Berita
Agus Sunyoto: Lebih Kritislah Membaca Sejarah Nusantara
“Jika dahulu Nusantara mencapai kejayaannya, saat ini tugas kita belajar dari fakta sejarah, untuk mencapai cita-cita bangsa melalui ajaran luhur yang terkandung di dalamnya. Bagaimana kita mengenal jati diri bangsa, sedangkan dengan sejarahnya saja tidak tahu?”
Kalimat tersebut disampaikan oleh pembawa acara dalam diskusi bulanan “Ngaji Sejarah Bareng LESBUMI PBNU” di kantor PBNU, Jakarta Pusat (29/2).
Diskusi ketiga kali ini mengambil tema “Membaca Secara Kritis-Analitis Historiografi Nusantara Sebagai Rujukan Sejarah”, dengan narasumber Ketua Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI) PBNU, KH.Ng Agus Sunyoto.
Historiografi, sebagai ilmu yang mempelajari praktik ilmu sejarah dalam istilah Jawa biasanya disebut dengan cerita Babad yang memang memiliki perbedaan dengan naskah-naskah kuno zaman Majapahit.
Pada zaman Majapahit yang terkait dengan keadaan wilayah Majapahit itu bisa kita baca dari laporan Prapanca yang ditulis dalam bentuk Kidung Desa Warnana yang berarti “perjalanan ke desa-desa” yang kemudian kita kenal dengan Negara Kertagama.
“Itu menjelaskan keadaan di berbagai tempat di Majapahit pada tahun 1260-an,” terang Agus Sunyoto.
Namun, penulis buku “Atlas Walisongo” ini juga mengingatkan untuk kritis dan berhati-hati dalam menjadikan Historiografi sebagai rujukan. Dia menegaskan pentingnya membandingkan dengan sumber-sumber yang lebih terpercaya seperti prasasti, atau laporan yang dibuat oleh orang-orang pada masa itu.
“Kita bandingkan supaya data itu bisa dipercaya sebagai sumber yang dijadikan landasan dalam penyusunan sejarah,” tegas Agus.
Kekhawatiran Ketua LESBUMI PBNU ini bukan tanpa alasan sebab ada sejumlah Historiografi yang sengaja dibuat oleh pihak kolonial sebagai sebuah upaya proxy war, melemahkan kelompok Islam yang pada masa Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan sengit terhadap penjajah Belanda.
Historiografi yang oleh Agus Sunyoto digolongkan sebagai naskah-naskah kolonial memiliki beberapa ciri, antara lain adalah ditandai dengan adanya konflik dan transvaluasi kedudukan penyebar Islam. Dalam naskah kolonial tokoh-tokoh Walisongo, sebagai penyebar Islam digambarkan sebagai pengganggu, penghancur dan pengrusak peradaban masyarakat Indonesia.
“Itu cirinya dah, kita akan temukan itu,” terang Agus Sunyoto. “Maka langkah awal yang dibikin oleh Belanda adalah Babad Kediri dan itu usaha untuk mendiskreditkan Walisongo,” lanjutnya.
Sayangnya, menurut Agus Sunyoto, selama bertahun-tahun kita menggunakan naskah kolonial itu untuk menulis sejarah Indonesia dan yang terjadi justru perlawanan orang-orang Jawa terhadap agama Islam.
Agus Sunyoto mengingatkan pentingnya lebih berhati-hati dalam membaca Historiografi. Cerita-cerita yang sifatnya tidak masuk akal harus kita singkirkan dan juga jangan sampai mencampur adukkan peristiwa satu dengan peristiwa yang lain, sehingga sering terjadi tumpang tindih dalam hal kronologi waktu.
“Maka itu kita harus cermat, cerita-cerita itu mesti kita bandingkan,” pungkas Agus Sunyoto. (Lutfi/Yudhi)