Berita
Abbas bin Ali, Sang Pembawa Panji Kebenaran
Abbas dilahirkan pada 28 Hijriyah dari pasangan mulia Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Fathimah bin Hizam bin Khalid (Ummul Banin). Imam Husain sangat mencintai Abbas, suatu hari Imam Ali as memeluk dan menciuminya sambil menangis. Imam mengetahui perjalanan hidup yang akan dilalui putranya ini. Beliau melihat dengan mata hatinya bahwa kedua tangan Abbas akan terputus dari tubuhnya yang berlumuran darah dalam perjuangannya membela Imam Husain as.
Abbas adalah profil pemuda yang selalu siap berkorban. Hatinya dipenuhi keimanan, akhlak mulia, dan pemberani. Karena itulah Abbas digelari Abul Fazhl (orang yang punya banyak keutamaan). Ia selalu menemani ayahnya di berbagai peperangan, seperti Jamal, Shiffin dan Nahrawan. Ketika di medan Karbala, dirinya yang memegang panji saudaranya, Imam Husain as.
Pada pertempuran Shiffin, diriwayatkan bahwa Abbas tampil sebagai pemuda jantan dan berwibawa. Wajahnya ditutupi kain sehingga tak seorang pun mengetahui siapa dirinya. Pada pertempuran itu, Muawiyah penasaran ingin mengetahui siapa pemuda yang wajahnya ditutup kain itu. Ia lalu memanggil seorang anak buahnya bernama Ibnu Syatsa.
Setelah menghadap Muwiyah, Ibnu Syatsa menyuruh salah satu dari tujuh anaknya untuk membunuhnya. Salah satu anaknya pun maju menghadapi orang bercadar tersebut, namun langsung terbunuh. Ia lalu menyuruh anak kedua, ketiga sampai ketujuh, dan semuanya terbunuh. Akhirnya Ibnu Syatsa turun tangan menghadapi orang itu. Terjadilah duel yang sangat seru, meski akhirnya Ibnu Syatsa tewas.
Amirul Mukminin Ali bin Abin Thalib as memanggil pemuda bercadar itu. Kemudian Imam Ali as membuka kain yang menutupi wajahnya dan menciumnya. Pemuda bercadar itu tak lain dari putranya sendiri, Abbas bin Ali
Diriwayatkan pula bahwa pada malam-malam di Karbala, seluruh pengikut Imam Husain as sibuk menghabiskan malam itu dengan ibadah kecuali Abbas. Ia menunggang kuda sambil menghunus pedangnya mengitari perkemahan untuk melindungi putra-putri Rasulullah saw dan Ahlulbaitnya.
Ketika Imam Husain as mengizinkan para pengikutnya untuk tidak ikut bertempur, orang yang pertama kali menanggapinya adalah Abbas. Ia berkata, “Subhanallah, akankah kami lakukan itu agar terhindar dari kematian? Apabila kami akan melakukan itu, niscaya Allah tidak akan memandang kami untuk selama-lamanya.” Inilah contoh keteguhan dan kesetiaan Abu Fadhl Abbas bin Ali.
Syimir yang berasal dari kabilah Bani Kilab datang menemui Abbas dan saudara-saudaranya sambil membawa surat perlindungan dari Ibnu Ziyad. Ia berteriak-teriak
“Di manakah orang yang satu keturunan dengan kami.”
Tidak seorang pun yang menjawabnya. Melihat itu, Imam Husain as berkata kepada para sahabatnya,
“Jawablah, walaupun ia orang fasik, ia termasuk paman kalian.”
Sebagian sahabat Imam yang berasal dari Bani Kilab berkata
“Apa yang kau inginkan, wahai Syimir?”
“Kemarilah kalian, akan kami lindungi agar tidak ikut terbunuh dalam pertempuran ini,” balas Syimr.
“Alangkah busuknya apa yang kau bawa, akankah kami meninggalkan pemimpin kami, saudara-saudara kami lalu pergi di bawah perlindungan kalian?,” jawab pengikut Imam as.
Abbas yang masih keturunan Bani Kilab membawa saudara-saudaranya tetap teguh untuk membela Imam Husain as sampai titik darah penghabisan. Inilah salah satu bentuk kesetiaan mereka
Fajar hari kesepuluh Muharram telah terbit, para pembela kebenaran sudah siap siaga melawan para prajurit pembela kebatilan, sesaat kemudian dimulailah pertempuran yang sangat dahsyat, para pembela Imam Husain as dan keluarganya terjun ke medan tempur. Satu per satu mereka berguguran menemui kesyahidan, darah-darah suci mereka tercurah membasahi bumi Karbala. Abbas bersama tiga orang saudaranya melindungi Imam Husain as dari gempuran pasukan musuh di tengah kecamuk pertempuran. Abbas mendekati Imam Husain as lalu berkata,
“Wahai saudaraku, Adakah yang perlu kulakukan lagi.?”
“Wahai saudaraku, engkau pemegang panjiku, seandainya engkau gugur maka akan cerai berilah pasukan kita,” jawab Imam as.
Abbas berkata lagi, “Dadaku terasa sesak, aku sudah tidak berharap banyak dari kehidupan ini.”
Imam Husain as menjawab, “Wahai saudaraku, carilah air untuk memberi minum anak-anak yang kehausan.”
Mendengar permintaan saudaranya, dengan cepat Abbas memacu kudanya menuju Sungai Efrat sambil membawa qirbah. Mengetahui itu, pasukan Umar bin Saad segera mengejar dan menghujaninya dengan panah.
Dengan keberanian yang luar biasa, Abbas menghadapi pasukan musuh yang mengejarnya dan menghalau mereka hingga akhirnya sampai ke tepi sungai. Karena rasa haus yang sangat hebat, Abbas langsung mengambil air sungai dengan tangannya. Namun, ketika air hampir menyentuh bibirnya, ia teringat saudaranya, Imam Husain as dan keluarganya yang sedang kehausan. Serta merta ia mengurungkan niatnya untuk minum. Ia lalu mengisi qirbah yang dibawanya, yang lantas diletakkan di pundaknya. Abbas bergegas meninggalkan tempat itu. Di perjalanan, ternyata pasukan musuh sudah menghadang dan mengepungnya dari berbagai penjuru.
Abbas bertarung dengan sangat gagah berani dan banyakmenewaskan musuh. Namun, akibat dikeroyok pasukan yang sangat banyak, akhirnya tangan kanannya putus oleh tebasan pedang Naufal bin Adraq. Setelah tangan kanannya putus, tempat air kini dipegangi tangan kirinya sambil terus mempertahankan diri. Ia bersyair,
“Demi Allah, walaupun kalian telah memutuskan tangan kananku, aku akan tetap berpegang pada agamaku.”
Ketika sedang mempertahankan diri dari keroyokan musuh-musuhnya, tiba-tiba datanglah Hakim bin Thufail membokong dan menebas tangan kiri Abbas. Sebelum tangan kirinya jatuh ke tanah, dengan cepat qirbah yang berisi air itu dipindahkan ke mulutnya. Dengan giginya, ia menggigit qirbah tersebut agar tidak jatuh. Namun tanpa diduga sebilah lembing menyobek qirbah itu hingga airnya tumpah. Tak lama kemudian, sebilah lembing lainnya menghujam tubuh Abbas, hingga ia terjatuh dari kudanya. Sambil menahan rasa sakit, ia memanggil saudaranya, Imam Husain as,
“Wahai saudaraku, datanglah, kemarilah.”
Dengan cepat, Imam Husain as mendatanginya, namun didapatinya Abbas sudah syahid. Sambil menangis, Imam as berkata,
“Sekarang patahlah punggungku, hilanglah dayaku.”
Diriwayatkan bahwa Imam Husain as tidak bisa mengangkat dan membawa jenazah saudaranya ke dalam kemah karena badannya yang sudah tercabik-cabik, hingga sulit membawanya secara utuh.
Itulah akhir kehidupan Abul Fazhl Abbas. Di usia 34 tahun, ia menemui kesyahidan. Ia menyusuri jalan yang telah ditempuh para syuhada pendahulunya. Imam Ali Zainal Abidin as menceritakan kepahlawanan Abbas, pamannya, “Semoga Allah menyayangi Abbas, pengorbanannya begitu besar. Ia pertaruhkan jiwanya demi keselamatan saudaranya walaupun kedua tangannya harus terputus dari tubuhnya. Allah menganugerahinya suatu tempat di surga yang sangat dirindukan oleh para syuhada di hari kiamat kelak.”
Setelah lewat tiga hari peristiwa Karbala, datanglah sekelompok orang dari Bani Asad ke tempat terjadinya pertempuran dengan maksud menguburkan jenasah para syuhada. Ketika mencoba mengangkat jenasah Abbas untuk dikuburkan, mereka tidak mampu melakukannya secara utuh karena banyaknya luka yang diderita Abbas. Apabila mereka mengangkat tubuh sebelah kirinya, maka yang sebelah kanan akan terjatuh, begitu sebaliknya. Hal itu mengisyaratkan kepada mereka agar jenazahnya dikuburkan di tempat syahidnya yang berdekatan dengan saudaranya, Imam Husain as.
Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Abu Fazhl Abbas. Kesejahteraan semoga tercurah padamu, wahai sang purnama Bani Hasyim, pemegang panji Islam dan kebenaran, wahai teladan kebenaran. Engkau hidup sebagai pejuang dan syahid sebagai pejuang sejati. Semoga Allah memudahkan kami untuk mengikuti perjuanganmu, perjuangan melawan kebatilan, perjuangan bersama orang-orang yang tertindas. Dengan pengorbananmu, berkibarlah panji Islam di segenap penjuru. Semoga Allah dan keberkahan-Nya tercurah bagimu.
Musa Sadr, Syuhada Padang Karbala