Ikuti Kami Di Medsos

Pustaka

Peran Sayyidah Zainab dalam Revolusi Imam Husain

Sinar Mentari sepuluh Muharam (Asyura) menyingsing. Sebelum pergi ke medan tempur, Imam Husain as pergi ke tenda putranya, Ali Zainal Abidin as, yang sedang terbaring sakit di atas kulit kambing. Imam Ali Zainal Abidin as terlihat begitu lemah untuk bergabung bersama ayahnya di medan tempur. Dan ia pun dirawat oleh bibinya, Syydah Zainab as. Imam Husain as kemudian mengucap salam perpisahan dan berkata:

“Putraku, engkau adalah anakku yang terbaik dan tersuci. Sepeninggalku, engkau akan menjadi penerus kepemimpinanku. Jagalah para wanita dan anak-anak ini selama penawanan dan menempuh perjalanan berat, hiburlah mereka. Putraku, sampaikan salamku untuk para sahabatku. Sampaikan kepada mereka bahwa Imam mereka telah terbunuh di suatu tempat yang jauh dari rumahnya, dan hendaknya mereka berduka untukku.”

Sembari menarik nafas panjang, Imam Husain as menoleh kepada Sayyidah Zainab as dan para wanita Bani Hasyim lainnya, lalu berkata:

“Perhatikanlah dan ingatlah bahwa putraku ini adalah penerus kepemimpinanku dan seorang Imam, yang harus ditaati oleh semua orang.”

Khusus kepada Sayyidah Zainab as, beliau as berkata:

“Setelah membunuhku, para musuhku akan menjarah pakaianku dari tubuhku. Karena itu, tolong bawakanlah untukku pakaian usang, agar mereka tak melucutiku dan membiarkanku dalam keadaan telanjang.”

Dan Sayyidah Zainab as pun memenuhi permintaan beliau. Saat itu, Sayyidah Zainab as menyertakan juga kedua putranya untuk membantu Imam Husain as. Mereka adalah Aun dan Muhammad. Ia berkata kepada Imam Husain as:

“Wahai kakakku, jika saja wanita diizinkan untuk berperang, maka aku akan korbankan nyawaku untuk menolongmu. Namun, sebagai gantinya, terimalah pengorbanan kedua putraku ini.”

Pertempuran maut pun berlangsung seharian. Satu demi satu putra-putra Imam Husain as, kerabat, dan pengikutnya dibantai di medan perang. Dan ketika mengetahui kedua putranya terbunuh, Sayyidah Zainab as menanggungnya dengan tabah.

Beliau tak keluar dari tenda, tidak pula meratap pilu. Karena ia tak ingin membuat sedih saudaranya, Imam Husain as. Namun ketika jenazah Ali Akbar (putra Imam Husain as) dibawa ke tenda para wanita, Sayyidah Zainab as tak dapat menyembunyikan kedukaan, lalu berkata:

“Duhai putraku, jika saja aku buta atau telah terkubur dalam tanah, sehingga aku tak harus melihat hari ini.”

Para musuh tak memberi sedikit pun kesempatan pada mereka untuk memperoleh air untuk membasahi kerongkongan mereka yang kering. Sementara persediaan air mereka telah lama habis. Ketika Imam Husain as membawa sisa-sisa air beliau untuk para wanita, Sayyidah Zainab as meminta Imam Husain as agar mencarikan air untuk putranya yang masih bayi, Ali Asghar. Imam Husain as kemudian menggendong bayinya lalu meminta Umar bin Sa’ad agar membiarkannya memperoleh air untuk bayinya. Namun seruan beliau hanya menimpa telinga yang tuli dan hati yang membatu. Seruan beliau justru dibalas dengan tembakan anak panah yang tepat mengenai leher bayi mungil itu, dan seketika membunuhnya.

Imam Husain as kembali dengan menggendongnya, dan tangan beliau pun berlumuran darah putranya itu. Sayyidah Zainab as lalu mengambil bayi itu dan mendekapnya, serta meratap dengan perasaan pilu atas kezaliman para musuh Allah. Imam Husain as kini mesti bertempur sendirian. Sekujur tubuhnya as telah banyak terluka, hingga akhirnya beliau terjatuh dari kuda. Para musuh segera mengelilinginya, serta menghujaninya dengan pedang dan tombak.

Ketika Sayyidah Zainab as melihat penderitaan Imam Husain as itu dari pintu tenda, maka ia segera berlari ke medan perang dan menghampiri kakaknya itu, dan berkata:

“Duhai kakakku, duhai imamku, seandainya langit runtuh ke bumi dan gunung-gunung pun tumbang.”

Kemudian beliau berpaling kepada Umar bin Sa’ad dan berkata:  “Wahai Ibn Sa’ ad, Husain telah dibantai sementara engkau asyik menontonnya.!”

Mendengar itu ia menangis, namun tak memberikan jawaban apa pun. Sayyidah Zainab as lalu menyeru pasukan musuh:

“Tak adakah seorang Muslim pun di antara kalian, yang dapat menolong cucu Rasulullah?”

Pertempuran pun usai. Tujuh puluh tiga manusia pemberani telah berhadapan dengan ribuan pasukan musuh. Tak satu pun dari para pendukung Imam Husain as tertinggal hidup. Sementara itu, tubuh Imam Husain as diinjak-injak oleh kuda-kuda musuh. Kepala beliau dipenggal. Dan bahkan pakaian usang beliau pun turut dijarah.

Saat terbunuhnya Imam as, Malaikat Jibril segera berseru: “Ingatlah, Husain telah dibunuh di Karbala!”

Mendengar itu, Sayyidah Zainab as bergegas menghampiri Imam Ali Zainal Abidin as dan menceritakan kepadanya tentang tragedi yang baru saja terjadi. Atas permintaan Imam Ali Zainal, Sayyidah Zainab as membuka pintu tenda agar beliau as dapat melihat medan tempur. Beliau as lalu berkata:

“Wahai bibiku, ayahku telah dibunuh. Dan bersamanya berakhir pula mata air kedermawanan dan kemuliaan. Beritahukan kepada para wanita, serta mintalah mereka untuk bersabar dan tabah. Dan beritahukan kepada mereka agar bersiap untuk menghadapi penjarahan dan penawanan.”

Para musuh kemudian mendatangi tenda para wanita. Umar bin Sa’ad segera memberi perintah untuk melakukan penjarahan. Pasukan musuh segera masuk dan menjarah apa saja, lalu membakar tenda-tenda. Mereka memukul para wanita dengan gagang pedang dan menarik hijab mereka. Bahkan alas tidur Imam Ali Zainal Abidin as pun juga turut dirampas, dan beliau as ditinggalkan begitu saja dalam keadaan tergeletak lemah dan tak mampu bergerak. Anting-anting Sukainah dan Fatimah juga tak luput dari penjarahan mereka, hingga telinga kedua gadis ini berdarah karena renggutan paksa.

Esok harinya, rombongan keluarga Nabi saw dibawa menuju Kufah, untuk dihadapkan kepada lbn Ziyad. Di antara para tawanan tersebut terdapat Sayyidah Zainab as, Ummu Kultsum as, para wanita Bani Hasyim lainnya, Imam Ali Zainal Abidin as, tiga putra Imam Hasan as yang masih kecil, putri-putri Imam Husain as lainnya.  Mereka melewati medan perang, pandangan memilukan bertemu dengan mata mereka. Tubuh-tubuh syuhada tergeletak tanpa busana di padang pasir yang panas, dan terselimuti oleh debu dan darah. Para musuh tidak menguburkan mereka.

Kepala  Imam  Husain as ditempatkan dalam sebuah nampan emas dan diletakkan di dekat kursi istana, dan kepala para syahid lainnya juga dipertontonkan. Sementara diberitahukan kepada  penduduk Kufah bahwa beberapa suku telah melakukan pemberontakan terhadap Muslimin, namun kaum Muslim telah beroleh kemenangan sehingga mesti dirayakan. Menyaksikan itu semua Sayyidah Zainab as tidak tinggal diam. Ia berusaha menjelaskan tentang posisi Ahlulbait dan siapa yang telah dibantai oleh pasukan Yazid, khotbahnya di hadapan masyarakat Kufah, di hadapan Ibnu Ziyad dan di Istana Yazid di Syam begitu masyhur. Tanpa Sayyidah Zainab as tujuan revolusi Imam Husain tidak akan sampai kepada kita.

Imam Khamenei mengatakan “Zainab as menunjukkan bahwa misi melanjutkan perjuangan al-Husain as hanya bisa dijalani jika motivasi dan niat hati tetap terjaga dalam kemurnian dan keikhlasan. Zainab menunjukkan bahwa kesetiaan terhadap ajaran Islam, tanpa tergoda dengan motif-motif lainnya, adalah kunci keberhasilan menegakkan panji al-Husain.

MH Bilgrami, Sayyidah Zainab

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *