Laporan Utama
Wong Cilik dan Label Halal MUI
Namun bila pembeli mau lebih teliti, ternyata ada sesuatu yang berbeda di warung Mas Yono. Tengok saja dinding di sebelah meja, pada spanduk berukuran 40 x 100 cm itu jelas terpampang label “HALAL” dari MUl. Itulah salah satu pemandangan berbeda yang mungkin tak akan terlihat di warung serupa di tempat lain.
Merasa penasaran, wartawan ABI Press menanyakan biaya dan proses pembuatan label halal MUI miliknya itu. Mas Yono yang pada awalnya merasa tak perlu mengurus sertifikasi halal menjelaskan dirinya ditawari pelanggan baksonya untuk dibuatkan beberapa spanduk sekaligus yang kesemuanya berlabelkan “HALAL” dari MUI.
“Semua sudah diurus dari sana Mas, saya tinggal bayar 600 ribu dan sudah ada label MUI-nya,” tuturnya menjelaskan. Terkait sertifikat, ia mengaku tidak pernah menerima sama sekali, dan ia tidak tahu menahu tentang itu. Ketika ditanya siapa orang yang membuatkan label halal itu, Mas Yono bilang sudah kehilangan jejak dan tak bisa mencarinya lagi. “Dulu dia sih ngasih nomer telepon Mas, tapi sekarang udah hilang nomernya,” terangnya kepada ABI Press.
Tak dapat informasi lebih mengenai itu, menyisakan pertanyaan yang belum terjawab. Apakah si pembuat spanduk dan label itu hanya sekadar penjual dan pembuat spanduk? Ataukah anggota MUI yang bekerja di lapangan? Atau mungkin calo label halal MUI? Entahlah.
Untuk itu ABI Press coba menelusuri lebih jauh tentang seberapa pentingkah label halal MUI bagi masyarakat, dan dampak yang akan dihasilkan terutama bagi para pedagang kecil.
Pukul sembilan pagi, ABI Press mendatangi beberapa pedagang kecil di Pasar Buncit Jakarta Selatan. Pertama, kami temui pedagang daging sapi. Wahyu namanya. Ia mengaku, tak tahu menahu tentang label halal MUI. Namun, jika itu harus diterapkan ia merasa terbebani jika nantinya harus ada biaya yang dikeluarkan. “Begini saja dagangannya sudah sepi, apalagi mesti bayar buat dapet label gituan Mas,” ungkapnya.
Tak jauh beda dengan Wahyu, Siswoyo pedagang daging ayam di pasar itu pun menganggap perihal pemakaian label halal bisa saja berpengaruh bagi pedagang bisa juga tidak. Ketika harus ribet mengurus sertifikasinya dan harus ada biaya yang dikeluarkan tentu akan berdampak. Baik bagi pedagang maupun pembeli. “Ya, minimal risikonya harus naik harga. Begini saja sudah sepi apalagi kalau harganya naik,” ungkapnya. Selain itu menurutnya, selama ini biasanya pembeli hampir pasti selalu mengeluh saat ada kenaikan harga. Dampaknya, mereka jadi enggan membeli.
Dari pasar Buncit, kami mampir di sebuah Warteg tak jauh dari sana. Tempat itu pun menjadi target ABI Press bertanya hal yang sama. “Ngerepotin. Ribet,” respon Rudi, pemilik warteg dengan tegas menjawab pertanyaan seputar label halal MUI. Apalagi menurutnya, sejauh ini pelanggan wartegnya juga tidak pernah bertanya apakah makanan yang ia jual halal atau tidak.
Salah satunya Budiman. Konsumen Rudi yang saat itu makan di warteg, pada awalnya mengakui perlunya label halal diterapkan. “Kalau secara prinsip sih, ya perlu lah, karena untuk mengetahui warung ini jualan makanan halal atau tidak,” ungkapnya. Namun ketika kami bertanya lebih lanjut, apakah sertifikasi halal atau label halal dapat menjamin produk yang dijual itu halal? Setelah berpikir sejenak, Budiman menjawab, “Oh, iya juga ya. Kan tidak diawasi tiap hari juga warung-warung itu,” ujarnya dengan nada ragu. Ia pun berusaha menjelaskan lagi dengan sudut pandang lain.
Menurutnya benar juga, ketika label halal didapat oleh penjual, bisa saja penjual itu tetap berlaku curang, entah mencampur makanannya dengan yang tidak halal dan sebagainya. Atau bisa juga semua urusan labelisasi dan sertifikasi halal itu sebenarnya hanyalah kongkalikong antara pengusaha dengan pemberi label halal untuk menarik perhatian konsumen saja. Siapa tahu? (Malik/Yudhi)