Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Ahli: Diperlukan Revisi UU Penodaan Agama

Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) perlu direvisi untuk mencegah salah penafsiran terhadap norma-norma yang ada di dalamnya. Hal itu disampaikan oleh Direktur Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM Zainal Abidin Bagir selaku Ahli yang dihadirkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam sidang lanjutan UU Penodaan Agama. Sidang kelima belas Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 ini digelar pada Selasa (20/2) di Ruang Sidang Pleno MK.

Menurut Zainal Bagir, salah satu cara merevisi adalah Mahkamah Konstitusi (MK), memberi penafsiran tegas terhadap Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam praktik. Ia menyebut ketiga pasal tersebut membuka ruang tafsir yang besar terhadap pokok ajaran suatu agama. Hal ini dapat berakibat serius terhadap kehidupan beragama di Indonesia.

“Konsekuensi yang serius dari undang-undang ini tidak sekadar melampaui urusan keyakinan keagamaan karena orang yang dihakimi dengan undang-undang ini, hak-hak yang lain, seperti hak sosial, politik, ekonomi. Karena tiga hal ini, menurut saya, Mahkamah Konstitusi bisa memberikan tafsir,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.

Zainal menjelaskan, perbedaan penafsiran tentang suatu agama sering dipahami sebagai penyimpangan atas ajaran-ajaran agama dari kelompok dominan atau arus utama. Sementara, kelompok dominan setiap agama itu berbeda-beda tergantung dari tempat dan bangsa yang mendiaminya. Sebab, kata Zainal, sejarah agama-agama adalah sejarah perbedaan tafsir. Seluruh agama tanpa terkecuali dalam sejarahnya pasti memiliki perbedaan tafsir.

“Sehingga nyaris mustahil menemukan pandangan yang obyektif tentang pokok-pokok agama yang benar. Saya bilang obyektif maksudnya yang tidak terpengaruh dari sudut pandang aliran tertentu,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Zainal memandang MK perlu memberikan batasan atas frasa “penafsiran tentang suatu agama” agar pasal tersebut agar tidak melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Ruang tafsir dalam pasal itu perlu dibatasi sebagai dasar pengambilan kebijakan negara atas UU Penodaan Agama.

“Jadi kita tidak masuk ke pembatasan ruang teologis yang selalu ada perbedaan, tapi ruang tafsir negara. Tujuannya agar keputusan apa pun yang diambil atas undang-undang ini tidak bertentangan dengan konstitusi, termasuk hak sipil politik dan ekonomi kelompok-kelompok yang terdampak,” kata Zainal.

UU Penodaan Agama Bukan Solusi Kerukunan

Sepekan sebelumnya, dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan oleh Kupas (Komunitas Pembelajar Islam) dan YLBHU (Yayasan Lembaga Bantun Hukum Universalia), di Jakarta (15/02), Zainal Bagir menilai ada pandangan keliru yang mengatakan bahwa UU Penodaan Agama sebagai solusi untuk menjamin kerukunan. “Ada pertarungan kepentingan antar para pengguna pasal atas nama kerukunan bergama tapi justru melahirkan hal yang terbalik dari yang diharapkan,” kata Zainal. Bahkan menurutnya, angka kasus penggunaan pasal dalam undang-undang ini naik dalam beberapa tahun terakhir. “Yang sebelumnya dari tahun 1965 sampai tahun 2000 hanya tercatat 10 kasus, dari tahun 2000 sampai sekarang ada 75 kasus,” ungkapnya.

“Maka, kami mengusulkan adanya kombinasi solusi yang bersifat legal dan non legal. Dalam hal tertentu bisa kita menempuh jalur hukum tetapi ada hal-hal yang tidak perlu hukum. Jadi jangan sampai menjadi euforia demokrasi bahwa ada supremasi hukum, yang seakan-akan semua masalah bisa diselesaikan dengan hukum. Tetapi banyak hukum yang justru tidak sesuai. Artinya, kita perlu melihat masalah apa yang akan diselesaikan dengan UU ini,” ungkapnya.

Sementara itu, Komnas HAM sendiri pernah menekankan perlunya revisi UU Penodaaan Agama ini karena dinilai terdapat pasal-pasal yang tidak sejalan dengan kewajiban negara melindungi hak warga negara. Bahkan, ada pula yang mengumpulkan petisi untuk Presiden Jokowi agar menghapus Pasal 156A tentang penodaan agama. (M/Z)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *