Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Sekilas tentang Sumbangsih Muslim di Bidang Ilmu Pengetahuan Bag. 2

Sejarah Peradaban Islam

Periode Mamluk, Fathimiyah, Usmani dan Safawi

Dinasti Mamluk melanjutkan kemajuan ilmu pengetahuan pada era-era sebelumnya, terutama karena beberapa faktor sebagai berikut: a) cendikiawan dan ulama sangat dihormati baik oleh masyarakat maupun penguasa; b) para penguasa memuliakan ilmu dan gemar menuntut ilmu apa pun; c) perjalanan dan petualangan ilmiah dilakukan demi memperkaya khazanah intelektual umat Islam; d) perpindahan para cendikiawan Muslim dari berbagai kawasan dunia Islam ke Mesir karena dianggap lebih kondusif untuk berkembangnya ilmu pengetahuan; dan e) adanya gerakan wakaf produktif yang gencar. Di masa ini berkembang berbagai pusat dan lemabaga ilmu seperti maktab/kuttab, madrasah, masjid, rumah sakit, pertemuan ilmiah di rumah para elit Mamluk, serta merebaknya penerbit buku dan toko kertas (hawanit al-warraqin).

Tradisi intelektual Islam berlanjut terus pada era kekuasaan dinasti Fathimiyah. Seiring penaklukan Mesir oleh panglima perang Fathimiyah bernama Jahwar al-Shaqili di masa pemerintahan Al-Mu’izz li Dinillah, dinasti Fathimiyah membangun ibukota baru bernama Kairo. Di sana Jawhar membangun istana, kompleks pemerintahan, dan yang terpenting adalah masjid Al-Azhar. Masjid jami’ Al-Azhar kemudian berkembang menjadi universitas dan pusat penelitian ilmu pengetahuan yang bertaraf internasional. Al-Azhar terus berkembang menjadi lembaga pendidikan para mahasiswa Muslim dari seantero dunia Islam hingga zaman ini.

Ilmu pengetahuan di era dinasti Usmani tampak pada bidang arsitektur dan militer.  Di masa kekuasaan Sultan Mahmud II terjadi reformasi di berbagai bidang yang bertujuan memperkuat posisi dan citra dinasti Usmani. Di masa itulah kurikulum pendidikan yang semula hanya berisi pengajaran ilmu-ilmu agama seperti fiqh, tafsir dan bahasa Arab ditambahkan dengan pengajaran ilmu-ilmu umum lain. Untuk tujuan itu, Sultan Mahmud II mendirikan dua sekolah pengetahuan umum, yaitu Sekolah Pengetahuan Umum dan Sekolah Sastra.

Dinasti Safawi memberikan sumbangan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam. Di antara bidang yang berkembang di bawah kekuasaan dinasti Safawi adalah ilmu pertanian, arsitektur dan konstruksi, seni kerajinan tangan, sastra, astronomi, teologi dan filsafat. Di bidang konstruksi, penguasa dinasti Safawi berhasil mendirikan ibukota Isfahan yang hinggi kini terkenal sebagai salah satu kota terindah di dunia. Di kota ini berdiri berbagai bangunan besar yang indah seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Isfahan dilengkapi dengan 162 masjid dan 48 akademi yang menjadi pusat pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Para Ilmuwan Muslim dan Beberapa Temuan Saintifik

Sejarah ilmu pengetahuan Islam mengenal banyak hakim (jamak: hukama`), yakni sarjana yang menguasai beberapa ilmu sekaligus tanpa memiliki spesialisasi khusus. Di Barat mereka dikenal dengan nama polymath dan di era Renaisans mereka dikenal dengan nama Renaissance Men seperti Leonardo da Vinci.[1] Di antara yang paling terkenal adalah Al-Biruni, Al-Jahiz, Al-Kindi, Ibn Sina (Avicenna), Al-Idrisi, Ibn Bajjah, Ibn Zuhr, Ibn Thufayl, Ibn Rusyd (Averroes), Jabir bin Hayyan, Abbas bin Firnas, Ibn al-Haytsam (Alhazen), Ibn al-Nafis, Ibn Khaldun, Al-Khawarizmi, Al-Mas’udi, Al-Muqaddasi dan Nashiruddin al-Thusi.

Ibn al-Haytsam dapat dianggap sebagai pionir di bidang fisika eksperimental yang meneruskan tradisi eksperimental Ptolemius.[2] Ibn al-Haytsam juga menulis The Book of Optics di mana dia menyumbanglan banyak gagasan seputar ilmu optik dan membuat kamera obscura.

Di antara inovasi para ilmuwan Muslim adalah pembangkit tenaga angin dan air untuk menggerakkan penggilingan yang digunakan sejak abad ke-7 M dalam berbagai bentuknya. Pada abad ke-11 M, perangkat-perangkat penggilingan telah beroperasi dari Andalusia dan Afrika Utara sampai ke Timur Tengah dan Asia Tengah.

Para insunyur Muslim juga berhasil membuat poros engkol dan turbin air, memprakarsai penggunaan waduk air untuk pembangkit tenaga air.[3] Transfer teknologi-teknologi ini ke Eropa pada Abad Pertengahan berperan besar dalam membangkitkan Revolusi Industri di kawasan tersebut pada abad awal ke-16.

Para ilmuwan Muslim juga berperan mengembangkan instrumen-instrumen astronomi, pembuatan keramik, rumus-rumus kimia, teknologi penyulingan air, jam, kaca, mesin berpenggerak udara dan angin, mosaik, kertas, farmasi, tekstil, pembuatan besi dan baja dan lain sebagainya. Misalnya, pabrik kaca pertama di Eropa didirikan oleh pengusaha Mesir di Yunani.[4]

Paul Valley mencatat beberapa penemuan lain yang dibuat oleh para ilmuwan Muslim adalah kamera obscura, kopi, sabun, pasta gigi, alkohol hasil distilasi, berbagai jenis asam, katup, peta bumi dan sebagainya.[5]

Di bidang astronomi, ilmuwan Muslim tercatat sebagai yang pertama menggunakan observatorium pertama bernama Maragha. Para sejarawan kemudian menyebut peristiwa pendirian observatorium Maragha dengan revolusi Maragha.[6] Observatorium ini didirikan di masa Khalifah Al-Ma’mun di bawah arahan Nashiruddin al-Thusi.

Di bidang kimia, nama Jabir bin Hayyan (Geber) tercatat sebagai salah satu kampiun dalam eksperimen-eksperimen menyangkut proses-proses kimiawi seperti penyulingan, kristalisasi, oksidasi dan penguapan.[7] Abu Rayhan al-Biruni menolak klaim para ahli kimia sebelumnya tentang transmutasi metal. Nashiruddin al-Thusi mengemukakan versi lain tentang hukum konservasi massa dengan menyatakan bahwa materi dapat berubah tapi tidak dapat hilang.[8] Akibat begitu banyaknya sumbangan para ilmuwan Muslim di bidang kimia maka Alexander von Humboldt[9] dan Will Durant menganggap bahwa para kimiawan Muslim abad pertengahan sebagai peletak dasar kimia modern.[10]

Ahli matematika Muslim, al-Khawarizmi, tercatat sebagai penemu algebra, algoritme dan trigonometri. Omar Khayyam juga dianggap sebagai pencetus algebra geometris, sedangkan Nashiruddin al-Thusi berhasil membantah geometri Euclidean dan postulat paralel.

Para sarjana Islam menyumbang banyak terhadap ilmu kedokteran terutama di bidang anatomi, kedokteran eksperimental, patologi, farmasi, pembedahan dan sebagainya. Ibnu Sina hingga kini disepakati sebagai ilmuwan kedokteran Muslim yang meletakkan dasar-dasar ilmu kedokteran dan metode klinik melalui bukunya yang sangat terkenal, al-Qanun. Rumah sakit dan sekolah kedokteran pertama juga didirikan oleh kalangan ilmuwan Muslim.[11] Abul Qasim (Abulcasis) merupakan ilmuwan yang merancang ilmu bedah dalam bukunya yang berjudul ‘Ilm Al-Tashrif. Di buku itu pula dia merancang sejumlah instrumen bedah seperti gunting bedah, jarum suntik, senar, retraktor, benang jahit dan sebagainya.[12]

Al-Biruni adalah ilmuwan Muslim yang memperkenalkan metode saintifik dalam ilmu mekanika.[13] Hukum-hukum gerak Newton dianggap banyak berpijak pada hasil-hasil eksperimen al-Biruni. Al-Biruni juga dianggap sebagai pionir di bidang geodesi dan antropologi.[14]

Epilog

Semua informasi dan data di atas barulah sedikit dari sekian banyak data terkait dengan sejarah ilmu pengetahuan Islam, sumbangan dan penemuan ilmuwan Muslim, dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang berkembang sepanjang sejarah Islam. Tulisan ini belum memuat profil sejumlah besar ilmuwan Muslim kontemporer dan temuan-temuan mereka di bidang ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, Jamshid Al-Kashi (pencetus teorema Al-Kashi dalam trigonometri yang dikenal dengan hukum cosinus),  Abdus Salam (fisikawan peraih Nobel), Sameera Moussa (ilmuan penggagas Atoms for Peace), Abdul Kalam (bapak nuklir India sekaligus Presiden India), Mahmoud Hesabi (ilmuwan Iran penemu teori infinitely extended particles), Ali Javan (penemu laser gas bersama William Bennett dan masuk dalam National Inventors Hall of Fame di AS), Abdul Qadeer Khan (bapak nuklir Pakistan dan penggagas riset thermal quantum field), Muhammad Yunus (peraih Nobel Perdamaian dan penggerak Grameen Bank), dan last but not least B.J. (penemu teori keretakan yang dikenal dengan Habibie factor).

Poin terakhir yang perlu kita ingat ialah bahwa Islam adalah agama yang paling menekankan tiap individu untuk menggunakan akalnya, mengagungkan pengetahuan, memanfaatkan ilmu, melakukan pengamatan yang terus menerus terhadap alam sekitar, mempelajari sejarah dan sebagainya. Begitu banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang menyuruh dan mewajibkan Muslim untuk selalu belajar, menyebutnya sebagai faridhah, dari sejak ia dalam buaian sampai masuk liang kubur, di kota sekitar sampai ke negeri China. Semua penekanan ini sayangnya seperti tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim yang jauh dari rasionalisme, kedodoran dalam sains dan teknologi, serta hidup dalam lingkungan yang tidak sehat. Ada kerja besar yang mesti kita lakukan sekarang, bukan di masa depan; kerja yang tidak saja dengan berhenti menengok pada dan berpuas hati dengan masa lalu, tetapi bergerak terus-menerus mengubah masa kini demi masa depan yang lebih baik.


[2] Gorini, Rosanna (October 2003), “Al-Haytham the man of experience. First steps in the science of vision” (pdf), Journal of the International Society for the History of Islamic Medicine 2 (4): 53–55 [55], retrieved 2008-09-25.

[4] Ibid.

[6] George Saliba (1994), A History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam, pp. 245, 250, 256–7. New York University PressISBN 0-8147-8023-7.

[7] Paul Vallely, Op.Cit.

[8] Farid Alakbarov (Summer 2001). A 13th-Century Darwin? Tusi’s Views on EvolutionAzerbaijan International 9 (2).

[9] Dr. Kasem Ajram (1992). Miracle of Islamic Science, Appendix B. Knowledge House Publishers. ISBN 0-911119-43-4.

[10] Will Durant (1980). The Age of Faith (The Story of Civilization, Volume 4), pp. 162–186. Simon & Schuster. ISBN 0-671-01200-2.

[11] a b George SartonIntroduction to the History of Science.
(cf. Dr. A. Zahoor and Dr. Z. Haq (1997), Quotations From Famous Historians of Science, Cyberistan.

[12] Paul Vallely, Op.Cit.

[13] Mariam Rozhanskaya and I. S. Levinova (1996), “Statics”, in Roshdi Rashed, ed., Encyclopedia of the History of Arabic Science, Vol. 2, pp. 614–642 [642]. Routledge, London and New York.

[14] Akbar S. Ahmed (1984). “Al-Beruni: The First Anthropologist”,RAIN 60, pp. 9–10.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *