Buku
Nikah Mut’ah Menurut Syiah dan Ahlusunah
Nikah Mut’ah Menurut Syiah dan Ahlusunah
Salah satu isu besar yang terkait dangan Syiah ialah masalah mutah. Dikatakan bahwa mut’ah sama dengan zina. Oleh karena Syiah menghalalkan mut’ah berarti Syiah menghalalkan zina. Karena menghalalkan perzinaan, Syiah adalah ajaran sesat.
Benarkah demikian?
Secara ringkas, mut’ah berarti pernikahah berjangka (temporary marriage). Mut’ah adalah salah satu jenis pernikahan. Akan tetapi, berbeda dengan pernikahan biasa, nikah mut’ah mengenal waktu. Jadi, dalam pernikahan mut’ah, ikatan pernikahan dibatasi dengan waktu tertentu. Jangka waktu tersebut dibacakan di dalam akad nikah.
Selain masalah waktu, semua syarat nikah mut’ah sama dengan syarat nikah permanen. Nikah mut’ah harus melalui akad dan ada maharnya. Nikah mut’ah harus atas dasar kerelaan dari kedua belah pihak. Jadi, tidak benar bahwa nikah mut’ah adalah sebuah kewajiban yang harus dijalani oleh seorang anak perempuan. Lalu, jika perempuan masih gadis, pernikahan mut’ah harus melalui izin walinya. Jadi, tidak benar bahwa nikah mut’ah itu boleh berlaku secara sembarangan.
Perbedaan yang ada hanyalah dalam masalah penegasan batas waktu di dalam akad, dan bahwa nikah mut’ah tidak memiliki talak, jika keduanya ingin berpisah. Tidak diperlukan talak, karena memang sejak awal, mereka berdua sudah berniat dan setuju bahwa pernikahan mereka hanya berlaku selama jangka waktu tertentu. Nah,ketika jangka waktu yang disepakati itu telah berlalu, ikatan pernikahan dengan sendirinya selesai. Kalau mau melanjutkan, mereka harus membacakan lagi akad pernikahan. Dalam hal ini, keduanya bisa melanjutkan dengan ikatan pernikahan mut’ah lagi, atau bisa juga menikah secara permanen (pernikahan biasa).
Baca juga : Syiah antara Fitnah dan Fakta: Penjelasan Taqiyah
Nikah mut’ah juga mengenal ‘iddah bagi istri yang sudah tidak terikat lagi dengan pernikahan. ‘Iddah adalah masa tertentu yang harus dilalui seorang perempuan yang ingin menikah Iagi. Perbedaannya,jika pada pernikahan biasa ‘iddahnya adalah tiga kali suci haid, sedangkan ’iddah nikah mut’ah adalah dua kali suci haid.
Nikah mut’ah juga mengenal hak pewarisan bagi anak-anak. Jika seorang anak terlahir dari pernikahan mut’ah maka status anak ini sama sebagaimana anak yang lahir dari pernikahan permanen, tanpa ada perbedaan sedikit pun. Anak ini dinisbahkan kepada ibunya, juga kepada ayahnya, serta mewarisi mereka berdua. Keadaannya sama persis seperti anak yang lahir dari nikah permanen, yang kedua orang tuanya sudah bercerai. Hanya saja, suami-istri dalam pernikahan mut’ah tidak saling mewarisi. Seorang istri yang ditinggal mati suami dari pernikahan mut’ah tidak punya hak waris dari suaminya itu. Begitu juga sebaliknya.
Itulah sekilas tentang pernikahan mut’ah. Memang terasa aneh bagi kaum Muslimin Indonesia. Adapun ulama Sunni, mereka menyatakan bahwa pernikahan mut’ah itu haram, karena tidak ada dalilnya dalam Alquran ataupun Sunnah. Menurut ulama Sunni, nikah mut’ah juga terlarang karena berbenturan dengan tujuan dasar pernikahan, yaitu menciptakan ketenteraman, membangun kehidupan keluarga, serta mendidik anak-anak yang saleh.
Syiah memang membolehkan nikah mut’ah dan menyebutnya sebagai hal yang disyariatkan oleh Rasulullah dan berlaku sampai sekarang. Tentu saja, nikah mut’ah yang diperbolehkan itu adalah yang sesuai dengan syarat dan ketentuan sebagaimana yang dituliskan di atas.
Lalu, bagaimana dengan masalah landasan hukumnya Apa dalil yang dipakai Syiah sampai menghalalkan nikah mut’ah? Pertama, adalah dalil Alquran. Berdasarkan kepada sejumlah riwayat yang juga dikenal di dalam kitab-kitab hadis Sunni’ ayat 24 surah An-Nisa berisikan perintah atau kewajiban untuk membayar mahar bagi siapa saja lelaki yang melakukan pernikahan mut’ah. Bunyi ayat tersebut adalah, “Jika kalian telah menikmati (mengumpuli) perempuan-perempuan itu, maka berikanlah upah (mahar) mereka sebagai kewajiban”.
Syiah juga meyakini (dengan merujuk kepada riwayat yang diakui oleh ulama Sunni) bahwa nikah mut’ah adalah perilaku yang pernah dilakukan oleh sejumlah sahabat, dan perilaku itu direstui oleh Rasulullah SAW. Kehalalan mut’ah itu berlaku hingga masa kekhalifahan Abu Bakar. Akan tetapi, Khalifah Umar bin Khaththab melarangnya. Khalifah Umar juga melarang haji tamattu. Ucapan Khalifah Umar di akhir masa khilafah berikut ini sangat terkenal: “Dua mut’ah (yaitu haji mut’ah dan nikah mut’ah) memang berlaku pada masa Rasulullah, dan aku melarangnya dan akan menghukum pelakunya”
Baca juga : Syiah Menghina dan Mencaci Sahabat?
Adapun dalam menjawab kritikan bahwa nikah mut’ah bertentangan dengan prinsip membangun rumah tangga. ulama Syiah menyatakan bahwa pada dasarnya, nikah yang direkomendasikan itu adalah nikah yang biasa (permanen). Karena itu, kehidupan rumah tangga di Iran yang mayoritas masyarakatnya adalah orang Syiah tidak berbeda dengan kehidupan rumah tangga di Indonesia dan negeri-negeri Muslim lainnya. Di sana, orang-orang menikah secara permanen dan secara budaya kurang respek pada nikah mut’ah. Namun, secara resmi nikah mut’ah diizinkan dan harus dicatatkan di KUA agar hak-hak perempuan dan anak terlindungi.
Kasus nikah mut’ah agak mirip dengan kasus poligami. Keduanya dinyatakan halal. Akan tetapi, secara kultural, sedikit yang melakukannya, dan banyak perempuan yang ‘anti’. Keduanya juga dianggap sebagai solusi untuk situasi darurat. Contohnya. seorang lelaki tinggal bersama istrinya di kota A, lalu bertugas cukup lama di kota B yang sangat jauh dari rumah. Untuk menjaga kesucian, ia bisa melakukan nikah mut’ah dengan seorang perempuan di kota B, tentu dengan syarat-syarat ketat seperti sudah dijelaskan di atas.
Kemiripan nikah mut’ah dengan poligami juga terjadi dalam hal penyalahgunaannya. Sebagaimana poligami menyimpan potensi penyalahgunaan, nikah mut’ah juga punya celah untuk disalahgunakan. Kasus “asal poligami” dan “asal mut’ah” jelas mengorbankan kaum perempuan.
Penyalahgunaan hukum oleh oknum tidak bisa disamakan dengan kesalahan hukum. Yang harus disalahkan adalah pelakunya. Lagi pula, adakah hukum yang tidak menyimpan potensi disalahgunakan? Bahkan pernikahan biasa pun berpotensi disalahgunakan. Bukankah sangat banyak kita temui kasus KDRT atau suami yang melalaikan kewajiban pada keluarga? Di sini, yang diperlukan adalah penegakan hukum yang tegas oleh pemerintah (laki-laki yang menelantarkan istri dan anak harus diberi sanksi hukum), serta sikap kehati-hatian dan ketegasan kaum perempuan.
Penjelasan mendetail ada pada link Mu’tah Menurut Sunni dan Syiah
Dikutip dari buku Syiah antara Fitnah dan Fakta oleh Tim Kajian IKMAL