Mutiara Hikmah
Pasrah kepada Allah, Puncak Tertinggi Agama
Inti beragama adalah pasrah dan berserah diri kepada Allah Swt dalam semua hal.
Pasrah dengan apa yang telah diatur Allah Swt.
Pasrah dengan apa yang telah ditentukan oleh-Nya.
Pasrah dengan rezeki yang telah dibagi.
Pasrah dengan sesuatu yang diambil dari kita.
Dan pasrah serta menerima syariat dengan semua konsekuensi yang telah ditentukan Allah Swt.
Kepasrahan itu dimulai dari hati dan pola pikir kita, kemudian diwujudkan dalam sikap sehari-hari. Seringkali kita merasakan bahwa sesuatu yang sedang menimpa kita itu buruk dan tidak indah. Namun, ketika kita telah meyakini bahwa semua ketentuan Allah Swt itu baik, maka kita akan berpasrah mutlak dan menerima semua ketentuan-Nya.
Di saat kita meyakini bahwa di balik semua kesedihan, tangisan, dan cobaan pasti terdapat hikmah besar, niscaya kita akan lebih mudah berserah diri kepada-Nya.
Arti “Islam” memiliki dua sisi. Pertama, Islam dalam arti kumpulan syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. Kedua, mengkondisikan diri untuk pasrah dan berserah mutlak terhadap semua yang telah ditentukan Allah Swt dalam kehidupannya.
Syariat adalah jalan untuk meraih kepasrahan yang sesungguhnya. Dengan konsisten menjalankan syariat, maka seseorang akan dibimbing untuk berpasrah diri kepada Allah Swt.
Karena iu, wasiat yang selalu disampaikan Allah dan Rasul-Nya adalah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim. (QS. Ali Imran: 102)
Mengenal ketentuan Allah Swt adalah hal mudah. Namun, hal paling sulit adalah menerimanya. Butuh keyakinan kuat dalam hati kita bahwa Allah Swt Maha Penyayang, sehingga tak ada sesuatu yang menimpa kita kecuali yang terbaik. Allah Maha Pengasih, sehingga tidak satu pun syariat yang ditentukan kecuali untuk kebaikan hamba-Nya. Allah Maha Adil, sehingga tidak ada sesuatu yang harus kita hadapi kecuali semua berdasarkan keadilan dan kemaslahatan dari-Nya.
Apabila keyakinan semacam ini telah menancap kuat di hati, niscaya kita akan mampu pasrah dan menerima semua ketentuan-Nya. Bukankah Allah Swt berfirman kepada Nabi Ibrahim as:
إِذۡ قَالَ لَهُۥ رَبُّهُۥٓ أَسۡلِمۡۖ قَالَ أَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya, “Berserah dirilah!”
Ia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.” (QS. al-Baqarah: 131)
Puncak agama ini adalah berpasrah diri. Sebab, iman seseorang belum dianggap sempurna sebelum menerima ketentuan Allah Swt tanpa rasa terpaksa.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. an-Nisa: 65)
Ust. Muhammad bin Alwi BSA, Kado dari al-Quran