Ikuti Kami Di Medsos

Dunia Islam

Sekilas tentang Sumbangsih Muslim di Bidang Ilmu Pengetahuan Bag. 1

Sejarah Peradaban Islam

Prolog

Tulisan ini tidak berpretensi menginvestigasi sumbangsih cendikiawan Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan—suatu pekerjaan yang barang tentu membutuhkan pada tenaga yang super besar. Survey yang relatif utuh pun tulisan ini juga bukan. Ia mungkin hanya usaha rutin mengenang masa lalu yang indah, dalam rangka membangun masa depan yang lebih baik. Ini mungkin tulisan motivasional bagi generasi sekarang agar mau dan siap mencetak rekor yang sama—untuk tidak menyebut memecahkan rekor baru. Ya, ini tulisan nostalgia untuk mengelektrifisir gen intelektual umat ini, yang sepertinya lama dorman dan perlu diinjeksi motivasi dosis tinggi.

Sejarah intelektual Islam sebenarnya membentang panjang dan mencakupi bidang yang cukup luas: skolastik, humaniora dan saintifik. George A. Makdisi dalam buku yang berjudul The Rise of Colleges menyoroti secara umum perkembangan gerakan skolastik, termasuk tokoh-tokohnya, lembaga-lembaganya, gelar-gelar yang diberikan dan metode yang digunakan. Dalam bukunya yang lain, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Christian West (Terjemahan: Cita Humanisme Islam), [1] profesor bidang sastra Arab itu mengupas perkembangan ilmu-ilmu humaniora, berikut tokoh-tokohnya, lembaga-lembaganya, seni pendiktean (imlâ`) dan pembuatan buku, serta penekanan soal peran penting buku bagi seorang pelajar.

Dalam dua karya tersebut, Makdisi menyimpulkan bahwa kedua gerakan ini memiliki raison d’etre yang berbeda, meskipun sama-sama timbul dari kepedulian yang sama terhadap teks-teks suci: al-Qur’an dan hadis. Menurutnya, perkembangan ilmu-ilmu humaniora bermula pada akhir abad pertama Hijriah untuk tujuan melestarikan bahasa Arab klasik al-Qur’an sebagai bahasa ritual Islam. Sedangkan gerakan skolastik mencuat sejak timbulnya perbedaan tafsir dan otoritas agama yang berpuncak pada abad ke-3 H atau abad ke-9 M. Inilah periode dramatis yang kelak disebut oleh para ahli sejarah Islam dengan periode mihnah.

Menurut Makdisi, kedua gerakan intelektual itu pada mulanya sama-sama berfungsi mendukung ortodoksi. Di periode awal itu, perkembangan ilmu di dunia Islam, mungkin juga di peradaban-peradaban lain, bersumber dari keinginan mempertahankan diri dari serangan “yang lain”. Ilmu-ilmu humaniora berfungsi mendukung ortodoksi bahasa, sedangkan metode skolastik berfungsi membela ortodoksi keyakinan agama. Gerakan humaniora diawali dengan munculnya kebutuhan pada ilmu filologi untuk kembali pada bahasa Arab yang murni, sebagaimana di tempat asalnya, jazirah Arab, yang tidak tercampuri oleh logat dan pengaruh asing apapun. Sedangkan gerakan skolastik merupakan gerakan keagamaan ilmiah yang ingin mewujudkan sistem teologi dan hukum yang lebih mendekati ajaran-ajaran Islam tradisional, terbebas dari pengaruh teologi dan filsafat Yunani. Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber kekuatan bagi gerakan skolastik sekaligus berperan sebagai model bagi pembentukan tatanan hukum yang lebih manusiawi.

