Berita
Akal, Wahyu, dan Jalan Mengenal Tuhan (2/3)
Defenisi dan Tujuan Agama
Dalam bahasa Arab, secara leksikal, agama disebut dengan al-diin yang berarti ajaran, penyerahan, balasan dan ketaatan. Adapun arti al-diin secara gramatikal bisa didefenisikan sebagai berikut, “Al-Din atau agama adalah seluruh rangkaian ilmu, makrifat dan pengetahuan suci yang secara teoritis maupun praktis”, yakni seluruh tinjauan dan pandangan terhadap pengamalan-pengamalan yang mengandung muatan suci. Tentu defenisi ini bersifat luas dan tidak terbatas pada satu agama, sebab seluruh agama mempunyai konsepsi-konsepsi dan praktek-praktek yang dipandang suci oleh para penganutnya.
Adapun mengenai kebenaran ajaran suatu agama, hal tersebut menjadi model dalam pembahasan sistem keyakinan dan kepercayaan secara teoritis dan praktis, dimana akal dapat menguji sejauh mana kebenaran serta kesesuaian agama itu dengan hakikat realitas. Misalnya pandangan Islam tentang Tuhan berbeda dengan Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Tao, Konghucu dan agama-agama lainnya. Manakah diantara agama-agama tersebut yang mempunyai pandangan dan keyakinan tentang Tuhan yang dapat dibuktikan kebenarannya dan bersesuaian dengan akal dan realitas hakiki?
Jika defenisi tersebut di atas dihubungkan dengan Islam maka agama berarti seluruh makrifat yang berkaitan dengan Tuhan yang terdapat dalam teks-teks suci al-Quran dan sunnah nabi.
Agama dapat juga didefenisikan sebagai berikut, “Al-Diin yang berarti ketaatan mutlak dan balasan yang dijabarkan dalam bentuk keyakinan, akhlak, hukum-hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan individu dan masyarakat. Agama-agama langit adalah agama-agama yang berasal dari sisi Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi-nabi as, sebab itu masalah dan persoalan agama ditetapkan berdasarkan wahyu dan berita-berita yang diterima secara yakin. Makna leksikal al-diin adalah kepatuhan, ketaatan, penyerahan dan balasan. Dan makna istilahnya adalah keseluruhan keyakinan, akhlak, undang-undang dan aturan-aturan yang bertujuan mengatur urusan-urusan manusia dan membimbing mereka. Tidak semua ajaran itu seluruhnya benar dan dan juga sebaliknya, dan terkadang dalam beberapa ajaran bercampur antara benar dan batil. Jika keseluruhan ajarannya adalah benar maka disebut agama yang benar, dan begitu pula sebaliknya disebut agama yang batil atau percampuran antara benar dan batil.
Tujuan Agama
Secara global agama dipandang sebagai jalan dan petunjuk menuju kebahagiaan dan kesempurnaan. Dalam hal ini, kita tidak berbicara tentang agama-agama secara umum, kita hanya berbicara berkaitan dengan agama Islam. Kita meyakini secara argumentatif bahwa hanya agama Islam yang secara utuh memiliki kebenaran, baik secara teoritis maupun praktis.
Kitab-kitab suci yang diturunkan Tuhan beserta Rasul dan Nabi-Nya, semuanya mengajak manusia menyembah Tuhan dan mengesakan-Nya, berbuat baik kepada manusia dan menegakkan keadilan. Jelaslah agama dalam hal ini merupakan hidayah Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan Tuhan juga memberi petunjuk pada manusia dalam rangka menyampaikan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan kesempurnaan di akhirat. Yakni tujuan agama dalam konteks ini adalah memberi hidayah dan petunjuk kepada manusia, mengaktualkan potensi manusia dan mengangkat manusia ke maqam kedekatan Tuhan.
Hakikat agama adalah kebahagiaan, kedamaian dan kemenangan seluruh umat manusia. Agama adalah jalan mencapai puncak tujuan penciptaan dan puncak kesempurnaan manusia. Agama bertujuan mengangkat manusia dari alam materi yang rendah menuju ke alam malakuti yang tinggi. Agama berkeinginan membantu manusia menyelesaikan berbagai problematika di dunia ini. Agama ingin menghilangkan ketakutan manusia kepada kematian dengan memberikan harapan kepada kehidupan abadi. Agama ingin mendekatkan manusia kepada Tuhan Penciptanya Yang Esa.
Agama dan Fitrah Manusia
Sebelumnya telah dijelaskan pengertian dari al-diin (agama) baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya yang perlu dijelaskan adalah makna dan pengertian fitrah manusia.
Kata fitrah secara leksikal bermakna watak ciptaan suatu maujud, namun dalam istilahnya mempunyai pengertian yang bermacam-macam. Dan yang kita maksudkan dari pada fitrah disini adalah sisi-sisi universal yang terdapat pada manusia dan mendasari sifat dan kecenderungan hakiki manusia dalam menerima agama dan penyembahan kepada Tuhan.
Adapun mengenai fitrah manusia kepada Tuhan dan agama terdapat tiga pandangan:
- Membenarkan keberadaan Tuhan merupakan pengetahuan yang bersifat fitrah manusia. Fitrah dalam pengertian ini adalah fitrah akal yang berhubungan dengan sistim pengenalan dan pengetahuan manusia.
- Manusia secara hudhuri dan syuhudi memiliki pengetahuan kepada Tuhan, dan manusia – berdasarkan potensinya masing-masing – mendapatkan pengetahuan hudhuri dari Tuhan tanpa perantara.
- Fitrah manusia kepada Tuhan adalah kecenderungan alami dan esensi yang terdapat dalam diri manusia, yakni kecenderungan dan keinginan kepada Tuhan merupakan hakikat penciptaan manusia.
Syahid Murtadha Muthahari dalam mengomentari pandangan pertama berkata, “Sebagian orang yang berpandangan tentang kefitrahan pengetahuan kepada Tuhan yang mereka maksud dalam hal ini adalah fitrah akal. Mereka berkata bahwa manusia berdasarkan hukum akal yang bersifat fitrah tersebut tidak membutuhkan premis-premis argumentasi dalam menegaskan wujud Tuhan. Dengan memperhatikan tatanan eksistensi dan keteraturan segala sesuatu, maka otomatis dan tanpa membutuhkan argumen, manusia mendapatkan keyakinan tentang keberadaan Sang Pengatur dan Sang Perkasa.
Pandangan kedua tentang fitrah adalah manusia secara fitrah mempunyai pengetahuan hudhuri kepada Tuhan, bukan dengan ilmu hushuli yang diperoleh lewat argumentasi akal. Yakni manusia mempunyai hubungan yang dalam dan hakiki dengan Penciptanya, dan ketika manusia memandang ke dalam dirinya, dia akan menemukan hubungan tersebut. Karena kebanyakan manusia sibuk dengan kehidupan materi, maka dia tidak mendapatkan hubungan dengan Penciptanya. Tapi manusia pada saat memutuskan hubungannya dengan kesibukan-kesibukan kehidupan dunia, atau saat manusia kehilangan harapan dari sebab-sebab materi, barulah manusia merasakan hubungan tersebut yang terdapat dalam dirinya.
Fitrah dalam pandangan ketiga juga bukan fitrah akal atau pengetahuan hushuli yang sederhana, tetapi yang dimaksud adalah fitrah qalbu. Syahid Muthahari berkata, “Fitrah qalbu adalah manusia secara khusus diciptakan berkecenderungan dan berkeinginan kepada Tuhan. Dalam diri manusia telah diletakkan suatu bentuk insting pencarian Tuhan, kecenderungan kepada Tuhan, cinta dan penyembahan kepada Tuhan, sebagaimana insting kerinduan kepada ibu dalam watak seorang anak.
Anak-anak yang baru dilahirkan meskipun belum memahami makna kesadaran riil tetapi terdapat dalam dirinya apa yang tidak disadarinya berupa kecenderungan kepada ibu dan kerinduan padanya. Dalam wujud manusia terdapat kecenderungan seperti ini, suatu kecenderungan agung dan tinggi, yakni kecenderungan penyembahan dan kecenderungan kepada Tuhan. Kecenderungan inilah yang membawa manusia ingin berhubungan dengan suatu hakikat yang tinggi dan ingin dekat kepada hakikat tersebut serta mensucikannya. Fitrah manusia yang telah diciptakan Tuhan dan diletakkan pada diri manusia dalam bentuk tabiat penciptaan, dengan tabiat tersebut manusia menerima agama dan menyembah dan menyintai Tuhan.
Agama dan Akal
Salah satu hal penting yang menyibukkan pikiran dan menjadi wacana penting dikalangan para filosof dan teolog disepanjang sejarah adalah hubungan akal dan wahyu atau agama dan filsafat. Untuk lebih jelasnya pembahasan ini sebaiknya terlebih dahulu kita jelaskan makna dan pengertian akal dan wahyu.
Pengertian Akal
Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, dan ketika akal dihubungkan dengan manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman dan tadabbur. Jadi akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.
Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:
- Akal insting : Akal manusia di awal penciptaannya, yakni akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumen.
- Akal teoritis : Akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ilmu ontology), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan akhlak).
- Akal praktis : Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah dicerapnya.
- Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.
- Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.
- Akal substansi: sesuatu yang nonmateri dimana memiliki zat dan perbuatan.
Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan agama dan akal disini adalah akal yang berfungsi dalam argumentasi dan burhan dimana didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga nantinya dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama. (al-shia.org)
Bersambung………