Berita
110 Masalah Akidah: Benarkah Nabi Muhammad SAW itu Seorang yang “Ummi”?
Ada tiga kemungkinan yang populer ihwal pengertian “ummi”:
Pertama, orang yang tidak belajar, kedua, orang yang lahir di bumi Makkah dan bangkit sebagai rasul (bi’tsah) dari Makkah, dan ketiga, orang yang bangkit dari tengah-tengah umat dan masyarakat (yang buta huruf). Pengertian yang paling akrab adalah kemungkinan yang pertama, karena lebih sesuai dengan penggunaan kalimat ini. Sebagaimana yang telah kami sebutkan, boleh jadi yang dimaksud adalah ketiga kemungkinan tersebut.
Realita bahwa Nabi SAW tidak pernah pergi ke suatu tempat belajar-mengajar dan tidak pernah menulis, dapat diterima oleh para sejarawan. Dan Alquran juga dengan tegas menyebutkan kondisi beliau sebelum bi’tsah.
Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya [Alquran] sesuatu kitab pun dan kamu tidak [pernah] menulis suatu kitab dengan tangan kananmu. Sekiranya [kamu pernah membaca dan menulis], benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu. (QS. Al-‘Ankabut [29]: 48)
Pada dasarnya, di lingkungan Hijaz, orang-orang yang pandai sangat sedikit sehingga mereka dengan mudah dikenal. Termasuk di Makkah, ibu kota Hijaz, jumlah orang-orang yang mampu membaca dan menulis tidak lebih dari 17 orang dan hanya seorang wanita yang pandai membaca dan menulis.
Tentu saja di lingkungan seperti ini, sekiranya Nabi SAW belajar membaca dan menulis pada seorang guru, beliau akan terkenal saat itu. Seandainya kita tidak menerima kenabiannya, bagaimana mungkin beliau dalam kitabnya menjelaskan keummian dirinya dengan tegas? Apakah masyarakat tidak akan protes kepadanya seraya barkata, “Kamu kan pernah belajar”? Hal ini merupakan indikasi yang jelas akan keummiannya.
Bagaimanapun, adanya sifat ummi ini pada diri Nabi SAW merupakan penegas kenabian beliau, sehingga seluruh kemungkinan selain hubungan dengan Tuhan dan dunia metafisik dalam ranah dakwahnya dapat ternafikan.
Kedua hal ini merupakan pembahasan sebelum masa kenabian. Demikian juga, setelah periode bi’tsah, tidak ada catatan sejarah bahwa beliau pernah mendapatkan pelajaran membaca dan menulis dari seseorang. Dengan demikian, keummian berlangsung hingga akhir hayat beliau.
Akan tetapi, kesalahan besar yang harus dihindari di sini adalah, bahwa tidak belajar bukan berarti tidak berpendidikan (tidak pandai). Dan orang yang menafsirkan bahwa ummi itu bermakna tidak berpendidikan, ia telah beranggapan bahwa kedua-duanya tidak berbeda.
Melalui pengajaran Ilahi, tidak satu pun kendala yang menghadang Nabi SAW untuk mampu membaca dan menulis, tanpa harus mendapatkannya dari orang lain, lantaran tak syak lagi bahwa kemampuan ini merupakan kesempurnaan insani dan penyempurna kenabian.
Argumentasinya adalah sebagaimana yang dinukil dalam riwayat dari para imam Ahlulbait as, bahwasanya Nabi SAW dapat membaca dan atau memiliki kemampuan untuk membaca, juga kemampuan untuk menulis.” Namun, Nabi SAW tidak menggunakannya lantaran tidak ingin menyisakan secuil pun keraguan orang atas dakwahnya kepadanya.
Adapun klaim sebagian orang bahwa kemampuan membaca dan menulis tidaklah termasuk kesempurnaan seseorang, melainkan kedua hal ini merupakan kunci untuk mencapai kesempurnaan ilmu, bukan ilmu sejati dan kesempurnaan hakiki, pada hakikatnya jawaban atasnya tersisip di dalam klaim itu sendiri, karena mengetahui sesuatu merupakan salah satu perantara mencapai kesempurnaan. Beliau sendiri adalah kesempurnaan yang nyata.
Atau klaim sebagian orang bahwa ayat, “Membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah….” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2) dan ayat-ayat lain dengan redaksi yang sama merupakan dalil bahwa Nabi SAW membacakan Alquran kepada masyarakat melalui tulisan. Klaim ini merupakan kesalahan besar. Karena, kosa kata tilâwah (membacakan, yang terdapat dalam ayat tersebut) dapat diartikan dengan membaca melalui tulisan dan membaca melalui hafalan. Mereka yang membaca Alquran, syair-syair, atau doa-doa melalui hafalan, dapat dikatakan bahwa mereka sedang melakukan tilâwah. Dan penggunaan semacam ini umum sekali.
Menjawab 110 Masalah Akidah, Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi