Berita
100 Hari Memerintah Jokowi Masih Mencari Pola Komunikasi Politik
Jakarta, 26/1 – Presiden Joko Widodo dinilai masih mencari pola untuk komunikasi politik dalam masa 100 hari pemerintahannya bersama Jusuf Kalla. Gaya komunikasi politik Jokowi berbeda ketika masih menjabat sebagai walikota, gubernur dan presiden.
“Saat masih menjadi walikota dan gubernur, Jokowi terlihat aktif, action. Itu membuat kita tahu dia bekerja,‘genuine’. Ketika debat, pakai jas, kita merasa‘he is not at home’,” kata pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Putut Widjanarko saat menjadi pembicara dalam Diskusi Publik “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK” yang diadakan Paramadina Graduate School of Communication di Kampus Paramadina, Jalan Sudirman, Jakarta, Senin (26/1).
Putut menilai Jokowi bukan orang yang bisa melakukan komunikasi verbal. Karena itu, Jokowi masih harus belajar. Saat mengikuti debat calon presiden, dia masih bisa dilatih oleh timnya. Namun, saat menjadi presiden, sudah tidak bisa lagi dilatih untuk, misalnya, berbicara tentang masalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI.
Juru bicara Koalisi Merah Putih (KMP) Nurul Arifin mengatakan Jokowi belum mampu menjadi panglima pemerintahan. Hal itulah yang menjadi penyebab kisruh di pemerintahannya dalam waktu tiga bulan pertama.
“Banyak intervensi, bukan hanya dari partai Pak Jokowi sendiri, tetapi dari partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dengan gaya dan kemampuannya, kita berharap Pak Jokowi bisa menjadi panglima pemerintahan,” tuturnya.
Menurut Nurul, Jokowi terlihat kesulitan bekerja sama dengan koalisi pendukungnya. Justru, ada kabar bahwa Jokowi lebih mudah bekerja sama dengan KMP.
Politisi PDI Perjuangan Effendi Simbolon menilai Jokowi belum siap menjadi presiden. Banyak hal yang dia tangani sendiri, padahal seharusnya cukup dikerjakan oleh menteri maupun staf-stafnya.
“Ada masalah, belum porsinya menangani, tetapi sudah mengundang sana-sini. Beliau mendegradasi wibawanya sendiri. Seharusnya, biarkan saja misalnya Menkopolkam yang menangani. Selain itu, orang-orang di sekitar Jokowi banyak yang tidak kompeten dan membawa pengaruh buruk,” ujarnya.
Namun, Effendi menegaskan publik harus memberi kesempatan kepada Jokowi untuk memperbaiki kekurangannya. Kekurangan yang terlihat selama 100 hari pertama masih bisa diperbaiki.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto mengatakan salah satu permasalahan bangsa ini adalah degradasi moral sehingga korupsi masih sering terjadi.
“Kalau korupsi disebut sudah tidak ada, mengapa masih ada koruptor yang ditangkap KPK? Selain itu, mafia hukum juga masih terjadi meskipun tidak seperti yang terjadi di Italia,” tuturnya.
Diskusi publik tersebut dipandu oleh pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Eka Wenats. Di akhir diskusi, Eka mengatakan bahwa diskusi tersebut bukan untuk menghakimi atau menjelek-jelekkan pemerintahan Jokowi-JK.
“Selama masih ada kesempatan, masih bisa diperbaiki,” tukasnya. (Des/Yudhi)