Kedua gerakan tersebut secara bersamaan membentang kira-kira mulai dari abad ke-1 H/7 M hingga kurang lebih abad 8 H/14 M. Kedua gerakan ini berpusat di kawasan timur dunia Islam, terus bergerak ke arah barat, mulai dari Irak, Syria (Suriah), Mesir, sebagian Afrika Utara, Spanyol dan Sisilia. Dari Spanyol dan Sisilia itu kedua gerakan tersebut merambah kawasan Barat Kristen pada waktu yang hampir bersamaan, yakni pada paruh kedua abad ke-11 Masehi. Dan tidaklah salah jika ada yang menduga bahwa kedua gerakan intelektual yang berpusat dari dunia Islam itu kemudian menyemburkan renaisans di Barat, mendesak masyarakat Barat keluar dari gelapnya Abad Pertengahan.

Periode Umayyah dan Abbasiyah

Dalam buku yang berjudul Sejarah Peradaban Islam,[2] Dr. Amany Lubis et all menerangkan sejumlah kemajuan ilmu pengetahuan di era ini. Ada 6 kategori bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada era ini: ilmu-ilmu agama, bahasa, sejarah, teologi (kalam), sastra, kimia dan kedokteran. Ilmu-ilmu agama meliputi kajian seputar al-Qur’an, hadis dan fiqh. Pusat-pusat kajian ilmu-ilmu agama menyebar di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, Fustat, dan Damaskus.

Sarjana yang paling menonjol dalam kajian ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler tak lain adalah Imam Ja’far Al-Shadiq (702–765 M./ 83–148 H). Di antara murid beliau yang dikenal luas ialah Jabir ibn Hayyān—yang dikenal di Eropa sebagai Geber, sang ahli kimia; Abu Hanifa, pendiri mazhab Hanafi; Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki; Wasil bin Atha’, pendiri aliran teologi Mu’tazilah; dan Mufazzhal bin Umar, salah seorang murid kepercayaan di bidang telogi dan filsafat. Yang juga tidak bisa dilupakan adalah kedua putra sekaligus murid Imam Ja’far Al-Shadiq sendiri, yakni Imam Musa al-Kazhim –imam ketujuh dalam akidah Syiah Imamiyyah—dan Ali al-Uraidhi—putra bungsunya sendiri.

Di antara ilmu agama yang berkembang pada era ini adalah ilmu al-qira`at (ilmu tentang seni membaca al-Qur’an) yang dianggap sebagai peletak dasar utama bagi perkembangan ilmu tafsir pada masa-masa berikutnya. Ulama utama yang menekuni bidang ilmu ini adalah Nafi’ al-Madani, Abdullah bin Katsir, Ashim bin Abu al-Nujud, dan Abdullah bin Amir al-Yahshibi. Ilmu agama lain yang berkembang adalah ilmu tafsir yang telah ada sejak masa hidup Rasulullah saw dan masa para sahabat. Di antara ahli tafsir dari kalangan Ahlul Bait adalah Imam Ali bin Abi Thalib, kedua putranya, Imam Hasan dan Imam Husein, serta putri Rasulullah sendiri, Sayyidah Fathimah Az-Zahra. Di kalangan para sahabat yang dikenal ahli tafsir adalah Abdullah bin Abbas, sementara dari kalangan tabi’in adalah Mujahid (w. 104 H).

Di luar ilmu agama, ada ilmu-ilmu bahasa yang berkembang pesat di masa itu, yang mencakup ilmu nahwu, sharaf (tatabahasa) dan balaghah (kesusastraan). Ilmuwan pertama yang menggeluti bidang ini atas saran dan dukungan dari Imam Ali bin Abi Thalib adalah Abu Aswad al-Du`ali. Banyak ahli sejarah yang mencatat bahwa khotbah-khotbah, surat-surat, dan ucapan-ucapan pendek Imam Ali memberi inspirasi tentang pembentukan ilmu balaghah di masa-masa setelahnya.

Kemudian ada ilmu hadis yang mengalami perkembangan pesat di masa-masa setelahnya, khususnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memprakarsai tadwin (penyusunan dan pembukuan). Di antara tokoh ilmu hadis adalah Sufyan al-Tsauri, al-Mughirah, Ibnu Qudamah al-Tsaqafi, dan lain-lain yang dikenal dengan julukan ahlul hadits.

