Berita
Agama dan Tradisi Laksana Dua Sisi Mata Uang
Perayaan hari lahir Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (LESBUMI) ke-54 di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta (24/3) dengan tajuk “Anugerah SAPTAWIKRAMA LESBUMI PBNU” dihadiri Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Dalam sambutannya Menag Lukman menyatakan bahwa SAPTAWIKRAMA atau tujuh strategi kebudayaan yang dicanangkan LESBUMI merupakan indikator bahwa lembaga ini memiliki kemampuan antisipatif untuk merespon perubahan yang terjadi di tengah masyarakat saat ini.
“Ini merupakan indikator LESBUMI memiliki kemampuan merespon perubahan masyarakat,“ terang putra salah seorang pendiri LESBUMI, KH. Saifudin Zuhri ini.
Menteri Agama kemudian menjelaskan bahwa tradisi dan agama seperti keping mata uang logam yang memiliki dua sisi. Meskipun keduanya dapat dibedakan tapi tidak bisa dipisahkan karena memiliki hubungan keterkaitan yang erat.
Budaya sendiri menurutnya, hakikatnya memadukan antara agama dan tradisi. Hal inilah menurut Menag yang seringkali disalahpahami umat Islam sendiri, karena memang implementasi agama itu berbeda-beda di satu daerah dengan daerah lain.
“Prinsip-prinsip dasar nilai-nilai Islam itu sama, tapi bagaimana implemantasi nilai-nilai itu yang menyebabkan adanya keragaman,” jelasnya.
Menag menegaskan bahwa perbedaan ini sesungguhnya adalah kekayaan yang kita miliki. Maka dia mengingatkan agar perbedaan-perbedaan ini janganlah dihadapkan antara satu dengan yang lain, apalagi hingga berujung saling menyalahkan.
“Jangan lalu kemudian saling menyalahkan apalagi terus saling mengkafir-kafirkan.”
Lebih lanjut Menteri Agama menegaskan bahwa di sinilah peran budaya berpengaruh sangat besar karena keterkaitan tradisi dengan agama. Termasuk sebaliknya, implementasi agama dalam tradisi juga memiliki keterkaitan yang tidak terpisahkan.
Di akhir sambutannya, Menag berpesan bahwa budaya adalah instrumen dan yang lebih diutamakan adalah isinya dan isinya tersebut adalah nilai-nilai agama. Selain menjaga tradisi, juga harus memaknai eksistensinya, substansinya, sehingga tidak akan kehilanggan ruh dari budaya yang kita kembangkan. (Lutfi/Yudhi)