Nasional
Ketua Umum ABI Apresiasi Pelajaran Berharga tentang Perlawanan dan Keberanian Para Korban Kasus Intoleransi Solo
Ketua Umum Ormas Ahlulbait Indonesia (ABI) Habib Zahir Bin Yahya mengaku terkejut dan menyayangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang pada Kamis (4/2) terhadap pelaku tindak kekerasan intoleransi pada acara Midodareni di Mertodranan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo, Jawa Tengah, Agustus lalu. Pasalnya, vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Tekad Pemerintah untuk mengakhiri dan mencerabut akar intoleransi dan radikalisme dari Tanah Air, ujarnya, harus dibarengi dengan kewaspadaan di lingkungan seluruh penegak hukum. “Termasuk menghukum para pelaku dan otak peristiwa dengan hukuman setimpal,” kata Habib Zahir, Sabtu (6/2), di Jakarta.
Sebab, lanjut Habib Zahir, intoleransi dan radikalisme merupakan musuh Negara Indonesia yang dapat mengancam sendi dan asas kehidupan berbangsa, termasuk asas yang sangat penting, “kebhinekaan”.
“Maka setiap keputusan yang tak menggambarkan keseriusan dalam melawan kecenderungan radikal dan intoleran yang terus berkembang di negeri ini hanya akan mempertaruhkan wibawa Pemerintah di mata rakyat,” ujar Habib Zahir Bin Yahya.
Sebelumnya, jaksa menuntut para terdakwa kasus intoleransi dengan tuntutan hukuman bervariasi, mulai dari 1 tahun hingga 2 tahun penjara. Namun, hakim memutuskan untuk memvonis para terdakwa dengan hukuman penjara 8 bulan, 10 bulan, hingga 1 tahun.
Vonis 1 tahun penjara diberikan pada dua terdakwa, yakni Sugianto alias Romdlon dan Budi Doyo, atau lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 2 tahun penjara.
Sementara Tri Hartono, Mochammad Syakir, Muhamad Misran, Wahyudin, Arif Nugroho, Maryanto, Sutanto, dan Muhamad Lazmudin, dijatuhi vonis 10 bulan atau lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 1 tahun 6 bulan.
Humas PN Semarang, Eko Budi Supriyanto, mengatakan para terdakwa itu dinyatakan bersalah dan dijerat pasal 160 KUHP dan 170 KUHP karena terbukti menghasut dan melakukan tindak kekerasan secara bersama-sama.
“Terhadap keputusan hakim itu, baik terdakwa maupun jaksa menyatakan pikir-pikir,” ujar Eko, seperti dilansir Solopos.com.
Senada dengan Habib Zahir terkait putusan itu, kuasa hukum Habib Umar Assegaf yang menjadi korban intoleransi, Ary B Soenardi S.H. menilai vonis hakim mengecewakan.
“Mengecewakan, institusi pengadilan ternyata masih belum sejalan dengan situasi zaman dan kepetingan bangsa,” ujar Ary seperti dilansir 5news.
Meski kecewa, di sisi lain, Ary menilai bahwa persidangan ini merupakan prestasi bagi masyarakat Solo, juga bangsa Indonesia. Sebab, menurutnya, kasus intoleransi di acara Midodareni adalah kasus intoleransi dan radikalisme pertama di Solo yang diproses hukum hingga berbuah vonis pidana.
Ary juga menyebut penanganan kasus ini sebagai kemenangan bagi kaum minoritas.
“Proses pidana kasus ini telah menegaskan bahwa sejak saat ini, tak ada lagi ruang bagi para intoleran dan radikalis di negara ini,” tandasnya.
Seperti Ary, Habib Zahir juga menyampaikan penghargaan dan apresiasi terhadap semua pihak. Terutama Tim Konsultan Hukum ABI, jajaran pimpinan dan pengurus ABI JAwa Tengah, serta semua pihak yang telah dengan baik mengawal penanganan kasus itu.
Terlebih, tambah Habib Zahir, terhadap para korban yang berhasil memberikan pelajaran berharga dan keberanian dalam “melawan” ketidakadilan dan menuntut hak dasar mereka sebagai warga negara dan sebagai manusia yang ingin hidup bermartabat.
“Kita sadar bahwa proses hukum mungkin masih akan berlanjut dan, oleh sebab itu, semua pihak masih memiliki kesempatan,” ujar Habib Zahir.
Kasus kekerasan di Mertodranan, Pasar Kliwon, Kota Solo itu terjadi pada 8 Agustus lalu. Saat itu sekelompok orang mendatangi rumah keluarga alm. Segaf bin Jufri yang tengah menggunakan hak konstitusionalnya untuk mengekspresikan keyakinan dan budayanya dengan menggelar acara tradisional-keagamaan “Midodareni”. Lalu mereka secara anarkis menyerang dan membubarkan acara itu.
Dalam peristiwa yang mencederai kerukunan dan melawan konstitusi itu, tiga warga mengalami luka-luka. Bahkan dua di antaranya mengalami luka cukup parah di kepala hingga harus mendapat perawatan insentif.