Ilmu lain yang juga mekar di periode itu adalah ilmu sejarah yang berpusat pada kajian tentang sirah nabawiyyah yang lebih banyak mengandalkan sumber-sumber lisan dengan metode utama isnad. Kitab-kitab sejarah yang pertama kali disusun adalah al-maghazi  dan al-sirah yang bertutur tentang berbagai perang dan perilaku dan sikap Rasulullah. Melalui dua kategori kitab sejarah itulah umat Islam bisa mengikuti perilaku dan sikap Rasulullah saw dalam berbagai keadaan yang berbeda.

Ada tiga tingkatan (thabaqat) para ahli sejarah masa itu. Tingkatan pertama meliputi Aban bin Utsman bin Affan (w. 105 H) dan Urwah bin Zubair (w. 92 H), tingkatan kedua meliputi Abu Bakar bin Hazm al-Anshari (w. 120 H) dan Ashim bin Amr bin Qatadah al-Anshari. Dari pengajaran Ashim kemudian lahir satu generasi sejarahwan Muslim terkenal seperti Ibn Ishaq, Al-Waqidi, dan terakhir Ibn Syihab al-Zuhri. Tingkatan ketiga dan terakhir adalah Muhammad bin Ishaq yang merupakan murid kesayangan Ibn Syihab al-Zuhri.

Dua ilmu humaniora lain yang berkembang pada masa ini adalah ilmu kalam dan seni syair. Dari ilmu kalam, lahir tokoh seperti Wasil bin ‘Atha, Abul Hasan Al-Asy’ari (murid sekaligus kritikusnya), dan sebagianya. Dua aliran kalam ini kemudian bergumul, melahirkan salah satu dialektika paling gayeng dalam sejarah pemikiran Islam. Kalam Syiah yang semula mengambil jarak dari polemik dua aliran utama Sunni tersebut akhirnya ikut terlibat di dalamnya. Bidang filsafat juga ikut meramaikan perdebatan teologis ini dengan jurus-jurus mautnya sendiri, sehingga hampir menghunjam jantung kalam dan membunuhnya.

Sementara di bidang sains ada ilmu kimia dan kedokteran yang membumbung ke permukaan. Dinasti Umayyah yang dikenal gemar berpolitik memanfaatkan pengembangan sains di bidang medis dan kimia untuk keperluan-keperluan praktis sekaligus mengalihkan perhatian publik pada penindasan politik yang massif. Tokoh Bani Umayyah pertama yang menekuni kedua bidang sains itu adalah Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah. Khalid belajar dari seorang pendeta terkenal bernama Miryanus yang tinggal di Aleksandria, Mesir. Tokoh dinasti Umayyah lain yang juga menggalakkan studi sains adalah Umar bin Abdul Aziz.

Pada era dinasti Abbasiyah tradisi intelektual dan saintifik mengalami perkembangan yang makin pesat. Lagi-lagi alasan politik dan pengalihan isu publik tak bisa begitu saja diabaikan disini. Namun, apapun motifnya, ada kegemaran di kalangan elit Abbasiyah untuk menekuni dan mendalami berbagai bidang sains, sehingga para wazir yang diangkat biasanya berasal dari kalangan ilmuwan atau setidaknya dari kalangan yang memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Bidang-bidang ilmu administrasi dan pemerintahan di zaman ini mencapai tingkat yang maju dan canggih, demikian pula bidang-bidang ilmu filsafat, teologi dan fisika.

Untuk bidang ilmu administrasi dan pemerintahan, Bani Abbas banyak menyadur dari tradisi Persia yang dikenal memiliki warisan budaya administrasi, birokrasi dan pemerintahan yang kaya. Darius dan Sirus Agung adalah beberapa kaisar Persia yang mewariskan catatan-catatan berharga mengenai ilmu pemerintahan, hak-hak asasi, kewarganegaraan dan sebagainya yang kemudian diadopsi oleh dinasti Abbasiyah.[3]


[1] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islan dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat, Serambi, 2005.

[2] Dr. Amany Lubis et all, Sejarah Peradaban Islam, PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2005.