Ikuti Kami Di Medsos

Berita

49% Pelajar Setuju Aksi Radikal Agama!

H. Bambang Eka Wijaya

“JALAN kekerasan ternyata jadi pilihan pelajar negeri kita justru lewat mata pelajaran agama!” ujar Imar. “Hasil penelitian terhadap pelajar SMP-SMA oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian dipimpin Prof. Bambang Pranowo dari UIN Syarif Hidayatullah, menyebutkan 49% pelajar setuju aksi kekerasan berlabel agama! Menurut pelajar, Pancasila juga tak relevan!” (Koran Tempo, 26-4)

“Gawat sekali hasil penelitian itu!” sambut Amir. “Tapi pasti ada alasan rasional jika sejumlah besar pelajar saksama memilih jawaban senada begitu! Misal, apa lewat jalan nonkekerasan dan nonlabel agama, seperti pengadilan, demokrasi, atau pemerintahan bangsa kita bisa menyelesaikan aneka masalah benar-benar adil? Jika di jalan-jalan itu ternyata dinilai gagal oleh para pelajar, jalan kekerasan berlabel agama sebenarnya justru merupakan peluang sempit yang memang kita sisakan sebagai alternatif tunggal buat mereka!”

“Berarti bukan salah pelajaran atau pengajaran agama di sekolah! Melainkan, justru realitas kehidupan berbangsa kita yang membuat mereka tak punya pilihan lain!” tegas Umar. “Karena itu, jelas keliru dan sia-sia menjadikan mata pelajaran agama di sekolah sebagai scape goat—kambing hitam—dari sikap pelajar kita yang cenderung gandrung kekerasan itu! Pokok masalahnya justru pada cara orang tua mengelola negara-bangsa yang nyata-nyata telah gagal mewujudkan keadilan lewat berbagai dimensi formal!”

“Realitas sedemikian tak bisa dibantah!” timpal Amir. “Artinya, pilihan berani 49% pelajar itu yang harus dijadikan dasar bagi orang tua—terutama yang berkuasa—untuk introspeksi, kenapa gagal menciptakan keadilan lewat jalan nonkekerasan, sehingga jalan kekerasan jadi pilihan pelajar! Itu juga tak terlepas dari penilaian pelajar, Pancasila tidak relevan—karena yang selama ini mereka saksikan cuma praktek seolah-olah itu Pancasila, bukan praktek dari Pancasila yang sejatinya! Jadi, untuk mengubah kesan para pelajar itu terhadap Pancasila, para aktor kekuasaan—dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif—harus mempraktekkan yang sejatinya nilai-nilai Pancasila!”

“Dengan demikian lebih jelas, yang salah bukan pelajaran agama di sekolah, apalagi NII gadungan yang cuma cari korban pemerasan lewat hipnotis dan cuci otak!” tegas Umar. “Kesalahan justru pada orang tua yang berkuasa, karena telah gagal mewujudkan keadilan dalam berbagai dimensi dan substansinya dengan cara-cara nonkekerasan, serta mempraktekkan Pancasila sekadar dalam keseolah-olahan, tidak tulus mengatualisasikan Pancasila dengan nilai-nilai yang sejatinya!” ***

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *