Artikel
12th International Congress of Women Qur’an Researches
Oleh : Musdah Mulia
Baru-baru ini sebuah perhelatan agung diselenggarakan di Teheran, ibu kota Republik Islam Iran. Kegiatan berskala dunia ini bernama Konferensi Internasional ke-12 Perempuan Peneliti Qur’an (12thInternational Congress of Women Qur’an Researches). Telah 12 kali konferensi ini diadakan dan mengundang para perempuan ilmuwan dari berbagai negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia.
Acara berlangsung pada tanggal 12 Maret 2015, bertempat di Tehran Milad Tower International Convention Center, letaknya di tengah kota Teheran, di samping menara Teheran yang terkenal itu. Tepatnya di atas sebuah bukit sehingga terlihat pemandangan indah di sekitarnya. Hadir sekitar dua ribuan undangan, umumnya perempuan intelektual, mahasiswa dan kaum terpelajar dari berbagai perguruan tinggi di Iran. Selain itu, juga dihadiri sekitar 30 perempuan cendekiawan dari berbagai wilayah Islam.
Konferensi perempuan ini diprakarsai dan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Iran. Penyelenggaraan acara sangat apik dan profesional, sungguh well organized, dihadiri para pejabat tinggi dan tertinggi negara Iran serta para mullah atau pemuka agama ternama. Mereka semua memberikan sambutan dengan antusias dan menyimak seluruh rangkaian acara dengan tertib. Presiden Iran dan Mullah tertinggi biasanya hadir, namun kali ini absen, tetapi mengirimkan pesan-pesan dukungan, ditayangkan melalui video.
Hanya di Republik Islam Iran, perempuan bisa tampil dan berbicara lantang di hadapan para mullah dan petinggi negara yang umumnya laki-laki. Kondisi demikian masih sulit dibayangkan terjadi di Saudi Arabia dan negara-negara Arab lainnya. Hanya di Iran, dijumpai institusi negara yang menghimpun perempuan peneliti Qur’an dan setiap tahun mengadakan konferensi internasional mengundang tokoh-tokoh intelektual dari berbagai negara Islam. Hanya di Iran, para perempuan diberikan akses penuh dan difasilitasi secara resmi oleh negara untuk mengkaji Qur’an dan menggalinya semata untuk kepentingan kemajuan kebudayaan dan peradaban Islam.
Dari Indonesia saya mendapat kehormatan menghadiri moment penting ini. Saya tiba di bandara Imam Khomeini International Airport (IKIA) tanggal 11 Maret 2015, pukul 02.35 pagi. Begitu melangkah keluar pintu pesawat terasa betul udara dingin menusuk, dan dari kejauhan samar-samar terlihat tumpukan salju memutih di mana-mana. Melewati pemeriksaan imigrasi dengan lancar, dan dalam waktu sekejap saya sudah berada di area kedatangan, serta bertemu petugas penjemput yang ramah. Sangat mudah mengenalinya karena membawa selembar kertas bertuliskan nama dan negara saya dalam bahasa Arab. Semuanya berjalan cepat dan tanpa halangan sedikit pun, saya sudah berada di mobil yang mengantar ke tempat penginapan.
Rasa lelah setelah penerbangan jauh ditambah lagi udara sangat dingin membuatku tertidur sepanjang perjalanan menuju penginapan, semacam guest house pemerintah. Perjalanan hampir 11/2 jam karena derasnya hujan salju. Sebagai perempuan, tentu ada rasa takut dan khawatir bepergian di tengah malam dan hanya ditemani sopir yang baru kukenal, apalagi di negara orang. Namun, saya yakin jika sistem keamanan masyarakat telah dibangun sedemikian rupa dan juga terutama mindset masyarakat terhadap perempuan telah dikembangkan dengan benar, tidak lagi menganggap perempuan sebagai obyek seksual, maka perempuan akan dihormati dan dimuliakan dalam kondisi apa pun. Perempuan dapat bepergian dengan aman dan selamat, di mana pun dan kapan pun, baik sendiri maupun bersama orang lain. Sayangnya tidak banyak disosialisasikan secara luas bahwa memuliakan perempuan dan menempatkannya setara dengan laki-laki sebagai manusia merdeka adalah ajaran hakiki Islam, seperti terbaca dalam hadis Rasul saw, dan kitab suci Al-Qur’an.
Karena cuaca gelap dan salju turun amat derasnya, sopir sedikit kesulitan menemukan alamat penginapan, untungnya selalu ada orang menolong dan menunjukkan arah yang benar. Sampai di depan penginapan, panitia sudah menunggu dan segera membuka pintu mobil dan mengajak saya masuk. Salju tebal membuat kaki saya sulit melangkah masuk penginapan karena begitu licin. Panitia menuntun masuk dan menunjukkan kamar saya. Bangunan guest house sudah berumur, tapi terawat dengan baik dan bersih. Tak ubahnya hotel berbintang, semua sudah tersedia di dalam kamar, termasuk minuman dingin dan panas.
Saya menyalakan TV dan terdengar azan Subuh dikumandangkan. Setiap kali ke Iran, saya selalu tertarik menyimak lafaz azan, secara redaksional sedikit berbeda dengan azan di Indonesia. Terus terang, kalimat hayya ala khayril amal terasa lebih dinamis dari kalimat As-Shalat khayrun min an-naum. Tambahan kalimat asyhadu anna aliyyan waliyyullah dan asyhadu anna aliyyan hujjatullah, sama sekali tidak terasa janggal di telinga saya karena merupakan pujian terhadap Ali ibn Abi Thalib, sahabat terdekat dan menantu Rasul saw. Bagi saya, perbedaan itu justru menambah keindahan dan kekayaan Islam, karenanya mari menghargai kebhinekaan dalam beragama.
Saya tertidur pulas sejak Subuh dan terbangun ketika mata hari sudah sangat tinggi. Ketika makan siang tiba kami para undangan bertemu di ruang makan dan jumlah kami 8 perempuan, adapun undangan lain menginap di tempat berbeda. Kami 8 orang mewakili Tunisia, Syria, Senegal, Tajikistan, Kuwait, Qatar, Indonesia dan Bahrain. Semuanya adalah intelektual yang mengajar di perguruan tinggi dan masing-masing mewakili negara dan budaya berbeda, meski sama-sama menganut Islam.
Busana kami berbeda satu sama lain. Wakil Tunisia menggunakan tutup kepala yang dibuat seperti topi, lalu lehernya dililit dengan syal sutera berwarna cerah. Wakil Syria menggunakan jas panjang dengan kerudung yang ujungnya dimasukkan ke dalam leher baju. Tamu dari Senegal, seperti umumnya orang-orang Afrika, senang memakai pakaian berwarna terang, berlapis-lapis sehingga terlihat kontras dengan tubuhnya yang besar-tinggi. Adapun dari Tajikistan dan lainnya memakai busana warna hitam menyesuaikan diri dengan busana perempuan Iran. Tidak ada yang memakai cadar (penutup wajah). Saya suka mengamati busana perempuan Iran, meski memakai selimut, tapi sesekali tertiup angin dan tersibaklah pakaian dalamnya yang sangat modis. Umumnya memakai celana panjang dan blus dengan model modern dan warna-warna indah.
Sungguh menarik karena meskipun kami beragama Islam yang sama, namun berbeda dalam cara berbusana, berbeda dalam bahasa dan budaya. Ekspresi Islam sangat berwarna-warni. Saya percaya bahwa upaya penyeragaman busana bagi perempuan selalu berujung pada lahirnya kemunafikan. Bukan hanya itu, juga membuat hancurnya daya inovasi dan kreativitas yang justru diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Itulah mengapa saya amat menentang semua bentuk peraturan dan perundang-undangan yang mengatur dan menyeragamkan busana perempuan. Biarkanlah perempuan memilih busana yang terbaik untuk diri mereka. Yang penting adalah mengedukasi mereka untuk dapat memilih busana sesuai kepribadian Islam. Dan perempuan terdidik pasti akan memilih busana yang wajar dan sopan, tidak menyolok mata dan tidak mahal sehingga mempersubur kapitalisme.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami dijemput dengan bus menuju tempat konferensi. Suasana konferensi terasa sangat khidmat. Kondisi ruangan berbentuk teater memungkinkan untuk menampung ribuan orang. Acara dimulai dengan sambutan dari para mullah dan pejabat pemerintah. Selanjutnya, pemaparan dari para perempuan peneliti Qur’an. Umumnya, mereka menjelaskan betapa pentingnya menjaga eksistensi Qur’an, mengembangkan seni kaligrafi Qur’an, mendalami seni tilawah Qur’an, mengajarkan isinya dan menggali nilai-nilai dan hikmahnya karena selalu relevan dengan kemajuan zaman dan dinamika masyarakat. Bagi saya, hal yang baru dalam kajian Qur’an oleh perempuan Iran adalah pemanfaatan kecanggihan teknologi digital. Saya sungguh memetik banyak pelajaran dari konferensi ini.
Walau demikian, menurut saya kajian para perempuan peneliti Qur’an tersebut belum sampai menyentuh hal yang paling esensial dalam Qur’an yaitu mengungkapkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan hakiki bagi semua manusia, termasuk kesetaraan perempuan dan laki-laki. Qur’an diturunkan untuk menjelaskan visi penciptaan manusia (perempuan dan laki-laki) sebagai khalifah fil ardh (pengelola kehidupan di bumi) dengan misi utama menegakkan ajaran tauhid, membebaskan manusia dari semua belenggu kemusyrikan, perbudakan, dominasi, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan yang dalam Qur’an diistilahkan dengan thagut. Itulah sebabnya, mengapa pada masa awal Islam, pesan-pesan Qur’an begitu memukau kalangan marjinal dan tertindas yang dikenal dengan istilah musthad’afin, termasuk di dalamnya semua kelompok rentan, seperti hamba sahaya, fakir-miskin, perempuan dan kelompok minoritas. Tidak heran jika mereka yang tertarik masuk Islam pada masa awal umumnya terdiri dari kelompok tersebut.
Pesan-pesan Qur’an yang begitu radikal dan liberal menyuarakan prinsip kebebasan dan kesetaraan manusia justru tidak menarik, bahkan dirasa mengganggu hegemoni kelompok bangsawan dan kaum elit yang mapan di masa itu. Mereka tentu mati-matian menolak Qur’an, membela budaya Jahiliyah yang melanggengkan thagut. Bahkan, harus diakui secara jujur, sampai sekarang pun, pesan-pesan Qur’an yang fundamental tersebut masih sulit diwujudkan secara komprehensif dalam kehidupan nyata karena masyarakat Muslim masih banyak terbelenggu dalam budaya Jahiliyah.
Terpikir juga olehku, mungkin para perempuan peneliti itu memang sengaja diarahkan oleh pemerintah untuk tidak kritis menyentuh wilayah sensitif dalam kajian Qur’an dengan maksud menjaga stabilitas masyarakat sehingga tidak ada kontroversi, konflik dan pergolakan dalam masyarakat. Sebab hal-hal tersebut amat ditakuti oleh pemerintah yang tidak demokratis. Semoga saja pikiranku itu tidak benar adanya.
Meskipun konferensi ini hanya berlangsung sehari, namun kami para undangan memiliki banyak waktu berdiskusi tentang berbagai topik. Diskusi intensif terjadi pada waktu makan siang dan terutama pada waktu makan malam. Kami berdiskusi sampai larut malam. Dari diskusi panjang tersebut saya menyimpulkan bahwa tantangan perempuan Muslim di berbagai wilayah Islam intinya tidak banyak berbeda. Kami para perempuan menghadapi persoalan budaya patriarki yang masih mendomestifikasi dan menyudutkan kaum perempuan, serta memandang perempuan cukup berkiprah di dunia domestik saja. Kami menghadapi persoalan yang sama dalam bentuk kemiskinan, iliterasi dan keterbelakangan akibat kurangnya akses dalam pengembangan ilmu dan keterampilan. Kurangnya pemenuhan hak-hak perempuan dalam kesehatan reproduksi. Kami semua masih menyebut perkawinan anak-anak, perkawinan paksa, perceraian, dekadensi moral, bahaya HIV/Aids, narkoba dan trafficking serta aksi-aksi kekerasan fundamentalisme agama sebagai musuh nyata yang harus dieliminasi bersama.
Akhirnya, saya tetap mengapresiasi kegiatan para perempuan Iran yang fokus mengkaji Qur’an secara ilmiah dan menggunakan pendekatan sains dan teknologi, seperti metode digital. Terlebih lagi, saya amat salut terhadap pemerintah Iran yang dengan nyata memberikan dukungan dan memfasilitasi kaum perempuannya untuk aktif dan terlibat dalam dunia penelitian, khususnya dalam bidang agama dengan melakukan penelitian Qur’an. Saya sangat yakin, bahwa dengan mengembangkan kajian Qur’an berbasis sains dan teknologi, serta memberikan akses penuh kepada kaum perempuan yang nota-bene merupakan setengah dari warga masyarakat, maka kebudayaan dan peradaban Islam akan maju dan berkembang. Selamat untuk perempuan Iran!!