Berita
110 Masalah Akidah: Apakah Perbedaan Rezeki di Tengah Masyarakat Sesuai dengan Prinsip Keadilan Allah?
Pada surat An-Naml, ayat 71 kita membaca, “Allah melebihkan sebagian atas yang sebagian lainnya di antara Kamu dalam urusan rezeki”.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah adanya perbedaan rezeki di antara masyarakat sejalan dengan asas keadilan Ilahi dan kesetaraan yang harus berlaku terhadap sistem kemasyarakatan manusia?
Pembahasan sebelumnya 110 Masalah Akidah: Apakah Agama Nabi Muhammad SAW Sebelum Diutus sebagai Nabi?
Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus memperhatikan dua poin di bawah ini secara cermat.
Pertama, tidak diragukan bahwa bagian penting perbedaan yang ada di antara masyarakat dari sisi keuntungan materi dan pendapatan, bertalian dengan perbedaan potensi yang ada pada diri mereka. Perbedaan potensi dan talenta jasmani dan ruhani yang menjadi sumber perbedaan pada kuantitas dan kualitas kegiatan ekonomi menyebabkan berbedanya pendapatan yang mereka peroleh; sebagian meraup keuntungan yang banyak dan yang lainnya memperoleh keuntungan yang sedikit. Tentu saja, acap kali kejadian yang hanya menurut kita bersifat aksidental, malah membuat sebagian orang mendapatkan rezeki yang lebih banyak. Akan tetapi, hal ini dapat dihitung sebagai pengecualian. Yang menjadi dasar dan parameter asli pada kebanyakan urusan hidup ialah perbedaan kuantitas dan kualitas usaha. (Tentu saja tema pembahasan kita adalah sebuah masyarakat yang sehat dan bebas dari eksploitasi kaum tiran, bukan masyarakat yang menyimpang jauh dari aturan-aturan penciptaan dan nilai kemanusiaan).
Bahkan orang-orang yang kita jumpai cacat tangan dan kaki, kerapkali mendapatkan pendapatan banyak yang membuat kita takjub. Sekiranya kita merenungkan moralitas, ruh dan jasmani mereka dengan seksama dan melepaskan diri dari penilaian dangkal, kita akan melihat bahwa mereka -galibnya- memiliki kekuatan yang membuat mereka memperoleh apa yang sepatutnya. (Kembali kami tekankan, tema pembahasan kita adalah masyarakat sehat dan tidak korup).
Secara umum, perbedaan pendapatan bersumber dari perbedaan potensi dan talenta. Potensi dan talenta ini juga merupakan anugerah Ilahi. Boleh jadi dalam sebagian masalah bersifat perolehan (iktisâbi, dapat dicapai) namun dalam sebagian lainnya tidak. Bahkan dalam sebuah masyarakat sehat dari aspek ekonomi, perbedaan pendapatan juga sebuah realita yang tidak dapat diingkari. Kecuali jika kita mampu menciptakan manusia-manusia yang sejenis; satu warna dan satu potensi yang tidak memiliki satu pun perbedaan, justru masalah lain yang akan muncul.
Kedua, tidak diragukan juga bahwa ketika kita merenungkan nasib seseorang, batang sebuah pohon, dan sekuntum bunga, apakah mungkin struktur yang setimbang di antara anggota dan tubuh, dapat dijumpai persamaannya dari aspek apapun? Apakah kekuatan resistensi dan potensi akar pohon dari aspek apapun dapat disatukan dengan dedaunan bunga mawar yang lembut dan sedang bersemi, dan juga tulang tumit kaki dengan kelopak mata? Sekiranya Anda mampu menyatukan mereka, apakah Anda berpikir Anda telah melakukan pekerjaan yang benar?
Jika kita kesampingkan terlebih dahulu slogan-slogan yang mengecoh nalar (yang selalu menuntut persamaan di semua bidang), dan anggaplah suatu hari kita dapatkan manusia-manusia rekaan, dapat kita buat imaginer dari berbagai sudut pandang, dan menjejali planet bumi dengan manusia sebanyak lima miliar dalam satu bentuk, satu figur, satu talenta, satu pikiran, dan satu rupa dari setiap sisi, persis seperti kretek-kretek yang ditawarkan dari satu pabrik, apakah pada hari itu manusia memiliki kehidupan yang lebih baik? Tentu saja tidak. Alih-alih menjadi lebih baik, kehidupan manusia akan menjadi neraka yang di dalamnya setiap orang akan merasakan kejemuan. Semuanya akan bergerak kepada satu titik dan menghendaki sesuatu yang sama. Semuanya menghendaki satu kedudukan, menyukai satu jenis makanan, dan ingin mengerjakan satu pekerjaan.
Sangat jelas, usia kehidupan seperti ini segera akan berakhir. Dan seandainya kehidupan ini harus tetap berlangsung, kehidupan yang mereka alami adalah kehidupan kehilangan ruh; menjemukan, monoton, tidak ada bedanya dengan kematian. Oleh karena itu, perbedaan potensi adalah demi memelihara keutuhan sistem masyarakat, bahkan membina potensi-potensi yang beragam adalah suatu kelaziman. Adapaun slogan-slogan kosong itu tidak dapat mengantisipasi kenyataan ini.
Namun, jangan sampai uraian ini ditafsirkan bahwa kami menerima masyarakat strata dan sistem eksploitasi. Tidak! Sama sekali tidak demikian! Maksud dari strata ini adalah strata alami, bukan rekayasa (baca : palsu). Perbedaan tidak hanya berfungsi sebagai penyempurna satu potensi dengan yang lainnya, akan tetapi juga berperan sebagai pendukung, bukan penghalang bagi kemajuan dan melanggar serta menganiaya yang lain.
Perbedaan strata (harap diperhatikan makna strata di sini adalah makna teknis; strata pengeksploitasi dan tereksploitasi) sekali-kali tidak sesuai dengan sistem penciptaan. Sistem yang sejalan dengan sistem penciptaan adalah perbedaan potensi dan usaha. Perbedaan antara sistem yang sejalan dengan penciptaan dan sistem yang tidak sejalan dengannya ibarat perbedaan antara bumi dan langit. (Perhatikan baik-baik!)
Dengan ungkapan lain, perbedaan pelbagai potensi harus digunakan pada rangka membangun, persis seperti perbedaan struktur anggota tubuh, atau sekuntum bunga. Dalam perbedaannya, ia saling membantu; tidak saling menggangu.
Singkatnya, perbedaan pelbagai potensi yang ada tidak seyogyanya disalahgunakan sehingga menjadi sebab terciptanya masyarakat strata.
Pada akhir ayat yang menjadi tema pembahasan kita kali ini Ia menegaskan, “Afabini’matillâhi yajhadûn.”
Ayat ini menyiratkan bahwa perbedaan pada bentuk naturalnya, (bukan bentuk rekayasa dan cara-cara paksa) adalah limpahan anugerah Ilahi untuk menjaga sistem kehidupan masyarakat manusia.
Menjawab 110 Masalah Akidah, Ayatullah al-Uzhma Makarim Syirazi