjanjikan (paling tidak) tiga bulanan lah.

Kita independen, kita tidak punya funding untuk membayar para dokter itu. Tapi kita ingin kesehatan mereka (para pengungsi) terkontrol. Kita tidak ambil pusing lah bahwa harusnya Dinas Kesehatanlah yang mesti melakukan itu. Tapi apa yang bisa kita lakukan, ya kita lakukan. Yang bisa kita lakukan itu kontrol rutin, ya sudah kita lakukan saja, selain juga penyediaan obat-obatan.

Jadi tugas kami adalah mendatangkan dokter gratis beserta obatnya. Jadi kita ingin kesehatan pengungsi semua terkontrol per KK. Karena ada dua yang harus kita koordinasikan yaitu tim dokter dan pengadaan obatnya.

Selain itu, program kami ke depan, kita ingin membuat taman bermain. Sebab anak-anak disini sangat butuh perhatian dan kasih saying, maka anak itu jadi mudah akrab dengan orang asing. Nah, itu yang menjadi mimpi buruk saya. Karena anak-anak yang mudah akrab dengan orang asing ini, saya justru takut mereka menjadi mangsa bagi predator seksual.

Semoga saja ke depannya bisa terealisasi untuk membuat semacam taman bermain, seperti playground, ada ayunan, ada jungkar-jungkir, agar anak-anak tidak perlu berkeliaran kemana-mana. Memang itu tidak bisa mencegah keseluruhan (masalah mereka), tapi paling tidak kami sudah berusaha untuk meminimalisasinya.

Harapan-harapannya, kepada Pemerintah atau pengungsi?

Kalau kepada Pemerintah sih, tidak ada harapan, Akar Teki tidak ada harapan ke Pemerintah! Tapi harapan kami, bukan Pemerintahnya, tapi lebih pada individu, seperti petugas BNPB yang ada di rusun ini. Semoga saja masih mau memfasilitasi kami. Kalau kepada Pemerintah, tidak ada harapan. Kepada saudara pengungsi harapan kami, ya semoga saja lebih terjalin silaturahim dengan Akar Teki. Itu yang telah dan sedang kami usahakan.

Selain itu, sejak awal kita memang programnya pendidikan dan Akar Teki berharap nanti anak-anak muda dari pengungsi sendiri justru yang bisa menangani adik-adik mereka yang ada disini. Jadi tidak selamanya Akar Teki ada disini. Kalau mereka sudah bisa mandiri kan lebih baik. Harapannya biar lebih bisa partisipatif dan anak-anak muda yang ada disini biar bisa membantu. Itu saja.

Harapan kami terkait dengan donatur itu tidak hanya material tapi juga tenaga, terutama dari kawan-kawan Ahlulbait. Pesan kami bisa disosialisasikan, seperti fokus kami di pendidikan. Maka mari kita sama-sama bangun pendidikan dan juga kesehatan sebagai tambahannya.

Sampai saat ini teman Ahlulbait yang membantu mereka adalah independen; ada yang dari Jakarta, ada dari Malang, jadi mereka independen. Maka mari kita bersama-sama, Akar Teki dan ABI rapatkan barisan demi suadara kita. Itu pesan dan harapan kita.

Satu kata yang bisa disampaikan untuk kondisi pengungsi saat ini?

Karena fokus kita pada pendidikan dan belakangan ini kita terkondisikan di kesehatan, maka hanya ada satu kata: “MEMPRIHATINKAN”. (Billy/Yudhi)

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *