Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Ada Apa dengan Bahrain ?

ABI Press_Ada Apa dengan Bahrain

Desember silam dunia internasional kembali digemparkan melalui berita penangkapan yang dilakukan oleh otoritas Bahrain terhadap seorang ulama muda yang kritis, Sheikh Ali Salman, dengan tuduhan terkesan dibuat-buat seperti “menyerukan perubahan politik menggunakan cara-cara melanggar hukum” serta “merencanakan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.” Inilah episode terbaru dari serangkaian represi oleh monarki Al-Khalifa di negeri Teluk yang bergolak sejak dekade 1990 tersebut.

Sheikh Salman sebagai Sekretaris Jenderal gerakan oposisi Al-Wefaq yang dibentuk pada 2002 ditahan setelah mengadakan demonstrasi mengkritik parlemen selepas ibadah Jumat di ibukota Manama. Sayangnya, peristiwa penting ini tidak begitu terekspos pemberitaan. Di Indonesia sendiri gaungnya kalah dengan hingar bingar drama Cicak versus Penghuni Kebun Binatang.

Sebenarnya apa yang tengah terjadi di Bahrain? Benarkah seperti diberitakan selama ini, bahwa Bahrain dilanda konflik yang murni bernuansa sektarian antara Sunni-Syiah?

Lewat tulisan ini penulis mencoba menganalisis sedikit pertanyaan-pertanyaan di atas sekaligus memperkaya tulisan mengenai kisah perlawanan rakyat, di bawah tirani Raja Al-Khalifa yang jarang diperbincangkan di Tanah Air.

Sengaja Dikonstruksi

Selama ini media Barat seperti BBC cenderung menguatkan bahwa apa yang terjadi di Bahrain adalah murni konflik Sunni-Syiah. Memang fakta lapangan menunjukkan bahwa secara komposisi keagamaan, monarki Al-Khalifa beserta kroninya baik di tubuh elite birokrasi maupun militer didominasi kelompok Sunni.

Sedangkan di sisi lain, secara demografis mayoritas penduduk Bahrain adalah Syiah. Tidak dapat dipungkiri jika variabel perbedaan pandangan agama atau ideologi antara massa rakyat dengan elite yang memerintah bisa menjadi salah satu penyebab timbulnya gejala deprivasi relatif (kondisi psikologis ketika rakyat sudah tidak percaya lagi akan legitimasi pemerintah berkuasa) hingga sampai pada taraf konflik terbuka.

Akan tetapi teramat naif jika kita hanya melihat perbedaan mazhab sebagai faktor tunggal penyebab bergejolaknya Bahrain. Pandangan simplistik semacam ini dapat menyesatkan. Sebab, dalam kajian akademik mengenai gerakan sosial, konflik terbuka antara massa rakyat yang teroganisasi dengan rezim pemerintah pastilah tidak hanya bersumber dari satu variabel saja. Ataukah, sebetulnya memang ada pihak-pihak tertentu yang sengaja memunculkan aspek sektarian sebagai penyebab rentetan aksi demonstrasi di Bahrain?

Menarik untuk menyimak laporan tertulis Gregory Gause dalam buku antologi Quintan Wiktorowicz berjudul Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial (2012). Reportasenya terhadap aksi protes pertama sepanjang 1994-1998 menunjukkan fakta bahwa isu sektarian hanyalah pemanis yang sengaja dikonstruksi rezim berkuasa via media agar masyarakat Bahrain maupun publik internasional terkecoh tanpa pernah mengerti apa sebenarnya akar masalahnya:

“Gangguan yang paling serius terkonsentrasi di kampung dan pedesaan Syiah. Mayoritas Syiah di pulau itu secara historis berada di bawah kekuasaan Khalifah yang Sunni (keluarga yang berkuasa), yang sejauh ini sangat pintar membingkai perlawanan politik dalam kerangka sektarian untuk memecah-belah gerakan oposisi. [Lebih dari itu], banyak warga Sunni Bahrain yang bersimpati pada reformasi politik telah dikesampingkan oleh kekerasan dalam komunitas-komunitas Syiah [yang menyertai pembangkangan].”

Berdasarkan pengamatan Gause tersebut, jelas sudah bagi kita bahwa sebetulnya ini bukanlah konflik sektarian seperti yang lazim digembar-gemborkan.

Apa yang sebenarnya terjadi adalah perlawanan rakyat tanpa memandang mazhab dan kelas sosial menuntut agar Al-Khalifa mengembalikan kedaulatan konstitusi serta menjamin hak sosial politik bagi seluruh warga negara. Jika ini murni persoalan perbedaan mazhab, maka sungguh absurd bila terdapat warga Sunni yang bersimpati dengan gerakan oposisi Al-Wefaq.

Terlebih berdasarkan wawancaranya dengan koresponden Press TV sebelum penangkapannya, Sheikh Ali Salman menyebutkan bahwa terdapat pula segelintir warga Syiah yang bekerja sebagai intelijen (mukhabarat) bagi rezim penguasa. Perlu dicatat bahwa berulang kali Al-Khalifa berikut kroninya mengingkari janji politik kepada masyarakat untuk melakukan reformasi.

Pada demonstrasi besar-besaran pada 2011, pemerintah mengatakan bakal melakukan perubahan. Nyatanya justru gelombang penangkapan maupun penjatuhan vonis mati terhadap warga sipil semakin meningkat.

Agar fakta jika Bahrain sedang dilanda krisis politik karena ulah Al-Khalifa sendiri yang otoriter dan tidak patuh pada konstitusi tidak terendus oleh publik dunia, maka seperti dicatat oleh Gause, pemerintah membingkai peristiwa ini dalam isu sektarian. Mulai dari kebijakan diskriminatif tidak membolehkan warga Syiah menduduki jabatan di pos militer dan pemerintahan, mempersulit akses mengenyam pendidikan, mengundang imigran asing dari Asia Tengah untuk dipekerjakan sehingga penduduk asli justru terasing di negerinya sendiri, serta sengaja memberikan akses istimewa bagi komunitas non-Syiah. Kesemua ini adalah upaya pemerintah mengadu domba masyarakatnya sendiri sehingga konsentrasi mereka untuk bersatu melawan kesewenangan rezim kian terpecah.

Rezim Al-Khalifa tidak rela melihat adanya persatuan lintas keyakinan yang berpotensi melemahkan legitimasinya sebagai penguasa Bahrain. Lewat adu domba seperti ini, Al-Khalifa hendak menyesatkan umat Muslim internasional dan semakin mengipas-ngipasi perbedaan mazhab sebagai sumber ketegangan. Cara ini mirip taktik kolonial Belanda lewat devide et impera untuk melemahkan perjuangan bangsa dalam melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

Akhirul kalam, setelah menemukan fakta lain dari krisis Bahrain yang rupanya dikonstruksi oleh rezim penguasa, pelajaran apakah yang bisa kita ambil untuk konteks Indonesia?

Jawabnya mudah saja: waspadalah dengan misi politis pihak tertentu yang tidak menyukai kerukunan antarumat dan doyan mempertajam aspek perbedaan. (Fikri/Yudhi)