Berita
Ahok, Susi dan Krisis Moral Bangsa
Oleh: Salman Parisi*
Saat ini kita sedang dibingungkan oleh situasi moral yang tak wajar, misalnya sulit dibayangkan ketika beberapa kali di media massa diangkat tentang seorang tokoh agama yang korup, padahal ajaran agama jelas melarangnya dan sejatinya tokoh itu sendiri yang menjadi pelaksana pertama dari ajaran itu. Ada oknum anggota DPR yang justru melanggar hukum, padahal dia yang membuat hukum dan berkewajiban untuk menjaganya. Ada guru yang seharusnya mendidik dan menjaga murid-muridnya, malah melakukan kejahatan seksual kepada anak didiknya itu. Bila diteliti, ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa seseorang yang seharusnya memegang amanah moral malah sebaliknya menjadi perusak dari amanah itu sendiri.
Situasi ini digambarkan oleh Yasraf Amir Piliang sebagai suatu keadaan yang sudah melewati batasan-batasan alamiah atau disebut dengan kondisi hyper. Disebut demikian karena biasanya yang melakuakan kejahatan adalah penjahat, sementara sekarang malah pejabat. Kondisi kejahatan seperti ini disebut hyper criminality. Yang biasa melakukan perkosaan biasanya orang biadab, sekarang malah orang beradab. Yang biasa melakukan pelanggaran moral biasanya orang tak bertitel akademis, malah sekarang titel pelakunya berantai. Kondisi keduanya disebut dengan hyper morality. Pada akhirnya karena semakin lama dalam kondisi tidak alamiah ini masyarakat cenderung tidak lagi memiliki kaidah moral yang ajeg. Ketika berbagai institusi moral malah mengkhianati moral, masyarakat menjadi kehilangan kepercayaan kepada mereka dan pada akhirnya mengalami krisis moral akut.
Dalam pandangan penulis ada banyak hal yang menjadi indikator krisis moral bangsa ini, tetapi saat ini akan melihat dua indikator saja, yaitu: pertama, kegagalan bangsa ini mendefiniskan tentang nilai-nilai moral ideal. Dan kedua, kegagalan melakukan klasifikasi antara moral dan sopan santun sehingga melahirkan sikap pragmatisme dan subjektifitas moral yang dilandasi motto tujuan menghalalkan segala cara.
Beda Moral dan Sopan Santun
Pertama-tama saya ingin sedikit membahas indikator pertama, yaitu kegagalan bangsa ini mendefinisikan moral-moral ideal. Dalam tulisan singkat ini saya tidak ingin terlalu ketat dengan ketepatan istilah, tetapi ingin fokus kepada masalah utama yang kita hadapi sekarang ini yaitu masalah krisis moral dan kegagalan bangsa ini membedakan antara moral dan sopan santun.
Secara ringkas moral adalah nilai-nilai luhur universal yang diakui oleh semua orang. Misalnya tentang keadilan, kejujuran, kerja keras, dan keberanian. Moral didasarkan suara hati nurani, komitmen, dan bersifat absolut dan tanpa pamrih. Misalnya, perintah jangan korupsi adalah perintah universal yang harus ditaati baik ada kesempatan maupun tidak, baik ada orang lain yang mengawasi ataukah tidak. Moral memandang orang dari sisi dalamnya. Sering kali kita ditipu oleh tampilan koruptor yang agamis atau santun, tetapi dalam pandangan moral karena dia adalah seorang koruptor maka dia tetap koruptor.
Sementara sopan santun hanya berlaku dalam pergaulan atau dalam suatu interaksi. Misalnya, buang angin dianggap tidak sopan bila dilakukan di hadapan orang lain, tetapi bila dilakukan sendiri dan tidak ada orang yang mendengarnya maka kita tidak dianggap tidak sopan. Di samping itu, sopan santun bersifat relatif. Hal ini karena etiket merupakan implementasi dari nilai-nilai universal tadi yang bisa berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Misalnya kewajiban menghormati orang yang lebih tua merupakan nilai universal yang diakui di manapun, namun pelaksanaannya akan berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Karena dua hal di atas maka sopan santun memandang manusia dari segi lahiriah saja. Karena itu banyak sekali penipu atau penjahat berpenampilan santun dan berkata-kata sopan demi untuk memuluskan tujuannya.
Indikator krisis yang pertama, bisa terlihat misalnya dari kasus Gubernur Ahok dan Menteri Susi. Bagi sebagian orang, gaya Ahok yang cenderung lugas, tegas dan tanpa pandang bulu dirasa arogan, pemarah dan tidak memelihara sopan santun. Namun, kalau kita melihat kesan Ahok sendiri terhadap para pejabatnya malah sebaliknya. Bagi Ahok banyak pejabat di DKI yang bicaranya sopan santun tetapi mereka adalah ‘bajingan.’ Tapi kalau dilihat dari sisi komitmen penegakan pemerintahan yang bersih, gebrakan-gebrakan Ahok sungguh mencengangkan: mana ada gubernur yang mau menghajikan marbot mesjid, menutup diskotek milik seorang konglomerat karena di dalamnya dilakukan transaksi narkoba dan penutupan Sea World karena tidak patuh kepada peraturan Pemda, sikap politiknya untuk keluar dari partai pengusung karena sudah tidak sevisi lagi, dan pemecatan pejabat yang tidak amanah.
Sikap Ahok ini menyadarkan kepada kita bahwa ada sesuatu yang berbeda antara sopan santun dan tindakan moral. Ternyata orang yang sopan belum tentu memiliki moral yang baik. Sebaliknya orang yang tampaknya arogan belum tentu dia tidak bermoral baik.
Kesadaran kita pun kembali ditonjok oleh kehadiran Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti. Bu Susi, yang menolak dipanggil Bu Menteri, menohok sopan santun bangsa ini dengan gayanya yang cenderung selengekan. Beliau seorang yang tidak lulus SMA, perokok, bertato dan ‘tidak berjilbab.’ Namun, dalam hari-hari pertamanya bekerja, dia telah melakukan gebrakan-gebrakan yang belum pernah dilakukan oleh seorang akademisi, seorang S3, seorang yang memelihara sopan santun atau seorang Muslim yang mengagungkan simbol-simbol agama. Gebrakan itu di antaranya mengubah jam kerja karyawan agar mereka lebih dekat dengan keluarga, melawan illegal fishing, menghibahkan gajinya untuk asuransi para nelayan. Semua tindakan ini belum tentu bisa dilakukan oleh orang-orang yang menganggap dirinya intelektual dan agamis. Malah dalam perkembangan terakhir, Susi juga secara bertahap mengurangi kecanduan merokoknya.
Indikator krisis yang kedua adalah masyarakat cenderung menjadi pragmatis dan menghalalkan segala cara. Bagi masyarakat, bukan lagi nilai benar dan salah atau baik dan buruk yang dikedepankan tetapi nilai untung dan rugi yang dipuja. Misalnya dalam berlalu lintas. Para pengendara akan menaati rambu-rambu lalu lintas kalau ada polisi yang menjaga dengan anggapan menaati lebih menguntungkan daripada ditilang polisi. Dengan kata lain, ketaatan berlalu lintas bukan didasarkan atas benar dan salah atau baik dan buruk tetapi atas itung-itungan untung rugi material, dan masih banyak contoh yang lainnya.
Di sinilah urgensi menghidupkan kembali misi dakwah Rasulullah Saw yang tergambar dalam sabda beliau, “Tidaklah aku diutus selain untuk menyempurnakan akhlak.” Kata menyempurnakan di sini seolah menyiratkan bahwa masyarakat Arab Jahiliyah saat itu sudah memiliki nilai-nilai akhlak tertentu. Penyempurnaan di sini, menurut hemat penulis, adalah memberikan landasan ilahiah pada moral atau transendensi moral. Karena selama nilai-nilai moral tidak didasarkan kepada nilai-nilai ilahiah hanya akan terjebak ke dalam moralitas komunal atau ras saja, yang justru berlawanan dengan nilai-nilai universal moral.
Di sisi lain, Haidar Bagir menyatakan bahwa dalam agama, akidah dan fikih masih koma yang harus disempurnakan dengan akhlak sebagai titiknya. Dengan kata lain produk agama yang rahmatan lil ‘alamin ada pada akhlak yang luhur, bukan pada sekedar simbol-simbol dan aspek lahir agama.
Akhirnya, mari kita kembali menempatkan nilai-nilai moral sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Hal ini agar bangsa ini, yang memang sudah dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, gampang tersenyum, jemaah hajinya terkenal penurut, juga menjadi bangsa yang terkenal sebagai bangsa yang tidak korup, disiplin, dan menghargai waktu sehingga paradoks antara sopan santun pribadi yang baik dan sistem sosial yang gagal tidak lagi terjadi.
*Penulis adalah dosen di STAI Madinatul Ilmi, Depok, Jawa Barat.