Ikuti Kami Di Medsos

Biografi

Biografi Singkat Sayidah Khadijah binti Khuwailid

Khadijah binti Khuwailid atau yang dikenal dengan al-Kubra dan Ummul Mukminin adalah istri pertama Nabi Muhammad Saw dan ibu Sayidah Zahra sa. Ia menikah dengan Nabi Saw sebelum Bi’tsah dan wanita pertama yang beriman kepadanya.

Khadijah mengeluarkan semua kekayaannya untuk penyebaran Islam. Nabi Saw demi menghormati Khadijah tidak menikah dengan wanita lain selama Khadijah masih hidup. Dan setelah ia wafat, Nabi Saw senantiasa mengenangnya dengan kebaikan.

Nabi saw dari pernikahannya dengan Khadijah sa memiliki dua anak laki-laki bernama Qasim dan Abdullah dan anak perempuan bernama Sayyidah Fatimah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum.

Khadijah sa meninggal di Mekah tiga tahun sebelum Hijrah pada usia 65 tahun. Nabi saw menguburkan tubuh Khadijah di pemakaman al-Ma’la.

Khadijah sa lahir dari seorang ayah bernama Khuwailid bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushai, dari keluarga Quraisy[1] dan dari seorang ibu bernama Fatimah binti Zaidah.[2] Ia lahir di Mekah sekitar tiga atau empat dekade sebelum Nabi Islam saw diutus menjadi nabi (bi’tsah) dan di kota yang sama, di rumah ayahnya, ia tumbuh besar.[3]

Mengenai pernikahan Khadijah terdapat perbedaan antara Syiah dan Sunni. Sunni percaya bahwa sebelum menikah dengan Nabi saw, Khadijah sa sudah pernah menikah dua kali dan ia mempunyai anak dari masing-masing pernikahannya. Sebagian besar dari sumber sejarah Sunni menerima perihal pernikahan Khadijah ini dan mengutip nama suami serta anak-anak mereka.
Sebaliknya, ulama Syiah meragukan pernikahan-pernikahan yang pernah dilakukan oleh Khadijah. Setelah meneliti dan membahasnya lebih cermat, mereka percaya bahwa Sayidah Khadijah belum pernah menikah, dan pernikahan pertamanya adalah pernikahan yang dilakukan dengan Nabi saw. Bukti dan alasan yang mungkin bisa diungkapkan bahwa Khadijah tidak pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi Muhammad saw, adalah sebagai berikut:

Ibnu Syahrasyub mengutip perkataan Sayid Murtadha dalam kitab al-Syāfi dan Syaikh Thusi dalam al-Talkhish yang menegaskan tentang keperawanan Khadijah sa ketika menikah dengan Nabi saw (dalam istilah Arab dikenal dengan ‘Adzra). Syaikh Thusi meyakini bahwa Ruqayyah dan Zainab adalah anak-anaknya Halah, saudara perempuan Khadijah sa. [4] Sepertinya hal tersebut benar, karena sumber-sumber sejarah tidak menyebutkan bahwa Ruqayyah dan Zainab adalah nama anak-anak Khadijah sa dari pernikahan sebelumnya, akan tetapi keduanya adalah nama anak-anak yang lahir dari pernikahan Khadijah sa dengan Nabi Muhammad saw. [5]

Posisi yang sangat baik dan kedudukan unggul Sayidah Khadijah dan penolakan atas para pelamar yang datang untuk meminangnya dari keluarga bangsawan dan para pembesar Quraisy, juga merupakan bukti lain bahwa Khadijah tidak pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi. Bagaimana bisa diterima, dalam situasi dan fanatisme kabilah pada lingkup intelektual dan budaya yang berlaku di Hijaz begitu besar dan berkuasa -dimana Khadijah adalah salah satu pembesar suku Quraisy yang terkenal- kemudian menikah dengan dua orang Arab dari suku Tamim dan Makhzum? [6]

Bukti lain yang bisa membuktikan bahwa Khadijah sa belum pernah menikah sebelum menikah dengan Nabi Saw adalah dua orang anak yang dinisbahkan kepada Khadijah dari Nabi Saw. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua orang anak tersebut bukan anak keturunan Khadijah, akan tetapi anak keturunan saudara perempuannya, yaitu Halah. Halah pertama kali menikah dengan seseorang dari suku Makhzum dan melahirkan anak. Sepeninggal suami Halah, Khadijah menjadi pelindung bagi Halah dan kedua anaknya sampai Halah meninggal dunia. Khadijah sa pun mengasuh kedua keponakannya. Karena sudah menjadi tradisi bagi bangsa Arab, bahwa Rabibah (anak-anak bawaan dari pasangan) dianggap sebagai anak sendiri, akhirnya mereka juga dianggap sebagai anak-anak Nabi saw. [7]

Seluruh sumber menyatakan bahwa Khadijah sa adalah istri pertama Nabi Muhammad saw, dan sebagian besarnya menyebutkan bahwa Nabi saw berusia 25 tahun ketika menikah dengan Khadijah sa. Mengenai usia Khadijah sa saat menikah dengan Nabi saw tidak ada kesamaan pendapat. Terdapat banyak perbedaan pendapat yang dilontarkan oleh para sejarawan, dari 25 sampai 46 tahun. Banyak sumber yang meyakini bahwa Khadijah sa berusia 40 tahun ketika menikah dengan Nabi saw. [8] Dengan menukil dari yang lainnya, Mas’udi juga memberikan kemungkinan selain usia yang telah disebutkan. [9] Beberapa sumber mengatakan bahwa Khadijah menikah dengan Nabi saw pada usia 25 tahun, [22] dan sebagiannya meyakini berusia 28 tahun [10].

Penelitian yang dilakukan untuk menentukan usia Khadijah sa yang tepat ketika melangsungkan pernikahan dengan Nabi Saw ini sedikit sulit. Namun mengingat bahwa kehidupan berkeluarga Khadijah sa dengan Nabi hanya 25 tahun lamanya –15 tahun sebelum Nabi saw diutus [29] dan 10 tahun setelah Nabi diutus– dan menurut beberapa sumber sejarah juga dikatakan bahwa saat wafat Khadijah berusia 65 tahun atau menurut Baihaqi berusia 50 tahun, dengan demikian maka kemungkinan besar usia Khadijah sa saat menikah dengan Nabi Muhammad saw sesuai dengan salah satu dari dua pendapat yaitu 40 atau 25 tahun. Jika Khadijah ketika wafat berusia 50 tahun, maka saat menikah berusia 25 tahun. Pendapat ini yang lebih diterima oleh sebagian peneliti. [11]

Namun karena pendapat ini sumbernya tidak banyak, untuk membuktikannya agak sulit diterima. Tapi, mengingat bahwa Qasim putra Nabi Muhammad saw dari Khadijah sa meninggal dunia setelah Nabi diutus, [12] hal ini berarti bahwa Qasim setidaknya dilahirkan pada saat Khadijah minimal berusia 55 tahun atau beberapa waktu setelah itu, dan kemungkinan seperti ini tidak dapat diterima. Hal ini bisa dikuatkan dengan menambahkan pendapat beberapa ulama Syiah yang meyakini bahwa Khadijah masih perawan saat melangsungkan pernikahan dengan nabi. [13] Karena tidak mungkin seorang wanita seperti Khadijah yang terhormat dengan status dan kekayaan yang dimilikinya, juga termasuk pembesar kaum Quraisy, belum menikah sampai umur 40 tahun. Oleh karena itu, usia Khadijah sa ketika menikah seharusnya tidak lebih dari 25 atau 28 tahun. [14]

Kedudukan Khadijah sa di Sisi Nabi saw

Khadijah sa memainkan peran penting dalam kehidupan Nabi Saw. Terdapat sejumlah laporan yang membuktikan tentang keistimewaan posisinya di sisi Nabi saw. Sampai beberapa tahun setelah kematian Khadijah, Nabi Saw selalu mengingat dan mengenangnya kembali dan menyampaikan kekhususan yang dimiliki Khadijah. Ketika dikatakan kepada Nabi bahwa Khadijah tidak lebih dari seorang istri yang sudah tua, Nabi saw pun terlihat sedih dan sangat tidak nyaman. Dengan menolak perkataan tersebut Nabi menyatakan, “Allah tidak pernah menggantikan untukku seorang istri yang lebih baik darinya, karena ia telah membenarkanku di saat orang-orang mengingkariku. Ia telah membantu dan menolongku ketika tidak ada seorangpun yang membantu dan menolongku. Ia memberikan hartanya kepadaku, pada saat semua orang enggan untuk memberikan hartanya kepadaku.” [15]

Khadijah sa setelah menikah dengan Nabi saw merupakan sebaik-baiknya istri bagi Nabi Saw. Ia melakukan tugasnya sebagai seorang istri Nabi saw dengan penuh ketulusan dan kecintaan. Ia membawa ketenangan dalam keluarga seperti yang dicari oleh setiap pasangan dalam hidup mereka. Semua itu dipersembahkannya untuk Nabi Saw, dan hal itu dilakukannya dengan tanpa tujuan apapun kecuali mendapatkan ridha Allah swt semata. Oleh sebab itu, selama hidup Khadijah, Nabi Saw tidak menikah lagi dan tidak mengambil istri selainnya. [16] Dan uraian-uraian yang menyatakan bahwa Khadijah memiliki kedudukan khusus di sisi Nabi Saw, mungkin gambaran yang paling diterima tentang Khadijah adalah seperti beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Khadijah adalah sebaik-baiknya teman, sejujur-jujurnya pendamping, tempat keluh kesah dan pembawa ketentraman bagi Nabi saw. [17]

Khadijah sa benar-benar seorang wanita bijaksana dan terhormat. Ibnu Jauzi menulis tentangnya, “Khadijah sa adalah wanita yang berilmu dan memiliki kepribadian yang bersih dan ia adalah seorang insan spiritual yang terpesona dengan hak asasi manusia, mencari keutamaan, menyukai inovasi, senang dengan keunggulan, kesempurnaan dan kemajuan adalah termasuk dari sifat-sifatnya. Sejak masa mudanya ia merupakan salah seorang perempuan yang berbudi luhur, ternama dan memiliki keutamaan yang terkenal di Hijaz dan Arab.” [18]

Yang lebih penting dari kedudukan materinya adalah harta kekayaan spiritualnya yang tidak ada habisnya. Dengan menolak permintaan para pejabat dan pembesar Quraisy yang datang untuk menikah dengannya dan memilih Nabi Muhammad saw sebagai suaminya, ia telah menyempurnakan kenikmatan atas kekayaan materi dengan jaminan kebahagiaan di akhirat dan kenikmatan kekal di surga. Ia telah menampakkan kecerdasannya kepada semua orang. Untuk mencapai kenikmatan yang berkah ini, ia telah menjadi seorang muslim pertama. Ia adalah orang pertama yang membenarkan ajaran Nabi dan mendirikan salat pertama bersama Nabi Muhammad saw.

Menurut sumber-sumber, Khadijah sa sebagai orang pertama yang masuk Islam diyakini sebagai hal yang sudah diterima dan diketahui. Bukti-bukti menyatakan bahwa Khadijah sa diyakini sebagai orang pertama yang mengenal Islam. [19] Bahkan beberapa pendapat menyatakan bahwa ini memiliki komitmen tinggi. [20] Ibnu Abdul Bar meyakini bahwa Ali as adalah orang pertama yang menyatakan keimanannya kepada Nabi saw setelah Khadijah sa. [21]

Memperhatikan sumber-sumber lain yang menyebutkan orang-orang pertama yang memeluk Islam, diketahui Khadijah sa dan Ali as adalah terhitung sebagai orang pertama yang menyatakan beriman kepada Allah swt. [22] Begitu pula telah diisyaratkan tentang keterdahuluan Khadijah sa dan Ali as dalam mendirikan salat bersama Nabi Muhammad saw. Mereka dikenal sebagai orang muslim pertama di dunia yang mendirikan salat. [23]

Peran Khadijah sa dalam Memajukan Islam

Khadijah sa menerima Islam dan iman atas kenabian Muhammad saw yang dipadukan dengan amalnya dan menjadi sebuah manifestasi hadis mulia menyebutkan bahwa iman adalah keyakinan hati yang diucapkan dengan lisan dan beramal dengan rukun-rukunnya. [24] Dengan demikian, Khadijah sa yang mengamalkan perintah-perintah Alquran dan menghibahkan hartanya dalam penyebaran Islam dan membantu kaum muslimin, telah menutup matanya dari seluruh harta dan kekayaannya untuk tujuan suci Nabi Muhammad saw. Ia memiliki peran yang sangat menentukan dalam kemajuan Islam. Sulaiman Kitani berkeyakinan bahwa Khadijah telah memberikan kekayaannya kepada Muhammad saw, tapi tidak pernah memiliki perasaan telah memberikan hartanya. Bahkan ia merasa bahwa itu semua dari Muhammad saw. Ia mendapatkan petunjuk dan hidayah yang memiliki keunggulan dan bernilai melebihi seluruh kekayaan alam. Ia merasa telah memberikan hadiah kecintaan dan pertemanan kepada Muhammad saw, dimana sebagai gantinya ia mendapatkan seluruh dimensi kebahagiaan darinya.

Khadijah sa seorang penolong dan teman bagi Nabi saw. Ia memiliki peran yang tidak ada bandingnya dalam penyebaran Islam dan memajukan misi Nabi saw dengan menjadi orang pemula dalam memeluk Islam dan melindungi Nabi Muhammad saw dalam segala aspek dan menghibahkan seluruh kekayaannya di jalan Islam dan perlindungan terhadap orang-orang tertindas. Ia teladan yang tepat dalam kejujuran, keuletan, konsisten dalam target dan melindungi orang-orang tertindas. Ia sebuah bukti obyektif dalam infak dan pemberian di jalan kebenaran. Inilah keistimewaan-keistimewaan yang tampak dari sebuah kepribadian. Oleh karena itu, sangat pantas dan layak jika ia menyandang gelar “Thahirah” (suci), “Shiddiqah” (jujur), “Sayidah Nisa Quraisy” (penghulu wanita Quraisy), “Khairu al-Nisa” (sebaik-baik wanita) dan “Ummul Mukminin” (ibu kaum mukminin).

Wafatnya Sayyidah Khadijah

Sejumlah sumber menyebutkan bahwa Khadijah sa wafat pada tahun kesepuluh kenabian, yaitu 3 tahun sebelum hijrah Nabi saw dari Mekah ke Madinah. [25] Sebagian besar sumber menyebutkan bahwa Khadijah wafat berusia 65 tahun. [26] Ibnu Abdulbar menyebutkan bahwa Khadijah sa ketika wafat berusia 64 tahun 6 bulan. [27] Sumber lainnya mengatakan, tahun kematian Khadijah sama dengan tahun kematian Abu Thalib atau lebih sedikit dari itu. [28] Ibnu Sa’ad berkata, “Khadijah wafat 35 hari setelah Abu Thalib Wafat.” [29] Ia dan sebagian sejarawan meyakini kematian wanita Hijaz ini tepatnya adalah pada bulan suci Ramadhan tahun kesepuluh Kenabian. [30] Sebelumnya, Nabi saw mengkafani Khadijah sa dengan kain sorbannya, namun kemudian diganti kain surga. Ia dikebumikan di Pemakaman al-Ma’lat, di lereng gunung Hajun di bagian atas kota Mekah. [31]

Catatan Kaki

1.Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 6, hlm.78.

2.Ibnu Abdulbar, al-Isti'ab, jld. 4, hlm. 17-18

3.Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 11

4.Ibnu Syahrasyub, Manāqib Āli Abi Thālib,jld. 1, hlm. 159.Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 4, hlm.641.

5.Ja'far Murtadha al-Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabi al-'Azdam saw, jld. 2, hlm. 123. (dinukil dari: Al-Istighātsah, jld. 1, hlm. 70.

6.Ja'far Murtadha al-Amili, Al-Shahih Min Siratu al-Nabi al-'Azdam saw, jld. 2, hlm. 125.

7.Ibnu Atsir, Al-Kāmil, jld. 2, hlm. 39; Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 174; Ibnu Atsir Jazeri, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 1, hlm.23; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 98 dan jld. 9, hlm. 459; Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld.2, hlm. 280.

8.Masudi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 287.Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, jld. 2, hlm. 71; al-Sirah al-Halabiyah, jld. 1, hlm.140; Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 294; Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 98 .

9.Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 98 .

10.Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 295; Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, jld. 2, hlm. 72.

11.Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, jld. 2, hlm. 72; Ja'far Murtadha al-Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabi al-'Azdam saw, jld. 2, hlm. 114.

12.Ibnu Katsir, Al-Bidāyah Wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 294.

13.Ibnu Syahrasyub, Manāqib Āli Abi Thālib, jld. 1, hlm. 159.

14.Ja'far Murtadha al-Amili, Al-Shahih min Sirah al-Nabi al-'Azdam saw, jld. 2, hlm. 114.

15.Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 1, hlm. 23.

16.Ibnu al-Umrani, al-Anba' fi Tarikh al-Khulafā, hlm. 46.

17.Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 61; Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 1, hlm.26.

18.ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawwās, jld. 2, hlm. 300.

19.bnu Khaldun, Tārikh Ibnu Khaldun, jld. 2, hlm. 41; Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 3, hlm. 23; Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1817

20.Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 6, hlm.78.

21.Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1817

22.Muqrizi, Imtā'u al-Asm'ā, jild. 9, hlm. 88.

23.Ibnu Atsir Jazari, Usdu al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, jld. 6, hlm.78; Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 3, hlm. 1089

24.Al-Kulaini, Ushul al-Kāfi, jld. 2, hlm. 27

25.Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 282; Ibnu Sayid al-Nās, 'Uyun al-Atsar, jld. 1, hlm.151;Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1817; Thabari, Tārikh al-Umamu wa al-Muluk, jld. 11, hlm. 493; Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 14.

26.Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 11, hlm. 493.

27.Ibnu Abdul Bar, Al-Isti'āb, jld. 4, hlm. 1818

28.Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 11, hlm. 493; Ibnu Sayidu al-Nās, 'Uyun al-Atsar, jld. 1, hlm.151.

29.Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 96.

30.Ibnu Sa'ad, Al-Thābaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 14.

31.Abul Hasan Bakri, Al-Anwār al-Sāthi'ah min al-Gharrā al-Thāhirah, hlm. 735.


Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *