Berita
Akidah, Sang Pembebas dari Takhayul [6/7]
Akidah Islam berhasil membebaskan manusia dari keyakinan dan perilaku yang sarat dengan cerita-cerita bohong dan takhayul. Hal ini bertujuan untuk mengenyahkan pelbagai selubung imajiner yang bersemayam dalam akalnya, yang dapat menonaktifkan fungsi akal tersebut. Sebagai contoh, penduduk Arab Jahiliah mempercayai nasib baik dan buruk melalui gerakan burung.
Ketika melihat burung bergerak ke arah kanan, mereka mulai bekerja. Namun, tatkala melihatnya bergerak ke arah kiri, mereka berhenti dari pekerjaan tersebut. Para ahli sihir dan nujum di masa itu menempati posisi terpenting di tengah masyarakat. Dengan mengklaim dirinya mengetahui alam ghaib, mereka tega menipu orang-orang yang hidup di tengah masyarakat tersebut.
Pembahasan sebelumnya Akidah Sang Pembebas Manusia dari Kemusyrikan (5/7)
Di samping itu, meramal nasib menjadi salah satu kebiasaan yang memegang peran penting dalam praktik kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan tak jarang kepercayaan ini menjadikan mereka malas berikhtiar. Begitu pula kebiasaan menentukan nasib dengan anak panah (al-istqsaam bil azlaam) yang juga menjadi salah satu kebiasaan yang diyakini penduduk Arab Jahiliah. Jika ingin melakukan suatu pekerjaan, seseorang akan mengambil tiga anak panah. Kemudian ia menulis kata “kerjakan” pada anak panah pertama dan kata “jangan kerjakan” pada anak panah kedua. Sementara anak panah ketiga dibiarkan kosong.
Selanjutnya, ia merogohkan tangannya untuk mengambil salah satu dari ketiga anak panah tersebut. Jika anak panah pertama yang keluar, ia akan memulai pekerjaannya. Apabila anak panah kedua yang keluar, ia akan membatalkan pekerjaan itu. Dan bila anak panah ketiga yang keluar, ia akan mengulangi pemilihan sekali lagi.
Sihir merupakan salah satu kebiasaan lain yang juga memasyarakat kala itu. Sihir digunakan untuk menjaga diri dari kejahatan dan keburukan. Di saat kebiasaan-kebiasaan itu menguasai kehidupan masyarakat kala itu, datanglah akidah Islam yang berusaha memeranginya. Akhirnya, akidah Islam berhasil membuka akal, menjunjung tinggi jiwa, dan mengeluarkan mereka dari jurang gelap khayal menuju dunia ilmu dan realitas.
Rasulullah saw bersabda “Tidak termasuk golongan kami orang yang meramal (nasib) dan orang yang minta diramal, orang yang melaksanakan praktik dukun dan yang meminta untuk didukuni atau orang yang menggunakan praktik sihir dan yang memohon darinya untuk melakukan hal itu demi kepentingannya.”[Al-Muraja’at, Sayid Abdul Husain Syarafuddin : 23, al-muraja’ah ats-tsaminah]
Dalam kesempatan lain, beliau saw juga pernah bersabda, “Barangsiapa terpenuhi hajatnya, ia telah musyrik.”
Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Keampuhan ramalan itu tergantung keyakinanmu terhadapnya. Jika engkau meremehkannya, ia tidak akan berfungsi, dan jika engkau meyakininya, ia akan menguasai hidupmu….”[Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid: 76]
Di sisi lain, akidah Islam berhasil membebaskan akal muslimin dari ramalan-ramalan ahli nujum. Akidah Islam memandangnya seperti dukun peramal yang mengikat ruang lingkup gerakan manusia dalam hidunya dan memanipulasi akalnya.
Abdul Malik bin A’yun berkata kepada Imam Husain as, “Saya telah kecanduan ilmu ini (maksudnya, ilmu nujum). Ketika melihat tanda keburukan (di langit), aku enggan pergi untuk menyelesaikan keperluanku, dan ketika melihat tanda kebaikan (di langit), aku pergi untuk menyelesaikan keperluanku.” Beliau bertanya kepadanya, “Apakah terbukti (apa yang engkau sangka itu)?” “Ya,” jawabnya. Selanjutnya, beliau berkata, “Bakarlah buku-bukumu (yang berkenaan dengan ilmu nujum) itu!”[Makarimul Akhlaq, Thabarsi : 113]
Perlu diingat, mazhab Ahlulbait as tidak mencela ilmu perbintangan sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan alam, yang dengannya manusia dapat mengetahui keagungan langit, dan selanjutnya memahami kebesaran Penciptanya. Mazhab ini mencela klaim sebagian orang yang mengaku mengetahui alam ghaib dengan ilmu nujum tersebut.
Sebagai bukti jelas atas usaha Ahlulbait as untuk membebaskan manusia dari mempercayai ramalan-ramalan nujum yang masih diyakini sebagian orang di abad terakhir ini adalah jawaban Amirul Mukminin as kepada sebagian sahabat beliau. Ketika beliau hendak bergerak untuk memerangi pemberontak Khawarij, sebagian sahabat dengan mengacu pada ilmu nujum, berkata kepada beliau, “Wahai Amirul
Mukminin, jika anda bergerak sekarang, aku takut anda akan gagal.”
Beliau menjawab, “Apakah engkau mengira dapat mengetahui suatu masa yang jika seseorang mengerjakan sesuatu di masa itu, ia akan terselamatkan dari segala keburukan? Dan apakah engkau menyangka dapat mengetahui suatu masa yang jika seseorang melakukan sesuatu di masa itu, ia akan terancam kesengsaraan? Orang yang membenarkan sangkaanmu itu telah
membohongkan Alquran dan merasa tidak memerlukan pertolongan Allah lagi dalam menggapai tujuan dan menyingkirkan bahaya.”
Lalu beliau memandang ke arah para sahabat yang ikut serta dalam peperangan it, seraya berkata, “Wahai manusia, janganlah mempelajari ilmu nujum kecuali yang dapat anda gunakan untuk mencari petunjuk jalan di daratan atau di lautan… Bergeraklah dengan nama Allah.”[Ma’anil Akhbar, Shaduq : 191]
Markaz Ar-Risalah, Peran Akidah