Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Apa Hubungan Akidah, Ilmu dan Iman?

Akidah adalah tali penghubung antara ilmu dan iman. Karena itu, ilmu tanpa iman bagaikan tanaman tak berbuah. Ilmu mengajak pada iman dan iman menganjurkan para pengikutnya mencari ilmu. Memisahkan keduanya akan membuahkan ragam akibat yang buruk.

Syahid Murtadha Mutahari menulis, “Pengalaman-pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa memisahkan ilmu dari iman telah melahirkan bahaya-bahaya yang tidak dapat dihindari. Karena itu, iman harus berada di bawah lentera ilmu sehingga iman akan terselamatkan dari kepercayaan-kepercayaan tahayul. Dengan memisahkan ilmu dari iman, maka iman akan kering, tercemari fanatisme buta, guncangan jiwa, dan menahan laju pemiliknya (menuju tingkatan-tingkatan spiritual). Muslimin yang tidak berilmu akan diperalat oleh munafikin, sebagaimana kenyataan pahit ini dapat kita saksikan pada kaum Khawarij di masa fajar Islam dan masa-masa setelah itu dalam aneka bentuk (kendati esensinya sama). Sebaliknya, ilmu tanpa iman ibarat pelita di tangan pencuri yang digunakan untuk mencuri barang berharga di tengah malam. Atas dasar ini, seorang alim yang tidak beriman, tak berbeda sedikit pun dengan orang bodoh, baik ditinjau dari sisi perangai maupun esensinya.”[Al-Insan wal Iman, Syahid Mutahhari 1 : 5]

Baca juga Akidah, Membina Pemikiran Manusia 

Karena itu, ilmu memerlukan iman sebagaimana tubuh membutuhkan ruh. Karena ilmu dengan sendirinya tidak akan mampu membina manusia sempurna. Ilmu hanya mampu mendidik sebagian aspek dari sekian banyak aspek yang dimiliki manusia. Mungkin ilmu tersebut mampu menjadikannya berprestasi dalam segala bidang keilmuan. Namun ia tak akan mampu membinanya menjadi manusia ideal. Ilmu hanya mampu membina manusia dari satu aspek, yaitu materi. Sementara iman dapat membentuk kepribadian manusia dengan berbagai dimensinya.

Bangsa Eropa berbangga diri dengan ilmu pengetahuan sehingga menuhankan ilmu pengetahuan tersebut. Hanya saja mereka tidak menciptakan ritus-ritus keagamaan khusus untuk ilmu pengetahuan itu. Karena itu, manakala mereka melihat agama terfokus pada hal-hal ghaib, mereka pun menganggapnya sebagai realitas yang tidak ilmiah. Atas dasar ini, muncullah keinginan kuat di kalangan mereka untuk memisahkan agama dari ilmu pengetahuan. Ini adalah satu realitas yang tidak dapat diterima agama Islam. “Dalil nyata atas adanya korelasi kuat antara agama dan ilmu pengetahuan (dalam agama Islam) adalah ajakan agama ini untuk menggali ilmu di setiap kesempatan dalam umur kita dan penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan dan ulama.

Jika dalam perjalanan sejarah pernah terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, sebagaimana pernah dialami agama Kristiani, maka itu tidak ada hubungannya dengan agama. Kalau pun pernah terjadi, agama itu bukanlah agama yang otentik.”[Dauruddin fi Hayatil Insan, Syeikh Al-Ashifi : 69]

Sangat disayangkan adanya suara-suara sumbang (di antara para pemeluk agama sendiri) yang mengumandangkan pemisahan agama dan ilmu pengetahuan. Alasannya, ketika bangsa Eropa memisahkan diri dari agama, mereka mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. Sementara kita, lantaran berpegang teguh pada tali agama, ketinggalan zaman. Hal itu mungkin timbul dari ketidakmampuan akal mereka untuk memahami tugas ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Ilmu pengetahuan adalah sarana untuk menyingkap realitas tematis (al-haqaiq al-maudlu’iyyah) dan menjelaskan kenyataan secara netral dan jeli, tidak lebih dari itu. Atau, hal itu timbul dari kebodohan mereka tentang agama Islam yang senantiasa mengajak kita untuk selalu menggali ilmu pengetahuan. Akan tetapi, orang-orang yang memiliki pendapat semacam itu pada umumnya adalah antek-antek bayaran yang selalu siap mempropagandakan statemen-statemen musuh Islam di mata dunia. Mereka lupa akan akibat buruk yang akan muncul dari pemisahan agama dari ilmu pengetahuan ini.

Contoh paling jelas darinya (akibat pemisahan agama dari ilmu pengetahuan) adalah zaman kita sekarang ini. Suatu zaman yang telah mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan materi, sementara budaya saling membunuh secara liar dan percekcokan juga memasyarakat. Sebagai akibatnya, terputuslah hubungan antar manusia dan ketakutan melanda di mana-mana. Di samping itu, masyarakat insani telah berubah dalam memandang tujuan hidup. Tujuan hidup yang utama–menurut mereka–adalah harta dan kesenangan hidup dengan segala coraknya. Inilah yang mengakibatkan merajalelanya dekadensi moral dan permainan seks bebas yang binatang-binatang di sekitar kita pun sudah muak melihat kenyataan ini.”[Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyah, M. Qutub : 115]

Melihat kenyataan ini, akidah Islam memiliki peran teramat besar dalam mendidik dan membina manusia. Karena akidah memandang perlunya keselarasan antara peran agama dan ilmu pengetahuan dalam membina kepribadian manusia. Dengan memisahkan kedua unsur penting itu, manusia laksana jarum kompas yang bergerak menunjuk arah utara dan selatan, tergantung di mana kompas itu diletakkan. Atas dasar ini, ia sangat memerlukan satu kekuatan yang mampu mewujudkan revolusi dalam dirinya dan membekalinya dengan teori-teori etika murni yang dapat merealisasikan kemanusiaannya. Ilmu pengetahuan tanpa bantuan agama tak akan mampu mewujudkan hal itu.

Markaz Ar-Risalah, Peran Akidah

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *