Berita
Ada Apa Dengan Islam Nusantara?
Agustus mendatang, Indonesia tak hanya akan memperingati hari kemerdekaannya tapi juga ada dua momen besar yang akan dilaksanakan pada bulan yang sama yaitu Muktamar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Nahdlatul Ulama mengangkat tema Muktamar “Islam Nusantara”, sementara Muhammadiyah mengusung “Islam Berkemajuan”. Di antara kedua tema tersebut tema Islam Nusantara menjadi perbincangan yang intensif di berbagai tempat, salah satunya pada “Majelis Kemisan” yang dilaksanakan di rumah dinas Menag RI, Lukman Hakim Syaifuddin, Selasa (7/7) lalu di Jakarta.
Cendekiawan Muslim sekaligus Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra yang menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut menerangkan bahwa Islam Nusantara hanya ada di Indonesia. Yaitu Islam yang berbunga-bunga karena verbakulisasi, membahasakan istilah-istilah Islam dengan bahasa lokal.
“Dari Shalat menjadi Sembahyang,” kata Azyumardi memberikan contoh.
Dari situ kemudian berlanjut pada pribumisasi, yaitu praktik budaya yang diadopsi melalui proses Islamisasi sejumlah budaya yang ada di masyarakat. Sehingga dengan semua proses tersebut membuat Islam melekat dan tidak bisa dipisahkan dengan budaya yang ada di Indonesia dan membuat ekspresi Muslim Indonesia menjadi beda.
“Islam yang inklusif, toleran dan akomodatif itu hanya ada di Indonesia”, tegas Azyumardi.
Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan
Pembicara kedua, Fahmi Salim Zubair yang hadir mewakili Muhammadiyah mengungkapkan kekhawatirannya atas penggunaan istilah “Islam Nusantara” sebagai tema yang diangkat oleh Nahdlatul Ulama, sebab menurutnya secara politis pemakaian istilah ini harus hati-hati dan proporsional digunakan agar tidak merugikan kelompok yang lain, seperti Muhammadiyah yang telah memilih tema “Islam Berkemajuan”.
“Jangan sampai lalu ini kemudian dibentur-benturkan,” tegas Fahmi.
Kekhawatiran Fahmi ditanggapi oleh Ulil Abshar Abdallah sebagai pembicara terakhir dengan menjelaskan bahwa tidak ada maksud dari kalangan Nahdlatul Ulama yang mengangkat tema “Islam Nusantara” untuk diperhadapkan dengan Muhammadiyah yang mengusung tema “Islam Berkemajuan”.
“Sejarah persaingan antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sudah berakhir,” tegas Ulil. “Sekarang Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sudah tidak ada bedanya,” lanjutnya.
Islam Nusantara tidak boleh dikesankan seolah-olah anti kosmopolitanisme atau Indonesia Sentris, sebab menurut Ulil elemen penting dalam Islam itu bukan saja lokalitas yang kuat tapi juga ada kosmopolitanisme. Maka dari itu, istilah “Islam Nusantara” yang diangkat oleh Nahdlatul Ulama dan “Islam Berkemajuan” yang diusung oleh Muhammadiyah sebagai tema muktamar harus saling bersinergi.
Menutup pembicaraannya Ulil menegaskan bahwa jangan sampai dengan adanya satu wacana yang diangkat, kemudian menegasikan keberadaan kelompok lain.
“Itu tidak boleh terjadi!” pungkas Ulil. (Fuad/Yudhi)